Share

Bab 4

Eva keluar hotel bertepatan dengan senja akan datang. Kebetulan hotel yang ditempati tidak begitu jauh dari pantai, hanya berjalan sebentar sudah sampai.

Suara ombak terdengar membuat Eva terpaku melihat keindahan air terlihat biru itu. Alas kaki segera ia lepas kemudian berlari kecil menghampiri. Sejenak pantai yang terkenal sedikit menyembuhkan Eva. 

Suara gemuruh sorak terdengar. Sorakan para pengunjung pantai menyaksikan senja yang akan datang dan sangat indah. Eva juga menyaksikan itu, tapi hanya terpaku dalam diam tangan terlipat menatap indahnya sinar oren itu.

Hingga dalam sekejap malam sudah datang. Semua berubah menjadi gelap dan orang-orang mulai berhamburan pergi. Seiring dengan itu, perutnya mulai bernyanyi nyaring.

“Aku lapar…,” guman Eva. 

Langkahnya asal menuju salah satu restoran. Hanya berbekal mengira-ngira, ia segera masuk. Tidak ada niat untuk kembali, bayangan panas. Anggara dengan perempuan itu terlintas tanpa dicegah.

Dibandingkan dengan bulan madu, Eva malah seperti sedang liburan sendiri. Restoran yang dipilih asal tidak begitu buruk. Tersedia hiburan pagelaran musik dengan tarian daerah menambah hiburan malam Eva. Eva menikmati hingga restoran sepenuhnya tutup.

“Aku malas kembali,” lirih Eva ketika sampai di depan restoran. Bingung tujuan kemana selanjutnya.

Kakinya kembali melangkah tiada henti sampai akhirnya gemuruh suara langit terdengar. Eva mendongak, dan satu tetes air hujan pun turun.

“Aduh!” Eva segera mencari tempat untuk berteduh.

Cukup lama Eva berdiam di depan sebuah toko yang sudah tutup. Hujan tidak juga berhenti, malah semakin deras. Keadaan jalanan pun sudah mulai sepi.

Eva menggosokkan beberapa kali lengannya. Hawa dingin menerpa langsung hingga pori-pori kulitnya. 

Mau menghubungi kendaraan online, ponselnya sudah mati karena kehabisan baterai. Tidak ada yang diharapkan selain menunggu reda dan melanjutkan jalan.

Eva mulai merasa takut sekarang. Bagi dirinya yang besar di asrama, di luar negeri, tempat ini cukup mengerikan. Dulu, ia jarang keluar asrama, karena kegiatannya hanya diisi kegiatan belajar dan belajar.

Tiba-tiba terlintas di kepalanya. Apa Anggara menunggunya, ya? Apa pria itu mengkhawatirkannya?

Namun kemudian, ia menjawab sendiri. “Tidak mungkin sekali Anggara mengkhawatirkanku….” Eva mendesah pelan. 

“Halo, Nona. Sendirian?” sapa seseorang menghampiri Eva.

Eva segera menjauh, menepi hingga ujung tempat duduknya. Ia tidak menjawab ucapan pria yang tidak dikenalnya.

Eva bertambah cemas. Jantungnya berdegup dan menatap harap mobil yang berlalu lalang salah satunya bisa membantunya.

“Apa kamu tersesat, Nona?” Pria dengan tato di lengan kanannya terus mendekat ke arah Eva. “Ayo saya antar, sepertinya Anda butuh tumpangan.”

“Tidak, saya menunggu suami saya.” Eva tidak berani membalas tatapan Melvin. Ia masih berusaha mengatur nada bicaranya agar terdengar dingin dan tak ketakutan. 

Tangan Eva mengepal, memegang erat tas yang hanya terisi dompet dan ponsel mati miliknya. 

Pria itu tertawa. “Suami? Mana suami kamu? Bukannya sejak dari restoran kamu sendirian. Saya memperhatikan Anda sejak tadi, sendirian.”

Tawa itu seolah mengejek Eva. Ada satu hal lagi yang membuat Eva tambah ketakutan, yaitu fakta kalau pria itu sudah mengikutinya sedari tadi. Mata Eva bergerak panik, mencari bantuan. Namun di satu sisi, kakinya sudah lemas karena takut.

Setelah ini, ia tidak akan memilih opsi kabur ketika sedang emosi.

Akhirnya, Eva menguatkan dirinya dan berdiri. Biarlah hujan mengguyur tubuhnya. Tanpa bicara apa pun, ia pergi dari tempat itu.

“Aduh, Nona, jangan sombong begitu….” pria itu mengejar Eva, dan langsung menangkap tangannya. “Mending pulang sama saya. Kamu terlihat kedinginan.” 

“Jangan mendekat!” pekik Eva kencang.

Pria itu lagi-lagi menanggapi dengan tawa. “Wow, kencang sekali suara kamu, Nona. Dan begitu merdu.”

Eva terus memberontak, tapi cengkraman pria itu begitu kuat. “Lepaskan! Suami saya akan datang, kamu jangan macam-macam sama saya!” Eva mulai histeris ketakutan.

Seringai kecil muncul dari bibir pria itu, lalu dengan berani ia mulai menarik tangan Eva, sedikit menyeretnya. Mata Eva membulat, jantungnya hampir berhenti berdetak.

Ia tidak pernah berhubungan dengan pria selain Anggara, jadi tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Ia begitu panik, pikiran-pikiran buruk berputar di kepalanya. Bulan madu yang harusnya jadi waktunya beristirahat, malah menjadi mimpi buruk.

“Siapa pun, tolong!” Eva tercekat dengan tatapan lapar pria itu.

Pria bertato itu menjilat bibirnya. “Jangan teriak, Nona cantik….”

Tenaga pria itu begitu besar, sampai Eva bisa ditariknya. Eva terus berteriak, tapi tidak ada siapa pun di sana. Jalanan Bali pada hampir tengah malam ini begitu sepi, apalagi hujan deras. 

Eva sudah basah kuyup, tapi jujur ia tidak peduli. Ia hanya memikirkan keselamatannya.

“Tolong!” teriak Eva lagi.

“Mulai melunjak ya! Kubilang diam—”

Bugh!

Sebelum pria itu menyelesaikan ucapannya, ia sudah terhuyung ke belakang saat seseorang menarik kerah belakang bajunya. Kejadiannya begitu cepat, sampai Eva tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Ia hanya tahu, Anggara sudah menduduki badan pria bertato itu dan memukulnya habis-habisan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status