Pria itu pun membalikkan tubuh Eva ke arahnya dan sebuah kecupan mendarat di puncak kening Eva dengan lembut.
Cup! "K-kamu...." Senyum manis Anggara langsung sirna, dan digantikan dengan wajah dingin. Karena posisinya membelakangi para orang tua, jadi hanya Eva yang bisa melihat perubahan ekspresi itu. “Eyang sedang memperhatikan kita,” bisik Anggara dengan penuh penekanan membuat Eva tidak jadi bertanya. "Jangan bertindak macam-macam di depan mereka." Tubuh Eva langsung kaku. Ia tidak mengangguk, atau hanya sekadar tersenyum. Saat Anggara membalikkan tubuhnya pun Eva hanya bisa menundukkan kepala. Makan malam pun berlangsung. Eva lebih banyak diam dan menikmati makanannya perlahan. Sepanjang makan malam, Anggara menunjukkan bagaimana ia adalah suami yang perhatian padanya. Anggara mengambilkan Eva piring, minuman, bahkan memotongkan dagingnya. Sikapnya berbeda 180 derajat dari kemarin. Meskipun begitu, hati Eva malah bertambah sakit. Pria ini seolah menganggap kejadian kemarin tidak pernah ada. “Besok biarkan Ayah kamu yang mengurus kantor, kamu harus ajak istrimu honeymoon!” ucap Bunda Zia tiba-tiba ketika pembahasan mereka mengarah ke kesibukan Anggara. “Apa?” balas Eva dan Anggara serempak terkejut. Eva tanpa sadar meremas gaunnya. Ia takut kalau Anggara akan memperlakukan sama seperti malam itu ketika mereka berbulan madu. Tidak bisa dipungkiri, bulan madu pasti akan identik dengan hal semacam itu. “A-aku—” Namun, sebelum Eva menolak, Anggara lebih dulu berbicara, “Anggara sangat sibuk, Bund. Tidak bisa, pernikahan kemarin saja sangat membuat jadwalku acak-acakan.” “Tidak ada penolakan! Apa-apaan kalian, baru menikah, tapi sudah sibuk bekerja! Kamu segera buatkan aku cicit.” Eyang Cakra menimpali dengan tegas. "Atau, tidak usah saja mewarisi perusahaanku!" Eva diam, tapi matanya melirik Anggara yang tengah mencengkram sendok dengan erat. Ia pun mengangkat kepala, dan pada saat itulah tatapannya bertemu dengan Anggara. Pria itu tampak sangat marah. Eva langsung berpaling. Setelah menarik napas dalam, ia berkata dengan senyuman tipis. “Benar kata Mas Gara, Bund, Eyang. Lebih baik jika diundur saja dulu.” “Lagipula,” Eva melanjutkan. “Banyak yang harus dipersiapkan, kan.” Eva pikir, dengan alasan seperti itu, Eyang Cakra akan luluh. Namun ternyata, rencana itu gagal. “Tidak perlu, Eyang sudah siapkan. Besok kalian bisa berangkat.” Eyang melebarkan senyumannya. *** Keesokan harinya, keluarga melepas kepergian mereka sampai bandara. Eva dan Anggara tidak bisa kabur karena mata-mata mereka terus mengawasi sampai ke ruang tunggu, menuju boarding. Eva duduk di sisi jendela pesawat, mengabaikan Anggara yang sibuk sendiri dengan ponselnya. Pria itu terus mengabaikannya setelah lolos dari pengawasan para orangtua. Jangankan membantunya menyeret koper, menyamakan langkahnya saja tidak mau. Eva cukup lelah, semalam tidak tidur nyenyak karena selalu terbangun dengan waspada. Meskipun pada akhirnya mereka tidak tidur sekamar, tetap saja Eva takut kalau tiba-tiba Anggara menyerangnya lagi. Setiba di Bandara Ngurah rai, Anggara tetap saja cuek. Padahal, Eva kesusahan dengan kopernya, tapi Anggara tetap berjalan dengan kedua tangan di sakunya berjalan, meninggalkan Eva yang kesusahan. Seperti yang dikatakan Eyang, semua sudah disiapkan olehnya. Ketika sampai sudah ada seseorang yang tentu menjemput keduanya. Anggara tidak berulah, hanya mengikuti orang itu sampai ke hotel bintang 5, yang ada di pinggir hotel. ‘Kenapa dia jadi penurut sekali?’ dahi Eva berkerut bingung melihat Anggara yang begitu tenang. “Anggara sayaaaang….” Baru saja Eva berpikir begitu, tiba-tiba ia mendengar suara melengking panjang dari arah belakang. Anggara, yang sedang melakukan check-in hotel pun menoleh, begitu juga dengan Eva. Wajah pria itu langsung semringah. “Bagaimana perjalanan kamu?” Wanita yang memakai gaun pantai tipis berwarna kuning itu langsung memeluk Anggara. Anggara menyambutnya, bahkan mencium pipi wanita itu sekilas. “Lumayan.” Eva mematung. Dia pikir, Anggara tidak berulah hingga beberapa hari ke depan, ternyata tidak. “Siapa dia?” guman pelan Eva. Eva menatap datar Anggara dengan cengkraman erat di kopernya. Anggara tidak menanggapinya, bahkan membiarkan wanita berpakaian sangat seksi itu menciumnya beberapa kali. Eva merasakan sesak di dada, ingin sekali berteriak marah. “Tapi, aku hanya istri di depan Eyang dan keluarganya,” batin Eva tersadar kenyataan itu. Hingga Anggara dan wanita menjauh, meninggalkan dirinya di meja resepsionis. Mereka terlihat masuk lift lebih dulu. Dari kecil, Eva tidak pernah diajarkan berbicara kasar. Namun sekarang, bibirnya tidak bisa menahan lagi. “Brengsek!” “Kak, kuncinya.” Suara resepsionis menyadarkan Eva dari lamunannya. Eva menarik napas panjang, lalu berusaha memaksa tersenyum. Eva segera mengambil kunci kamar hotelnya. “Terima kasih,” lirih Eva nyaris tidak terdengar. Ia naik menuju lantai 7, dan mencari nomor hotelnya. Begitu ketemu, ia membuka pintu itu dengan kunci di tangannya. Koper besar itu pun diseretnya masuk. “Ahh… kamu nakal sekali, Sayang!” Betapa terkejutnya Eva ketika mendengar suara desahan dari ruang tamu kamar hotelnya. Ia segera mempercepat langkahnya, terlebih ketika suara kecapan bibir semakin jelas. “Apa yang—” Suara Eva tercekat ketika melihat Anggara sedang mencumbu wanita bergaun kuning itu. Bahkan posisi wanita itu sudah ada di pangkuan Anggara. Anggara menjauhkan bibirnya dari leher wanita itu dan menoleh. “Oh? Maaf.” Maaf? Mata Eva membulat, tidak percaya apa yang baru didengarnya. Itu adalah permintaan maaf paling tak tulus yang pernah Eva dengar. Belum lagi tatapannya yang datar, dan senyum miringnya itu. Eva menggenggam tangannya dengan keras, lalu menunjuk pintu. “Keluar dari kamarku!” “Kamarmu?” Anggara mendengus. “Ini kamarku.” Dari semua tempat, puluhan kamar hotel yang ada, Anggara memilih tempat yang dipesan Eyang untuk bercumbu dengan kekasihnya. Rasanya, migrain Eva semakin parah. “Anggara,” desah Eva sambil memijat pelipisnya, sejak kejadian itu, ia sama sekali tidak mau memanggil Anggara dengan 'Mas'. "Tidak bisakah kamu menghargai aku sedikit saja di sini? Eyang yang memesan ini untuk kita, bukan untuk kamu dan..." Eva menarik napas sejenak, menyaring kata yang akan keluar. "Wanita ini." Anggara malah tertawa keras. “Apa kamu mau aku menganggapmu sebagai istri sungguhan?” Benar, memang sulit berbicara dengan Anggara. Akhirnya, Eva menyerah. "Baiklah, jika mau kamu seperti itu." Eva mengangguk sekali. "Mungkin lebih baik aku yang pergi saja agar tetap waras." "Ya, pergi saja." "Jangan salahkan aku kalau Eyang menghubungimu setelah ini." “APA?!” terdengar suara keras dari Anggara, tapi Eva tidak peduli. “Silakan lanjutkan,” ucap Eva, sebelum menutup pintu kamar itu dengan keras.Eva keluar hotel bertepatan dengan senja akan datang. Kebetulan hotel yang ditempati tidak begitu jauh dari pantai, hanya berjalan sebentar sudah sampai.Suara ombak terdengar membuat Eva terpaku melihat keindahan air terlihat biru itu. Alas kaki segera ia lepas kemudian berlari kecil menghampiri. Sejenak pantai yang terkenal sedikit menyembuhkan Eva. Suara gemuruh sorak terdengar. Sorakan para pengunjung pantai menyaksikan senja yang akan datang dan sangat indah. Eva juga menyaksikan itu, tapi hanya terpaku dalam diam tangan terlipat menatap indahnya sinar oren itu.Hingga dalam sekejap malam sudah datang. Semua berubah menjadi gelap dan orang-orang mulai berhamburan pergi. Seiring dengan itu, perutnya mulai bernyanyi nyaring.“Aku lapar…,” guman Eva. Langkahnya asal menuju salah satu restoran. Hanya berbekal mengira-ngira, ia segera masuk. Tidak ada niat untuk kembali, bayangan panas. Anggara dengan perempuan itu terlintas tanpa dicegah.Dibandingkan dengan bulan madu, Eva malah s
