“Sialan kau!” teriak Anggara sambil terus memukul.
Eva membeku sejenak. Ia memang tahu kalau Anggara itu adalah orang yang arogan dan dingin, tapi ini adalah kali pertama Eva melihatnya mengamuk. Anggara memukul pria itu membabi buta, mulutnya juga tidak berhenti mengucapkan kata kasar. Tubuh Eva semakin bergetar. Rasa takutnya berganti. Suara bogem terdengar menyakitkan. ‘Bagaimana kalau Anggara membunuh pria itu?’ “Anggara! S-sudah!” dengan pikiran buruknya itu, Eva pun berteriak di tengah hujan. Tangannya terulur, meraih baju belakang Anggara. “Anggara… a-aku takut….” Mungkin karena merasakan tarikan di bagian belakang bajunya yang basah, Anggara akhirnya berhenti. Pria bertato itu pun sudah tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Anggara mendecih, lalu segera menarik tangan Eva dari sana. Ia membawanya masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. “Apa kamu udah gila?!” bentak Anggara langsung begitu mereka berdua ada di mobil. Ia pun menjalankan kendaraan itu. Eva hanya menunduk, seraya air matanya mengalir di pipinya. “Maafkan aku….” “Wanita gila mana yang keluar tengah malam, di tengah hujan deras, hah?! Handphone mu juga mati, kalau aku gak sengaja lewat sini, kamu mau menghabiskan malam sama preman itu di motel murahan, iya?!” Eva tidak menjawab, hanya terus menangis. Bagaimanapun, ini semua gara-gara Anggara sendiri. Kalau Anggara tidak membawa wanita itu ke kamar hotelnya, Eva tidak mungkin berkeliaran seperti tadi. Eva mendengar Anggara mendesah panjang, terdengar kesal. “Eyang meneleponku sedari tadi, dan terus menanyakan kamu. Aku sampai tidak mood melakukan itu dengan pacarku gara-gara telepon Eyang,” suara dingin Anggara semakin menusuk. “Merepotkan! Ini yang paling aku benci bila punya istri!” Lalu tiba-tiba, satu pak tisu mendarat di pangkuan Eva. “Jangan katakan soal kejadian ini pada Eyang.” Eva sedikit mengangkat kepala, apalagi ketika melihat tangan Anggara terulur untuk mematikan AC di depan. “Kamu paham tidak?” Anggara kembali berucap, dan kali ini Eva mulai menatapnya. “Apa?” Anggara malah bertanya lagi karena Eva tidak juga berbicara. Apa Anggara tidak punya hati? Eva hampir saja diperkosa pria asing, di tengah hujan, di tempat asing. Bajunya bahkan basah kuyup, dan ia belum berhenti gemetaran. Tapi apa? Kenapa harus berkata kasar seperti itu? “Kamu gak bisa sedikit lembut padaku?” tanya Eva dengan suara bergetar, karena kedinginan dan masih trauma. “A-aku hampir… hampir dijahati….” Anggara hanya menatapnya sekilas, sebelum kembali melihat ke jalan. Tidak ada tanggapan dari pria itu, tapi ia tidak lagi mengucapkan kata-kata menusuk. Sisa perjalanan sampai hotel di habisi mereka dalam keheningan. *** Sampai di hotel basement tetap sama masih tidak ada satu patah kata yang keluar dari mulut pria arogan itu. Anggara lantas keluar ketika mobil sudah terparkir sempurna. Tanpa memberi tawaran atau sekedar membukakan pintu untuknya. “Apa yang kamu harapkan lagi Eva.” Eva menatap nanar punggung kokoh Anggara yang menjauh. Berharap kecil ada satu pertanyaan tentang kondisinya dari Anggara. Tentu tidak didapatkan. Tidak ingin hal buruk terulang lagi, meski sebenarnya enggan masuk segera Eva mengikuti Anggara untuk kembali ke hotel. Eva memutar bola matanya memindai seluruh isi kamar hotel ketika sampai. Tidak terlihat jejak apapun, hingga helaan napas panjang terdengar. Setidaknya seperti ini sedikit lebih cukup, meski tidak bohong bahwa bayangan itu ada. Hingga mata langsung terpejam ketika Anggara dengan tidak tahu malu menggantikan baju tempat didepan matanya. Melepasnya dengan santai di depannya. “Apa dia tidak punya malu atau lupa ada aku?” guman kesal Eva dalam hatinya. “Sampai kapan kamu berdiri disitu?” cibir Anggara dengan suara kesal, “jangan buat ulah lagi, cepat ganti pakaian. Kalau