“Tidak perlu campuri urusanku. Aku ada janji dengan kekasihku.”
Eva terpaku sesaat ketika mendengar ucapan Anggara, suami yang baru dinikahinya 5 jam yang lalu. Mereka baru sampai di rumah pengantin, tapi suaminya malah mengatakan hal seperti itu. Ia menggenggam erat koper di tangannya. Apa ini yang namanya pernikahan? Padahal ini adalah malam pertama mereka. “M-Mas Gara gak capek selepas pernikahan kita?” Eva bingung bagaimana mencegah Anggara. Anggara menghentikan langkahnya, mendengarkan panggilan asing untuk pertama kalinya. Tatapan mata memindai Eva dari atas sampai bawah. "Pernikahan ini terjadi hanya karena Eyang, jadi kamu tidak perlu bersikap seperti istri sungguhan," Anggara menjawab dengan wajah datar. Brak! Eva terkejut bertepatan dengan pintu utama tertutup kembali dengan kasar. Ini pertama kalinya ia dibentak seperti itu seumur hidupnya. Eva tahu bahwa air matanya tidak berarti, apalagi sampai membuat Anggara kembali. Mereka menikah karena perjodohan dadakan oleh kedua keluarga besar. Sebagai cucu perempuan pertama dan kesayangan mendiang kakek dan neneknya, Eva tidak bisa menolak permintaan terakhir mereka. Sedangkan Anggara, terancam oleh hak waris oleh eyangnya yang sedang sakit. “Mungkin Mas Gara masih butuh penyesuaian atas ini," Eva menguatkan dirinya sendiri sambil menghela napas. "Pernikahan ini memang tiba-tiba." Eva kembali melanjutkan niatnya menuju kamar utama. Akhirnya, malam itu Eva habiskan seorang diri. Karena rumah ini masih baru, belum ada siapa pun yang membantunya. Perabot rumahnya pun masih sangat sederhana. Eva hanya berkeliling rumah dan berakhir memasak untuk menghilangkan rasa bosan. Selesai memasak, Eva makan nasi goreng itu sendirian, dan sampai habis pun Anggara belum pulang. Ia kembali ke kamar seorang diri. Ranjangnya begitu luas, tapi sisinya seharusnya terisi Anggara kini kosong dan dingin. Baru matanya akan terpejam, ia mendengar suara pintu kamar terbuka. Dalam kegelapan kamar, Eva melihat sosok pria tinggi berjalan sempoyongan. Eva menyalakan lampu di atas nakas, tepat ketika sosok itu melemparkan dirinya di kasur dengan posisi sembarangan. Eva pun melihat jam hampir pukul satu dini hari. Di sisi kasur yang lain, Eva melihat Anggara sudah berbaring, menutup mata dengan lengannya yang kokoh. Kemejanya pun sudah tampak berantakan. Eva segera menghampiri. “Mas Gara,” panggil Eva lembut. Eva meringis ketika mencium aroma alkohol pekat dari Anggara. Tampilan Anggara tidak serapi sebelumnya, apalagi terdapat noda lipstik merah terlihat jelas di bagian dada kemejanya. Deg! Meski mereka menikah karena terpaksa, tapi tetap Eva berstatus istri. Bagaimana tidak sakit melihat noda itu? Eva menarik napas dalam, dan memanggil lagi, "Mas Gara, tidur yang benar." Eva berusaha memperbaiki posisi Anggara, tapi pria itu tidak bergerak. Beberapa kali dipanggil pun, Anggara tidak menyahut. Sampai ketika Eva berusaha melepaskan jas di badannya, tiba-tiba pria itu membuka matanya. "Mas Gara—aahh!" Eva memekik ketika Anggara tiba-tiba menariknya dan menjatuhkannya ke atas sofa. Sekarang, Anggara berada di atas tubuh Eva, mengurungnya di antara dua lengannya. "Berisik!" Anggara menatap Eva tajam dengan mata yang memerah. Dalam jarak sedekat ini, Eva bisa mencium aroma parfum wanita menyeruak dari pakaiannya. Namun, hal yang lebih penting sekarang adalah tatapan Anggara yang semakin tajam sampai membuat Eva merinding. "M-Mas Gara... lepas...." Eva mencoba memberontak, tapi justru Anggara malah mendekatkan wajahnya ke leher Eva. Dalam sekejap Eva terkejut. Bibir Anggara sudah mendarat dan meraup kasar bibirnya. Tidak ada kenikmatan, bahkan rasa anyir Eva rasakan ketika Anggara menggigit bibirnya. “Tolong jangan seperti ini!” seru Eva dengan napas tersengal-sengal. Bibirnya terasa kebas. Apalagi melihat tatapan tidak suka Anggara membuat nyalinya takut. Namun, Anggara tidak menggubris