Share

Bab 3

Pria itu pun membalikkan tubuh Eva ke arahnya dan sebuah kecupan mendarat di puncak kening Eva dengan lembut.

Cup!

"K-kamu...."

Senyum manis Anggara langsung sirna, dan digantikan dengan wajah dingin. Karena posisinya membelakangi para orang tua, jadi hanya Eva yang bisa melihat perubahan ekspresi itu.

“Eyang sedang memperhatikan kita,” bisik Anggara dengan penuh penekanan membuat Eva tidak jadi bertanya. "Jangan bertindak macam-macam di depan mereka."

Tubuh Eva langsung kaku. Ia tidak mengangguk, atau hanya sekadar tersenyum. Saat Anggara membalikkan tubuhnya pun Eva hanya bisa menundukkan kepala.

Makan malam pun berlangsung. Eva lebih banyak diam dan menikmati makanannya perlahan. Sepanjang makan malam, Anggara menunjukkan bagaimana ia adalah suami yang perhatian padanya.

Anggara mengambilkan Eva piring, minuman, bahkan memotongkan dagingnya. Sikapnya berbeda 180 derajat dari kemarin. Meskipun begitu, hati Eva malah bertambah sakit.

Pria ini seolah menganggap kejadian kemarin tidak pernah ada.

“Besok biarkan Ayah kamu yang mengurus kantor, kamu harus ajak istrimu honeymoon!” ucap Bunda Zia tiba-tiba ketika pembahasan mereka mengarah ke kesibukan Anggara.

“Apa?” balas Eva dan Anggara serempak terkejut.

Eva tanpa sadar meremas gaunnya. Ia takut kalau Anggara akan memperlakukan sama seperti malam itu ketika mereka berbulan madu. Tidak bisa dipungkiri, bulan madu pasti akan identik dengan hal semacam itu.

“A-aku—”

Namun, sebelum Eva menolak, Anggara lebih dulu berbicara, “Anggara sangat sibuk, Bund. Tidak bisa, pernikahan kemarin saja sangat membuat jadwalku acak-acakan.”

“Tidak ada penolakan! Apa-apaan kalian, baru menikah, tapi sudah sibuk bekerja! Kamu segera buatkan aku cicit.” Eyang Cakra menimpali dengan tegas. "Atau, tidak usah saja mewarisi perusahaanku!"

Eva diam, tapi matanya melirik Anggara yang tengah mencengkram sendok dengan erat. Ia pun mengangkat kepala, dan pada saat itulah tatapannya bertemu dengan Anggara. Pria itu tampak sangat marah.

Eva langsung berpaling. Setelah menarik napas dalam, ia berkata dengan senyuman tipis. “Benar kata Mas Gara, Bund, Eyang. Lebih baik jika diundur saja dulu.”

“Lagipula,” Eva melanjutkan. “Banyak yang harus dipersiapkan, kan.”

Eva pikir, dengan alasan seperti itu, Eyang Cakra akan luluh. Namun ternyata, rencana itu gagal.

“Tidak perlu, Eyang sudah siapkan. Besok kalian bisa berangkat.” Eyang melebarkan senyumannya.

***

Keesokan harinya, keluarga melepas kepergian mereka sampai bandara. Eva dan Anggara tidak bisa kabur karena mata-mata mereka terus mengawasi sampai ke ruang tunggu, menuju boarding.

Eva duduk di sisi jendela pesawat, mengabaikan Anggara yang sibuk sendiri dengan ponselnya. Pria itu terus mengabaikannya setelah lolos dari pengawasan para orangtua. Jangankan membantunya menyeret koper, menyamakan langkahnya saja tidak mau.

Eva cukup lelah, semalam tidak tidur nyenyak karena selalu terbangun dengan waspada. Meskipun pada akhirnya mereka tidak tidur sekamar, tetap saja Eva takut kalau tiba-tiba Anggara menyerangnya lagi.

Setiba di Bandara Ngurah rai, Anggara tetap saja cuek. Padahal, Eva kesusahan dengan kopernya, tapi Anggara tetap berjalan dengan kedua tangan di sakunya berjalan, meninggalkan Eva yang kesusahan.

Seperti yang dikatakan Eyang, semua sudah disiapkan olehnya. Ketika sampai sudah ada seseorang yang tentu menjemput keduanya. Anggara tidak berulah, hanya mengikuti orang itu sampai ke hotel bintang 5, yang ada di pinggir hotel.