kamu sakit bisa merepotkan!” Eva terhenyak lantas ketika pejaman mata terbuka Anggara sudah mengenakan pakaian tidurnya. Sadar tubuhnya memang sangat basah dan tidak nyaman segera Eva masuk kamar mandi tanpa menyela atau memberi jawaban. “Menyusahkan!” satu kata terdengar dari mulut Anggara ketika Eva akan menutup pintu. *** “Mas Gara.” Eva keluar kemarin mandi dengan handuk terlilit di kepalanya membungkus rambutnya yang basah. Segera mendekati ranjang dimana Anggara sibuk dengan ponselnya. Anggara mendongak mendengarkan panggilan itu. Aroma sabun menyeruak menyegarkan membuat Anggara terdiam beberapa saat. Aroma begitu segar dan menenangkan menyapa indera hingga membuatnya terpejam beberapa saat. Sadar apa yang dilakukan konyol, segera Anggara melanjutkan aktivitasnya kembali. “Terima kasih,” ucap Eva pelan. Selama membersihkan diri tersadar tanpa bantuan Anggara entah jadinya. Apalagi dirinya yang baru pertama kalinya ditempat ini. Bertemu dengan preman yang hampir melecehkannya. Alis Anggara terangkat. “Jangan berharap lebih, Adeeva Putri Adhitama. Kita seperti ini kamu tahu tujuan utama aku apa!” Anggara tersenyum sinis. Senyum terlihat begitu merendahkan menurut Eva. Kedua kalinya terhitung menyebut nama Eva begitu lengkap selepas ijab qobul. “Tidak lebih dengan kursi jabatan!” lanjut tegas Anggara dengan suara dingin. Eva ingin sekali menangis. Matanya terasa lembab. Merasa tidak ada gunanya berbicara dengan Anggara segera ia menuju sofa. Tidak mengulangi lagi ucapan terima kasih. Eva membaringkan tubuhnya di sofa. Mata menatap atap kamar hotel itu. Anggara sudah mematikan lampu utama dan berbaring nyaman di ranjang. Setetes air muncul dari ujung matanya, entah kapan ketika malam tidak menangis lagi, nyatanya setelah sah jadi istri kegiatan menangis sebagai mengantar tiap malam sebelum tidur seperti sekarang. “Tuhan, bolehkah aku menyerah?” guman Eva pelan untuk sekian kalinya. Himpitan rasa sesak bahwa pernikahan dijalani jauh dari bayangan indah. Malah sebaliknya sangat menyakitkan. Kemudian muncul senyum kedua orang tuanya. Tidak lama harapan besar Eyang dan mendiang Kakek juga terlintas semakin membuat dada sesak, belum lagi harapan keinginan Bunda Zia begitu besar kemarin. “Apa harus sesakit ini membuat mereka para orang tua bahagia?”Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman. “Mas Gara mau kemana?” tanya Eva.Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu.“Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali.Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupu
“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon ter
Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Apa yang terjadi, Sayang? kenapa? bukanya masih jam kantor? atau kamu hari ini belum masuk kantor?” Pertanyaan beruntun di layangkan Mama Dara.Eva memeluk begitu erat ibunya. Mengabaikan pertanyaan panjang Mama Dara yang seolah hanya masuk dan lewat gendang telinganya.Mama Dara paham membiarkan putri sulungnya. Meski sebenarnya awalnya sangat terkejut, ketika membuat kue mendapatkan kejutan pelukan tiba-tiba dari Eva, untung tidak ada riwayat jantung seperti suaminya.“Untung bukan Papa kamu yang kamu beginikan. Sudah pasti akan langsung ke rumah sakit,” kekhawatiran Mama Dara menunggu putrinya melepaskan pelukan erat itu.Eva melepas belitan tangannya. Aroma khas mamanya seolah memberi obat rasa sakit yang kurasakan tadi. Meski itu hanya sesaat, setidaknya lebih baik.“Mama tanya apa tadi?” kata Eva meletakkan oleh-oleh dari Bali yang baru sempat ia antar.“Darimana? kenapa gak ngabarin kalau mau datang, kata mertua kamu kemarin kalian bulan madu, apa Anggara tidak ikut,” kata Mam