tangisan Eva, malah semakin gencar meraba setiap inci tubuh wanita itu. Tangannya merayap ke paha, perut, sampai dada Eva. Air mata Eva pun mengalir deras karena ketakutan. Harusnya ini menjadi pengalaman pertamanya, tapi kenapa rasanya mengerikan. Eva membencinya! “Mas Gara mabuk, tolong sadar! Eva….” Sret! Suara pakaian disobek paksa oleh Anggara terdengar nyaring. Kancing terjatuh ke lantai juga terdengar menggema di sela napas Eva yang memburu. Air mata tidak tertahan mulai menetes, cengkraman erat Eva pada bahu Anggara menjadi saksi. “Sakit.... tolong....” Rintihan Eva malah semakin membuat Anggara memicu gairahnya. Tidak ada pemanasan, semua dilakukan Anggara dengan paksa dan kasar. *** Sinar cahaya masuk melalui celah gorden membuat Eva terusik. Eva terbangun dengan tubuh terasa sakit. Ia merasa dingin, membuatnya lantas menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Eva mulai beranjak duduk dengan susah payah. Kilasan malam tadi menjadi hal yang menyakitkan untuknya. Malam pertama yang seharusnya dilakukan penuh cinta, malah terasa seperti dilecehkan. Dan itu suaminya oleh sahnya sendiri. Anggara memaksanya berkali-kali, baik itu di sofa maupun di kamar mereka. Seberapa sering pun Eva berteriak kesakitan, pria itu tidak mau berhenti. Eva tidak bisa lagi menahan sakit, air matanya kembali meluncur deras. Dia ingin jadi anak dan cucu yang baik dan penurut, tapi apa ini semua? Bukan seperti ini harapan kecil pernikahannya. Ceklek! Eva mengangkat kepala, dan melihat Anggara keluar dari kamar mandi. Anggara keluar dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Tatapan mereka saling beradu, tapi Anggara langsung melengos, seolah semalam tidak terjadi sesuatu. Eva berharap dapat kata maaf, tapi itu hanya harapan semu yang tidak akan mungkin terjadi. "Berhenti memasang wajah seperti itu," ucap Anggara ketus sambil berjalan menuju lemari. "Walaupun kita melakukannya, tapi aku sama sekali tidak sadar, jadi...." Anggara berbalik, menatap Eva yang meremas selimut dengan kuat. "Jangan menaruh harapan soal pernikahan ini." Deg! Jangankan kata maaf, bahkan Anggara malah semakin menorehkan luka. Eva bukanlah seorang istri di mata Anggara, melainkan seorang wanita yang ditidurinya karena kesalahan. Eva pun menundukkan kepala, membiarkan air matanya menetes membasahi selimut. "K-Kalau begitu..." Eva mengangkat kepalanya. "Kita sudahi saja pernikahan ini!""Kita sudahi saja pernikahan ini!"Anggara memutar kepalanya begitu Eva mengucapkan itu. Namun, Eva buru-buru membuang pandangannya lagi sambil menyembunyikan air mata.Baru satu bulan yang lalu ia kembali ke Indonesia, setelah menghabiskan hampir 6 tahun untuk pendidikannya di Jerman. Pada awalnya, Eva hanya ingin fokus berkarier, tapi tiba-tiba sang papa malah menyuruhnya menikah.Ia merelakan gelar dan kariernya bukan untuk menjadi istri yang dilecehkan seperti ini.Orang tuanya baik, tapi sangat ketat dan penuh disiplin. Eva tumbuh sebagai wanita sempurna yang anggun dan penuh tata krama. Walaupun di satu sisi, ia jadi sulit mengatakan apa kemauannya.Anggara yang sudah berpakaian rapi pun menatap Eva sejenak, sebelum mendengus.Ia berjalan mendekat ke arah Eva, membuat wanita itu refleks menggenggam erat selimutnya. Kepalanya tertunduk, takut menatap mata tajam Anggara."Hentikan omong kosong itu! Bukankah kamu juga dapat keuntungan dari pernikahan ini!" ucap Anggara penuh peneka
