Share

Bab 2

"Kita sudahi saja pernikahan ini!"

Anggara memutar kepalanya begitu Eva mengucapkan itu. Namun, Eva buru-buru membuang pandangannya lagi sambil menyembunyikan air mata.

Baru satu bulan yang lalu ia kembali ke Indonesia, setelah menghabiskan hampir 6 tahun untuk pendidikannya di Jerman. Pada awalnya, Eva hanya ingin fokus berkarier, tapi tiba-tiba sang papa malah menyuruhnya menikah.

Ia merelakan gelar dan kariernya bukan untuk menjadi istri yang dilecehkan seperti ini.

Orang tuanya baik, tapi sangat ketat dan penuh disiplin. Eva tumbuh sebagai wanita sempurna yang anggun dan penuh tata krama. Walaupun di satu sisi, ia jadi sulit mengatakan apa kemauannya.

Anggara yang sudah berpakaian rapi pun menatap Eva sejenak, sebelum mendengus.

Ia berjalan mendekat ke arah Eva, membuat wanita itu refleks menggenggam erat selimutnya. Kepalanya tertunduk, takut menatap mata tajam Anggara.

"Hentikan omong kosong itu! Bukankah kamu juga dapat keuntungan dari pernikahan ini!" ucap Anggara penuh penekanan.

Dahi Eva berkerut. "Apa maksudnya?"

Anggara mencengkram rahang Eva, lalu mendesis. "Aku tidak tahu rayuan apa yang kamu katakan pada Eyang, tapi... Jangan sampai kamu mengucapkan kata 'cerai' di depan orang tua itu sebelum aku berhasil menduduki kursi CEO!"

Eva paham kenapa Anggara berkata seperti itu. Pernikahan ini adalah salah satu syarat agar dia mendapat warisan Eyang Cakra. Jika perceraian terjadi, apalagi Eyang Cakra masih dalam keadaan sakit, sudah pastii Anggara tidak akan mendapat apa pun.

Namun, sungguh, Eva tidak mempunyai motif apa pun dari pernikahan ini. Ia hanya ingin menjadi cucu yang baik untuk Eyang Cakra, karena beliau mengingatkan Eva kepada mendiang kakeknya. 

Eyang Cakra sangat baik dengannya sejak dulu. Ini adalah salah satu permintaan terakhirnya. Eva tidak mau menyesal, seperti ketika tidak bisa menemani kakeknya saat sakit dulu.

Sepertinya, Anggara melihat itu sebagai hal lain.

"Jangan macam-macam di depan Eyang, atau kamu akan menyesal!" Anggara kembali menekannya, sebelum meninggalkan kamar.

Eva mencengkram selimut yang menutupi tubuh polosnya. Kakinya terasa kaku untuk melangkah. Lagi-lagi kembali mendengarkan kalimat menyakitkan dari Anggara.

Tidak ada yang bisa dia lakukan, hatinya semakin sakit, padahal baru beberapa jam status pernikahan ia dapatkan.

***

Satu bulan berlalu, dan pernikahan dingin itu tetap berlangsung.

Eva mencoba untuk tidak peduli lagi dengan Anggara, walaupun selalu merasa terganggu ketika melihat Anggara pulang dengan bau parfum wanita. Pria itu hampir lembur setiap hari. Kalau pun pulang tepat waktu, Anggara pasti akan langsung pergi lagi setelah itu.

Eva sendiri juga akhirnya kembali bekerja lebih cepat dari waktu cutinya. Ia bekerja sebagai manajer pemasaran di perusahaan ayahnya.

Hari ini adalah hari Minggu. Seperti biasa, karena tidak ada kegiatan, Eva hanya duduk sambil menonton TV di ruang tengah. Sampai tiba-tiba, Anggara meneleponnya,

Pria itu lagi-lagi menghabiskan akhir pekan di kantor. Dia lebih suka bercinta dengan pekerjaannya daripada meminta maaf kepada Eva soal kejadian sebulan yang lalu.

Dengan malas, Eva mengangkatnya. "Halo--"

“Kenapa lama sekali?” Suara ketus Anggara terdengar.