“Istrimu kembali,” ucap perempuan berbeda kesekian kalinya menyambut kepulangan Eva.Eva memejamkan matanya sesaat. Suguhan adegan sudah tidak terhitung lagi. Lelah sekaligus muak, capek sekali apalagi ia pulang dari kerja. Mau tidak pulang, tapi tidak ada lagi tempatnya pulang kecuali rumah hadiah pernikahan ini.Anggara mengecup pipi kekasihnya. “Biarkan saja, Sayang!”“Apa dia tidak memberi servis terbaik? aku rasa tanpa kamu menjawab jawabannya sudah tentu, tidak!” ejek perempuan itu. Tatapan merendahkan begitu angkuh.“Biarkan saja,” tegas Anggara. Namun, wajahnya puas melihat wajah kekesalan Eva kali ini. “Tidakkah tempat diluar sana yang cocok untuk berpacaran,” kata Eva yang sudah tidak tahan lagi. Kalimat terdengar datar. Sudah ia tahan selama ini. Namun, tetap Anggara selalu dengan tingkahnya. Seolah ada ribuan cara untuk menguji besar kesabarannya.Seringai lebar nampak di wajah angkuh Anggara. Akhirnya, berhasil membuat Eva mengatakan protesnya.“Seharusnya dengan adanya
“Tolong sajikan hidangan dan minuman hangat. Gulanya pakai khusus, Bik. Eva akan turun sebentar lagi, masih bergantian mandi sama Mas Gara.” Bik Darmi mengangguk. “Saya permisi, Bu.” “Bik, tunggu.” Bik Darmi baru beberapa langkah menghentikan langkahnya. Eva segera beranjak bergerak menghampiri dengan langkah cepat. Kepalanya mulai bergerak menatap lantai bawah, meski kenyataan tidak terlihat sama sekali, tapi mampu membuat hati Eva was-was. “Bik, tolong jangan katakan apapun.” Eva berkata dengan pelan. Tangan lembutnya meraih tangan Bik Darmi pelan. “Apapun yang Bik Darmi lihat selama ini. Kalau Eyang tanya sesuatu tentang itu,” tegas Eva. Bik Darmi mengangguk. Mata senjanya tersorot rasa prihatin sekaligus kasihan. Selain benda mati di rumah dua lantai itu, Bik Darmi lah satu-satunya yang menjadi saksi bagaimana tingkah Anggara dengan pacarnya. Mau berkomentar tentu sebagai orang luar tidak bisa melakukan apapun. “Bik Darmi tidak begitu, Bu. Kata cucu saya zaman sekara
“Kalian terdengar keberatan.” Eva dan Anggara saling bersitatap. Tatapan seolah saling beradu membayangkan adegan yang akan terjadi kedepannya. Selama Eyang berada di ruang mereka.“Bu-bu ….”“Berapa lama, Eyang? kita sibuk, Eyang pasti tahu itu?” Anggara menyela menyatakan keberatannya.“Besok bukannya kamu juga ke kantor, Sayang?” Anggara merapatkan duduknya menghampiri Eva. Rangkulan dan kecupan mendarat di pipinya.“I-iya.” Eva gugup dan terkejut dengan serangan tiba-tiba Anggara. Bukan serangan, tapi seolah sinyal tanda bahwa adegan akting sudah dimulai.“Eyang juga jangan sampai ingin mencari perawan karena melihat kemesraan pengantin baru,” lanjut Anggara dengan nada mengejek dan kembali mengecup pipi Eva. Emuah …Eva menegang. Jantungnya berdegup dengan kencang seiring dengan kecupan yang terdengar. Mesti bukan pertama kali tentu perlakuan Anggara yang sangat manis dan mesra selalu berhasil membuat bulu kuduk berdiri merinding meremang.“Dasar cucu sialan. Apa yang kamu kata
Suara langkah kaki begitu menggema dengan alunan sepatu hak rendah menggema mengenai lantai marmer. Senyum merekah tidak lepas dari bibirnya, seperti biasa Eva selalu bisa menempatkan dirinya. Membuang semua beban rumah dan kini begitu ramah dengan para karyawannya. Sapaan demi sapaan selamat pagi, Eva dapatkan. Balasan dengan suara lembut Eva lakukan tidak terlewatkan satu karyawan yang menyapanya. “Selamat pagi, Bu.” Sekretaris berpakaian rapi sebagai orang terakhir menyambut kedatangan Eva yang selalu tepat waktu. “Pagi, Lucky. Apa pekerjaan hari ini sangat banyak?” Eva segera masuk dan duduk di kursi kebesarannya di ruangan diikuti oleh sekretarisnya. Merapikan tempatnya dan mengeluarkan komputer lipat dari tas sederhana yang selalu menemani kerja setiap harinya. “Tidak begitu banyak, Bu. Seperti biasa, tambahan ada meeting sebelum peluncuran penerbitan dan cetak produk terbaru.” Lucky menggeser layar tablet di bawa saat ini di tangan kiri. Kemudian mengangguk-angguk membaca