Eva keluar hotel bertepatan dengan senja akan datang. Kebetulan hotel yang ditempati tidak begitu jauh dari pantai, hanya berjalan sebentar sudah sampai.
Suara ombak terdengar membuat Eva terpaku melihat keindahan air terlihat biru itu. Alas kaki segera ia lepas kemudian berlari kecil menghampiri. Sejenak pantai yang terkenal sedikit menyembuhkan Eva.
Suara gemuruh sorak terdengar. Sorakan para pengunjung pantai menyaksikan senja yang akan datang dan sangat indah. Eva juga menyaksikan itu, tapi hanya terpaku dalam diam tangan terlipat menatap indahnya sinar oren itu.
Hingga dalam sekejap malam sudah datang. Semua berubah menjadi gelap dan orang-orang mulai berhamburan pergi. Seiring dengan itu, perutnya mulai bernyanyi nyaring.
“Aku lapar…,” guman Eva.
Langkahnya asal menuju salah satu restoran. Hanya berbekal mengira-ngira, ia segera masuk. Tidak ada niat untuk kembali, bayangan panas. Anggara dengan perempuan itu terlintas tanpa dicegah.
Dibandingkan dengan bulan madu, Eva malah seperti sedang liburan sendiri. Restoran yang dipilih asal tidak begitu buruk. Tersedia hiburan pagelaran musik dengan tarian daerah menambah hiburan malam Eva. Eva menikmati hingga restoran sepenuhnya tutup.
“Aku malas kembali,” lirih Eva ketika sampai di depan restoran. Bingung tujuan kemana selanjutnya.
Kakinya kembali melangkah tiada henti sampai akhirnya gemuruh suara langit terdengar. Eva mendongak, dan satu tetes air hujan pun turun.
“Aduh!” Eva segera mencari tempat untuk berteduh.
Cukup lama Eva berdiam di depan sebuah toko yang sudah tutup. Hujan tidak juga berhenti, malah semakin deras. Keadaan jalanan pun sudah mulai sepi.
Eva menggosokkan beberapa kali lengannya. Hawa dingin menerpa langsung hingga pori-pori kulitnya.
Mau menghubungi kendaraan online, ponselnya sudah mati karena kehabisan baterai. Tidak ada yang diharapkan selain menunggu reda dan melanjutkan jalan.
Eva mulai merasa takut sekarang. Bagi dirinya yang besar di asrama, di luar negeri, tempat ini cukup mengerikan. Dulu, ia jarang keluar asrama, karena kegiatannya hanya diisi kegiatan belajar dan belajar.
Tiba-tiba terlintas di kepalanya. Apa Anggara menunggunya, ya? Apa pria itu mengkhawatirkannya?
Namun kemudian, ia menjawab sendiri. “Tidak mungkin sekali Anggara mengkhawatirkanku….” Eva mendesah pelan.
“Halo, Nona. Sendirian?” sapa seseorang menghampiri Eva.
Eva segera menjauh, menepi hingga ujung tempat duduknya. Ia tidak menjawab ucapan pria yang tidak dikenalnya.
Eva bertambah cemas. Jantungnya berdegup dan menatap harap mobil yang berlalu lalang salah satunya bisa membantunya.
“Apa kamu tersesat, Nona?” Pria dengan tato di lengan kanannya terus mendekat ke arah Eva. “Ayo saya antar, sepertinya Anda butuh tumpangan.”
“Tidak, saya menunggu suami saya.” Eva tidak berani membalas tatapan Melvin. Ia masih berusaha mengatur nada bicaranya agar terdengar dingin dan tak ketakutan.
Tangan Eva mengepal, memegang erat tas yang hanya terisi dompet dan ponsel mati miliknya.
Pria itu tertawa. “Suami? Mana suami kamu? Bukannya sejak dari restoran kamu sendirian. Saya memperhatikan Anda sejak tadi, sendirian.”
Tawa itu seolah mengejek Eva. Ada satu hal lagi yang membuat Eva tambah ketakutan, yaitu fakta kalau pria itu sudah mengikutinya sedari tadi. Mata Eva bergerak panik, mencari bantuan. Namun di satu sisi, kakinya sudah lemas karena takut.
Setelah ini, ia tidak akan memilih opsi kabur ketika sedang emosi.