‘Kenapa dia jadi penurut sekali?’ dahi Eva berkerut bingung melihat Anggara yang begitu tenang.

“Anggara sayaaaang….”

Baru saja Eva berpikir begitu, tiba-tiba ia mendengar suara melengking panjang dari arah belakang. Anggara, yang sedang melakukan check-in hotel pun menoleh, begitu juga dengan Eva. Wajah pria itu langsung semringah.

“Bagaimana perjalanan kamu?” Wanita yang memakai gaun pantai tipis berwarna kuning itu langsung memeluk Anggara.

Anggara menyambutnya, bahkan mencium pipi wanita itu sekilas. “Lumayan.”

Eva mematung. Dia pikir, Anggara tidak berulah hingga beberapa hari ke depan, ternyata tidak.

“Siapa dia?” guman pelan Eva.

Eva menatap datar Anggara dengan cengkraman erat di kopernya. Anggara tidak menanggapinya, bahkan membiarkan wanita berpakaian sangat seksi itu menciumnya beberapa kali.

Eva merasakan sesak di dada, ingin sekali berteriak marah. “Tapi, aku hanya istri di depan Eyang dan keluarganya,” batin Eva tersadar kenyataan itu.

Hingga Anggara dan wanita menjauh, meninggalkan dirinya di meja resepsionis. Mereka terlihat masuk lift lebih dulu.

Dari kecil, Eva tidak pernah diajarkan berbicara kasar. Namun sekarang, bibirnya tidak bisa menahan lagi. “Brengsek!”

“Kak, kuncinya.” Suara resepsionis menyadarkan Eva dari lamunannya.

Eva menarik napas panjang, lalu berusaha memaksa tersenyum. Eva segera mengambil kunci kamar hotelnya.

“Terima kasih,” lirih Eva nyaris tidak terdengar.

Ia naik menuju lantai 7, dan mencari nomor hotelnya. Begitu ketemu, ia membuka pintu itu dengan kunci di tangannya. Koper besar itu pun diseretnya masuk.

“Ahh… kamu nakal sekali, Sayang!”

Betapa terkejutnya Eva ketika mendengar suara desahan dari ruang tamu kamar hotelnya. Ia segera mempercepat langkahnya, terlebih ketika suara kecapan bibir semakin jelas.

“Apa yang—”

Suara Eva tercekat ketika melihat Anggara sedang mencumbu wanita bergaun kuning itu. Bahkan posisi wanita itu sudah ada di pangkuan Anggara.

Anggara menjauhkan bibirnya dari leher wanita itu dan menoleh. “Oh? Maaf.”

Maaf? Mata Eva membulat, tidak percaya apa yang baru didengarnya. Itu adalah permintaan maaf paling tak tulus yang pernah Eva dengar. Belum lagi tatapannya yang datar, dan senyum miringnya itu.

Eva menggenggam tangannya dengan keras, lalu menunjuk pintu. “Keluar dari kamarku!”

“Kamarmu?” Anggara mendengus. “Ini kamarku.”

Dari semua tempat, puluhan kamar hotel yang ada, Anggara memilih tempat yang dipesan Eyang untuk bercumbu dengan kekasihnya. Rasanya, migrain Eva semakin parah.

“Anggara,” desah Eva sambil memijat pelipisnya, sejak kejadian itu, ia sama sekali tidak mau memanggil Anggara dengan 'Mas'.

"Tidak bisakah kamu menghargai aku sedikit saja di sini? Eyang yang memesan ini untuk kita, bukan untuk kamu dan..." Eva menarik napas sejenak, menyaring kata yang akan keluar. "Wanita ini."

Anggara malah tertawa keras. “Apa kamu mau aku menganggapmu sebagai istri sungguhan?”

Benar, memang sulit berbicara dengan Anggara. Akhirnya, Eva menyerah.

"Baiklah, jika mau kamu seperti itu." Eva mengangguk sekali. "Mungkin lebih baik aku yang pergi saja agar tetap waras."

"Ya, pergi saja."

"Jangan salahkan aku kalau Eyang menghubungimu setelah ini."

“APA?!” terdengar suara keras dari Anggara, tapi Eva tidak peduli.

“Silakan lanjutkan,” ucap Eva, sebelum menutup pintu kamar itu dengan keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status