"Ada apa?" jawab Eva datar.

"Dengar, Bunda meminta makan malam bersama nanti. Jadi, kamu harus dandan yang benar, dan nanti akan ada supir yang menjemput kamu.”

Anggara mengucapkan itu tanpa jeda, seolah tidak membiarkan Eva membantahnya atau membahas hal lain. Eva pun hanya terdiam.

Anggara seperti berbicara kepada bawahannya daripada kepada istrinya.

“Dan ada Eyang di sana, jadi kamu tidak bisa lari hari ini,” lanjut Anggara.

Selanjutnya, panggilan telepon terputus. Eva belum membalas atau menyanggupi ucapan Anggara. Bukan terdengar memberi tahu, tapi terdengar sebuah perintah dan Eva tidak perlu memberi pendapat atas hal itu.

Eva ingin sekali menolak, bahkan mengadu kepada orang tuanya. Tapi ia yakin kalau itu percuma, mereka tidak akan peduli. Yang mereka pedulikan hanya martabat keluarga.

Di satu sisi, Eva juga tidak tega melihat Eyang Cakra, eyangnya Anggara, yang sedang sakit itu. Ia sangat mengharapkan pernikahan dua keluarga itu. Bagaimana jadinya kalau tiba-tiba Eyang Cakra tahu kalau pernikahan mereka sangat dingin dan mengerikan?

Bahkan, Eva sudah mengajukan cerai dalam waktu kurang dari 24 jam.

Waktu berjalan tanpa terasa, dan sesuai ucapan Anggara, pada pukul 7 malam, supir datang menjemputnya. Namun sayangnya, tanpa kehadiran Anggara.

“Di mana Anggara, Pak?” Eva terlihat ragu. Dia tidak terbiasa dengan orang asing, apalagi dulu hidup di asrama sekolah yang jarang keluar rumah.

“Tuan Muda akan menyusul, Nyonya. Perkenalkan saya Johan supir dari rumah utama,” ucap Johan memperkenalkan diri.

Eva mengangguk kemudian segera masuk duduk di bagian penumpang.

Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata. Eva menatap keluar jendela. Hingga tidak membutuhkan waktu lama, mereka sudah memasuki halaman rumah tiga lantai milik mertuanya. Terlihat sepasang paruh baya menyambut kedatangannya.

“Halo, menantu, Bunda.” Bunda Zia, ibunya Anggara, segera menghampiri Eva. Memeluknya meski baru kemarin ia bertemu dengan menantunya.

"Kamu datang sendiri?" Eyang Cakra bertanya dengan suara serak. Ia duduk di kursi roda terlihat bingung karena Eva datang seorang diri.

"O-oh itu... Angga--Mas Gara masih ada kerjaan di kantor," Eva menjawab dengan gugup dan terpaksa berbohong. Ia tidak mungkin bilang kalau Anggara tidak mau datang bersamanya.

“Dia memang gila kerja, baru menikah saja tidak mau ambil cuti!" gerutu Eyang Cakra.

“Tidak masalah, Eyang. Mungkin memang sibuk dan pernikahan kemarin juga mendadak,” bela Eva kemudian.

Ia pun dipersilakan masuk sambil digandeng Bunda Zia. Mereka langsung menuju ruang makan, yang sudah terhidang banyak sekali makanan. Namun, sambil menunggu Anggara, mereka memutuskan untuk minum teh terlebih dulu.

Wajah Eyang Cakra sudah lebih cerah, dan tampak bersemangat ketika membahas pernikahan Eva dan Anggara. Bunda Zia dan Ayah Rasyid, ayahnya Anggara, juga antusias bertanya ini-itu.

'Apakah aku berdosa karena berbohong soal pernikahan ini?' Eva bertanya dalam hati. 'Haruskah aku berkata jujur?'

Eva memilin tangannya yang ada di pangkuan. Teh di depannya perlahan mulai dingin.

“Eyang, sebenarnya—”

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dan tiba-tiba saja, Eva merasakan seseorang memeluknya dari belakang.

“Sayang, maaf membuatmu datang duluan.” Suara Anggara membuat Eva menegang. "Aku merindukanmu...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status