Akhirnya, Eva menguatkan dirinya dan berdiri. Biarlah hujan mengguyur tubuhnya. Tanpa bicara apa pun, ia pergi dari tempat itu.
“Aduh, Nona, jangan sombong begitu….” pria itu mengejar Eva, dan langsung menangkap tangannya. “Mending pulang sama saya. Kamu terlihat kedinginan.”
“Jangan mendekat!” pekik Eva kencang.
Pria itu lagi-lagi menanggapi dengan tawa. “Wow, kencang sekali suara kamu, Nona. Dan begitu merdu.”
Eva terus memberontak, tapi cengkraman pria itu begitu kuat. “Lepaskan! Suami saya akan datang, kamu jangan macam-macam sama saya!” Eva mulai histeris ketakutan.
Seringai kecil muncul dari bibir pria itu, lalu dengan berani ia mulai menarik tangan Eva, sedikit menyeretnya. Mata Eva membulat, jantungnya hampir berhenti berdetak.
Ia tidak pernah berhubungan dengan pria selain Anggara, jadi tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Ia begitu panik, pikiran-pikiran buruk berputar di kepalanya. Bulan madu yang harusnya jadi waktunya beristirahat, malah menjadi mimpi buruk.
“Siapa pun, tolong!” Eva tercekat dengan tatapan lapar pria itu.
Pria bertato itu menjilat bibirnya. “Jangan teriak, Nona cantik….”
Tenaga pria itu begitu besar, sampai Eva bisa ditariknya. Eva terus berteriak, tapi tidak ada siapa pun di sana. Jalanan Bali pada hampir tengah malam ini begitu sepi, apalagi hujan deras.
Eva sudah basah kuyup, tapi jujur ia tidak peduli. Ia hanya memikirkan keselamatannya.
“Tolong!” teriak Eva lagi.
“Mulai melunjak ya! Kubilang diam—”
Bugh!
Sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya, ia sudah terhuyung ke belakang saat seseorang menarik kerah belakang bajunya. Kejadiannya begitu cepat, sampai Eva tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Ia hanya tahu, Anggara sudah menduduki badan pria bertato itu dan memukulnya habis-habisan.
“Sialan kau!” teriak Anggara sambil terus memukul. Eva membeku sejenak. Ia memang tahu kalau Anggara itu adalah orang yang arogan dan dingin, tapi ini adalah kali pertama Eva melihatnya mengamuk. Anggara memukul pria itu membabi buta, mulutnya juga tidak berhenti mengucapkan kata kasar. Tubuh Eva semakin bergetar. Rasa takutnya berganti. Suara bogem terdengar menyakitkan. ‘Bagaimana kalau Anggara membunuh pria itu?’ “Anggara! S-sudah!” dengan pikiran buruknya itu, Eva pun berteriak di tengah hujan. Tangannya terulur, meraih baju belakang Anggara. “Anggara… a-aku takut….” Mungkin karena merasakan tarikan di bagian belakang bajunya yang basah, Anggara akhirnya berhenti. Pria bertato itu pun sudah tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Anggara mendecih, lalu segera menarik tangan Eva dari sana. Ia membawanya masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. “Apa kamu udah gila?!” bentak Anggara langsung begitu mereka berdua ada di mobil. Ia pun menjalankan kendaraan itu. Eva
Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman. “Mas Gara mau kemana?” tanya Eva.Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu.“Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali.Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupu
“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon ter
Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Apa yang terjadi, Sayang? kenapa? bukanya masih jam kantor? atau kamu hari ini belum masuk kantor?” Pertanyaan beruntun di layangkan Mama Dara.Eva memeluk begitu erat ibunya. Mengabaikan pertanyaan panjang Mama Dara yang seolah hanya masuk dan lewat gendang telinganya.Mama Dara paham membiarkan putri sulungnya. Meski sebenarnya awalnya sangat terkejut, ketika membuat kue mendapatkan kejutan pelukan tiba-tiba dari Eva, untung tidak ada riwayat jantung seperti suaminya.“Untung bukan Papa kamu yang kamu beginikan. Sudah pasti akan langsung ke rumah sakit,” kekhawatiran Mama Dara menunggu putrinya melepaskan pelukan erat itu.Eva melepas belitan tangannya. Aroma khas mamanya seolah memberi obat rasa sakit yang kurasakan tadi. Meski itu hanya sesaat, setidaknya lebih baik.“Mama tanya apa tadi?” kata Eva meletakkan oleh-oleh dari Bali yang baru sempat ia antar.“Darimana? kenapa gak ngabarin kalau mau datang, kata mertua kamu kemarin kalian bulan madu, apa Anggara tidak ikut,” kata Mam
“Istrimu kembali,” ucap perempuan berbeda kesekian kalinya menyambut kepulangan Eva.Eva memejamkan matanya sesaat. Suguhan adegan sudah tidak terhitung lagi. Lelah sekaligus muak, capek sekali apalagi ia pulang dari kerja. Mau tidak pulang, tapi tidak ada lagi tempatnya pulang kecuali rumah hadiah pernikahan ini.Anggara mengecup pipi kekasihnya. “Biarkan saja, Sayang!”“Apa dia tidak memberi servis terbaik? aku rasa tanpa kamu menjawab jawabannya sudah tentu, tidak!” ejek perempuan itu. Tatapan merendahkan begitu angkuh.“Biarkan saja,” tegas Anggara. Namun, wajahnya puas melihat wajah kekesalan Eva kali ini. “Tidakkah tempat diluar sana yang cocok untuk berpacaran,” kata Eva yang sudah tidak tahan lagi. Kalimat terdengar datar. Sudah ia tahan selama ini. Namun, tetap Anggara selalu dengan tingkahnya. Seolah ada ribuan cara untuk menguji besar kesabarannya.Seringai lebar nampak di wajah angkuh Anggara. Akhirnya, berhasil membuat Eva mengatakan protesnya.“Seharusnya dengan adanya
“Tolong sajikan hidangan dan minuman hangat. Gulanya pakai khusus, Bik. Eva akan turun sebentar lagi, masih bergantian mandi sama Mas Gara.” Bik Darmi mengangguk. “Saya permisi, Bu.” “Bik, tunggu.” Bik Darmi baru beberapa langkah menghentikan langkahnya. Eva segera beranjak bergerak menghampiri dengan langkah cepat. Kepalanya mulai bergerak menatap lantai bawah, meski kenyataan tidak terlihat sama sekali, tapi mampu membuat hati Eva was-was. “Bik, tolong jangan katakan apapun.” Eva berkata dengan pelan. Tangan lembutnya meraih tangan Bik Darmi pelan. “Apapun yang Bik Darmi lihat selama ini. Kalau Eyang tanya sesuatu tentang itu,” tegas Eva. Bik Darmi mengangguk. Mata senjanya tersorot rasa prihatin sekaligus kasihan. Selain benda mati di rumah dua lantai itu, Bik Darmi lah satu-satunya yang menjadi saksi bagaimana tingkah Anggara dengan pacarnya. Mau berkomentar tentu sebagai orang luar tidak bisa melakukan apapun. “Bik Darmi tidak begitu, Bu. Kata cucu saya zaman sekara
“Kalian terdengar keberatan.” Eva dan Anggara saling bersitatap. Tatapan seolah saling beradu membayangkan adegan yang akan terjadi kedepannya. Selama Eyang berada di ruang mereka.“Bu-bu ….”“Berapa lama, Eyang? kita sibuk, Eyang pasti tahu itu?” Anggara menyela menyatakan keberatannya.“Besok bukannya kamu juga ke kantor, Sayang?” Anggara merapatkan duduknya menghampiri Eva. Rangkulan dan kecupan mendarat di pipinya.“I-iya.” Eva gugup dan terkejut dengan serangan tiba-tiba Anggara. Bukan serangan, tapi seolah sinyal tanda bahwa adegan akting sudah dimulai.“Eyang juga jangan sampai ingin mencari perawan karena melihat kemesraan pengantin baru,” lanjut Anggara dengan nada mengejek dan kembali mengecup pipi Eva. Emuah …Eva menegang. Jantungnya berdegup dengan kencang seiring dengan kecupan yang terdengar. Mesti bukan pertama kali tentu perlakuan Anggara yang sangat manis dan mesra selalu berhasil membuat bulu kuduk berdiri merinding meremang.“Dasar cucu sialan. Apa yang kamu kata