“Sialan kau!” teriak Anggara sambil terus memukul. Eva membeku sejenak. Ia memang tahu kalau Anggara itu adalah orang yang arogan dan dingin, tapi ini adalah kali pertama Eva melihatnya mengamuk. Anggara memukul pria itu membabi buta, mulutnya juga tidak berhenti mengucapkan kata kasar. Tubuh Eva semakin bergetar. Rasa takutnya berganti. Suara bogem terdengar menyakitkan. ‘Bagaimana kalau Anggara membunuh pria itu?’ “Anggara! S-sudah!” dengan pikiran buruknya itu, Eva pun berteriak di tengah hujan. Tangannya terulur, meraih baju belakang Anggara. “Anggara… a-aku takut….” Mungkin karena merasakan tarikan di bagian belakang bajunya yang basah, Anggara akhirnya berhenti. Pria bertato itu pun sudah tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Anggara mendecih, lalu segera menarik tangan Eva dari sana. Ia membawanya masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. “Apa kamu udah gila?!” bentak Anggara langsung begitu mereka berdua ada di mobil. Ia pun menjalankan kendaraan itu. Eva
Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman. “Mas Gara mau kemana?” tanya Eva.Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu.“Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali.Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupu
“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon ter
Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Apa yang terjadi, Sayang? kenapa? bukanya masih jam kantor? atau kamu hari ini belum masuk kantor?” Pertanyaan beruntun di layangkan Mama Dara.Eva memeluk begitu erat ibunya. Mengabaikan pertanyaan panjang Mama Dara yang seolah hanya masuk dan lewat gendang telinganya.Mama Dara paham membiarkan putri sulungnya. Meski sebenarnya awalnya sangat terkejut, ketika membuat kue mendapatkan kejutan pelukan tiba-tiba dari Eva, untung tidak ada riwayat jantung seperti suaminya.“Untung bukan Papa kamu yang kamu beginikan. Sudah pasti akan langsung ke rumah sakit,” kekhawatiran Mama Dara menunggu putrinya melepaskan pelukan erat itu.Eva melepas belitan tangannya. Aroma khas mamanya seolah memberi obat rasa sakit yang kurasakan tadi. Meski itu hanya sesaat, setidaknya lebih baik.“Mama tanya apa tadi?” kata Eva meletakkan oleh-oleh dari Bali yang baru sempat ia antar.“Darimana? kenapa gak ngabarin kalau mau datang, kata mertua kamu kemarin kalian bulan madu, apa Anggara tidak ikut,” kata Mam
“Istrimu kembali,” ucap perempuan berbeda kesekian kalinya menyambut kepulangan Eva.Eva memejamkan matanya sesaat. Suguhan adegan sudah tidak terhitung lagi. Lelah sekaligus muak, capek sekali apalagi ia pulang dari kerja. Mau tidak pulang, tapi tidak ada lagi tempatnya pulang kecuali rumah hadiah pernikahan ini.Anggara mengecup pipi kekasihnya. “Biarkan saja, Sayang!”“Apa dia tidak memberi servis terbaik? aku rasa tanpa kamu menjawab jawabannya sudah tentu, tidak!” ejek perempuan itu. Tatapan merendahkan begitu angkuh.“Biarkan saja,” tegas Anggara. Namun, wajahnya puas melihat wajah kekesalan Eva kali ini. “Tidakkah tempat diluar sana yang cocok untuk berpacaran,” kata Eva yang sudah tidak tahan lagi. Kalimat terdengar datar. Sudah ia tahan selama ini. Namun, tetap Anggara selalu dengan tingkahnya. Seolah ada ribuan cara untuk menguji besar kesabarannya.Seringai lebar nampak di wajah angkuh Anggara. Akhirnya, berhasil membuat Eva mengatakan protesnya.“Seharusnya dengan adanya
“Tolong sajikan hidangan dan minuman hangat. Gulanya pakai khusus, Bik. Eva akan turun sebentar lagi, masih bergantian mandi sama Mas Gara.” Bik Darmi mengangguk. “Saya permisi, Bu.” “Bik, tunggu.” Bik Darmi baru beberapa langkah menghentikan langkahnya. Eva segera beranjak bergerak menghampiri dengan langkah cepat. Kepalanya mulai bergerak menatap lantai bawah, meski kenyataan tidak terlihat sama sekali, tapi mampu membuat hati Eva was-was. “Bik, tolong jangan katakan apapun.” Eva berkata dengan pelan. Tangan lembutnya meraih tangan Bik Darmi pelan. “Apapun yang Bik Darmi lihat selama ini. Kalau Eyang tanya sesuatu tentang itu,” tegas Eva. Bik Darmi mengangguk. Mata senjanya tersorot rasa prihatin sekaligus kasihan. Selain benda mati di rumah dua lantai itu, Bik Darmi lah satu-satunya yang menjadi saksi bagaimana tingkah Anggara dengan pacarnya. Mau berkomentar tentu sebagai orang luar tidak bisa melakukan apapun. “Bik Darmi tidak begitu, Bu. Kata cucu saya zaman sekara