Pria itu pun membalikkan tubuh Eva ke arahnya dan sebuah kecupan mendarat di puncak kening Eva dengan lembut.Cup!"K-kamu...."Senyum manis Anggara langsung sirna, dan digantikan dengan wajah dingin. Karena posisinya membelakangi para orang tua, jadi hanya Eva yang bisa melihat perubahan ekspresi itu.“Eyang sedang memperhatikan kita,” bisik Anggara dengan penuh penekanan membuat Eva tidak jadi bertanya. "Jangan bertindak macam-macam di depan mereka."Tubuh Eva langsung kaku. Ia tidak mengangguk, atau hanya sekadar tersenyum. Saat Anggara membalikkan tubuhnya pun Eva hanya bisa menundukkan kepala.Makan malam pun berlangsung. Eva lebih banyak diam dan menikmati makanannya perlahan. Sepanjang makan malam, Anggara menunjukkan bagaimana ia adalah suami yang perhatian padanya.Anggara mengambilkan Eva piring, minuman, bahkan memotongkan dagingnya. Sikapnya berbeda 180 derajat dari kemarin. Meskipun begitu, hati Eva malah bertambah sakit.Pria ini seolah menganggap kejadian kemarin tidak
Eva keluar hotel bertepatan dengan senja akan datang. Kebetulan hotel yang ditempati tidak begitu jauh dari pantai, hanya berjalan sebentar sudah sampai.Suara ombak terdengar membuat Eva terpaku melihat keindahan air terlihat biru itu. Alas kaki segera ia lepas kemudian berlari kecil menghampiri. Sejenak pantai yang terkenal sedikit menyembuhkan Eva. Suara gemuruh sorak terdengar. Sorakan para pengunjung pantai menyaksikan senja yang akan datang dan sangat indah. Eva juga menyaksikan itu, tapi hanya terpaku dalam diam tangan terlipat menatap indahnya sinar oren itu.Hingga dalam sekejap malam sudah datang. Semua berubah menjadi gelap dan orang-orang mulai berhamburan pergi. Seiring dengan itu, perutnya mulai bernyanyi nyaring.“Aku lapar…,” guman Eva. Langkahnya asal menuju salah satu restoran. Hanya berbekal mengira-ngira, ia segera masuk. Tidak ada niat untuk kembali, bayangan panas. Anggara dengan perempuan itu terlintas tanpa dicegah.Dibandingkan dengan bulan madu, Eva malah s
“Sialan kau!” teriak Anggara sambil terus memukul. Eva membeku sejenak. Ia memang tahu kalau Anggara itu adalah orang yang arogan dan dingin, tapi ini adalah kali pertama Eva melihatnya mengamuk. Anggara memukul pria itu membabi buta, mulutnya juga tidak berhenti mengucapkan kata kasar. Tubuh Eva semakin bergetar. Rasa takutnya berganti. Suara bogem terdengar menyakitkan. ‘Bagaimana kalau Anggara membunuh pria itu?’ “Anggara! S-sudah!” dengan pikiran buruknya itu, Eva pun berteriak di tengah hujan. Tangannya terulur, meraih baju belakang Anggara. “Anggara… a-aku takut….” Mungkin karena merasakan tarikan di bagian belakang bajunya yang basah, Anggara akhirnya berhenti. Pria bertato itu pun sudah tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Anggara mendecih, lalu segera menarik tangan Eva dari sana. Ia membawanya masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. “Apa kamu udah gila?!” bentak Anggara langsung begitu mereka berdua ada di mobil. Ia pun menjalankan kendaraan itu. Eva
Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman. “Mas Gara mau kemana?” tanya Eva.Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu.“Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali.Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupu
“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon ter
Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Apa yang terjadi, Sayang? kenapa? bukanya masih jam kantor? atau kamu hari ini belum masuk kantor?” Pertanyaan beruntun di layangkan Mama Dara.Eva memeluk begitu erat ibunya. Mengabaikan pertanyaan panjang Mama Dara yang seolah hanya masuk dan lewat gendang telinganya.Mama Dara paham membiarkan putri sulungnya. Meski sebenarnya awalnya sangat terkejut, ketika membuat kue mendapatkan kejutan pelukan tiba-tiba dari Eva, untung tidak ada riwayat jantung seperti suaminya.“Untung bukan Papa kamu yang kamu beginikan. Sudah pasti akan langsung ke rumah sakit,” kekhawatiran Mama Dara menunggu putrinya melepaskan pelukan erat itu.Eva melepas belitan tangannya. Aroma khas mamanya seolah memberi obat rasa sakit yang kurasakan tadi. Meski itu hanya sesaat, setidaknya lebih baik.“Mama tanya apa tadi?” kata Eva meletakkan oleh-oleh dari Bali yang baru sempat ia antar.“Darimana? kenapa gak ngabarin kalau mau datang, kata mertua kamu kemarin kalian bulan madu, apa Anggara tidak ikut,” kata Mam