"Ya maaf," cicit Radit takut.
"Lagian kamu sih, Mas. Ngajak aku ke sini kamu kan tau kalau kita ke sini tuh bakalan ketahuan sama si Laras!"
"Ya maaf, Sayang. Aku lupa maaf deh, maafin aku aku yang salah." Radit terlihat takut pada wanita itu. Wanita itu mendengus kesal. "Bisanya minta maaf doang!"***
Ucapan Melati masih terbayang oleh Laras. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa, tanpa bukti.Jadi, ia pun tetap bekerja. Bahkan, malamnya, Laras langsung pergi ke warung karena ingin melunasi hutang-hutangnya itu.
Namun, baru saja Laras sampai, Bu Nita sudah menyambutnya dengan wajah kesal.
"Ngapain lagi ke sini? Mau ngutang lagi ya? Jangan mimpi!" Bu Nita berkata dengan sinis. "Enggak kok, Bu. Justru saya ke sini mau bayar utang saya," balas Laras dengan sabar. "Tapi utang kamu udah lunas kan udah dibayarin sama mas Rangga. Emang Mbak Laras nggak tau ya?"Deg!"Apa? Udah dilunasin sama Mas Rangga?" tanya Laras ingin memastikan pendengarannya. Si pemilik warung mengangguk. "Iya. Tapi maaf ya, Mbak. Kalau Mbak ke sini mau ngutang lagi saya udah nggak bolehin." "Iya, Bu. Saya juga nggak mau ngutang lagi kok. Kalau gitu saya permisi dulu. Maaf udah ganggu Bu Nita malem-malem gini." "Iya." "Sombong banget sih gitu doang udah sok banget. Palingan Mas Rangga mau bayarin utangnya si Mbak Laras karena mereka tuh pasangan selingkuh. Dasar perempuan gatel udah punya suami kok malah main sama laki-laki lain," tuduh Bu Nita semena-mena setelah Laras pergi dari warungnya itu. "Jangan nuduh sembarangan gitu, Bu. Nanti jatuhnya fitnah lho kalau nggak ada buktinya," tegur seorang Ibu yang baru saja datang ke warung Bu Nita. "Siapa yang fitnah sih? Saya kan cuman nebak aja, Bu. Lagian kalau emang beneran selingkuh sama Mas Rangga ya kan nggak ada masalah soalnya kan suaminya Mbak Laras itu kan suami yang jahat sama istri, udah gitu nggak mau kerja lagi orangnya males." Si Ibu hanya geleng-geleng kepala mendengar gosip dari Bu Nita tersebut. "Udah Bu gosipnya saya mau beli garem nih sama tomat ada nggak, Bu?" "Ada kok. Sebentar ya." "Iya. Sama sekalian wortelnya juga."****
Sementara itu, Laras yang berjalan kaki masih kebingungan dengan hal yang sedang terjadi.Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Rangga yang naik motor entah dari mana tiba-tiba menyapanya, "Sekalian aja bareng saya aja yuk, Mbak! Kita kan se arah."
Laras tertegun. Namun, dia tak enak dilihat oleh para tetangga.
"Nggak usah, Mas. Makasih saya jalan sendiri aja deh nggak enak takut ada yang liat nanti malah jadi fitnah," tolaknya dengan sopan.
"Ya udah deh kalau gitu." "Tunggu, Mas!" "Iya, Mbak?" Rangga yang berniat akan meneruskan perjalanannya mendadak berhenti. Laras mengeluarkan uang dari dompetnya lalu ia menyerahkan uang tersebut kepada Rangga. "Ini Mas saya balikin uangnya Mas Rangga, makasih kemarin udah nalangin saya." "Saya bukannya nalangin, Mbak. Tapi saya emang niatnya bantu bayarin utangnya Mbak Laras jadi nggak usah dibalikin segala," tolak Rangga dengan tulus. "Nggak bisa, Mas. Saya yang jadinya nggak enak sama Mas Rangga nantinya." "Udah nggak apa-apa, Mbak." "Oh jadi gitu ya? Gitu ternyata kelakuan kamu di belakang aku? Kamu berani ketemuan sama laki-laki lain pas aku nggak ada di rumah. Iya?" seru Radit murka. Entah dia datang dari mana. Laras yang mendengarnya tentu saja menjadi kaget dan juga ketakutan. Sudah jelas kan Radit kalau marah itu bagaimana, sangat menakutkan. "Pulang kamu sekarang!" seru Radit sambil menarik tangan Laras dengan kasar. Laras sampai meringis kesakitan seperti itu membuat Rangga yang melihatnya menjadi geram dibuatnya. "Lepasin aku, Mas! Sakit ini," pinta Laras dengan memelas karena ia memang merasakan sakit di tangannya itu. "Jangan kasar kasar dong sama perempuan! Lagian saya yang salah kenapa malah Mbak Laras yang disalahin?" tegur Rangga. Radit langsung berhenti namun genggaman tangannya pada Laras tak ia lepaskan. "Diam lo nggak usah ikut campur! Ini urusan gue sama istri gue! Lo itu cuman orang luar jadi elo nggak ada hak buat ikut campur urusan rumah tangga gue sama Laras!" seru Radit kesal. "Ayo kita pulang!" seru Radit lagi. "Tapi lepasin dulu, Mas. Sakit..." Rangga terpaksa hanya diam saja karena menurutnya ia memang tak berhak ikut campur jika itu menyangkut urusan rumah tangga mereka berdua. Meski ia sangat kasihan melihat Laras diperlukan seperti itu oleh Radit yang statusnya adalah suami dari Laras. Namun Radit tak peduli rintihan Laras, ia menarik istrinya pulang ke kontrakan mereka. Sampai di dalam rumah Laras langsung dihempaskan hingga jatuh di sofa ruang tamu. "Bagus kamu ya sekarang kamu udah berani ketemuan sama laki-laki lain pas aku lagi nggak ada di rumah!" tuding Radit sambil berkacak pinggang di depan Laras. "Aku nggak ketemuan sama Mas Rangga, aku itu cuman ketemu di jalan sama dia. Aku tadi ngobrol sama dia karena aku mau balikin duit dia aja. Mas Rangga udah bayarin utang kita di warung Bu Nita. Jadi aku balikin aja uang itu karena aku nggak enak sama dia, Mas," kata Laras panjang lebar menjelaskan pada suaminya. Namun apakah Radit percaya? Tentu saja tidak."Alesan aja kamu! Bilang aja kamu suka sama dia makanya tadi ngobrol di jalan. Iya kan? Udah ngaku aja kamu! Kamu itu emang sebenarnya udah naksir dari lama sama si Rangga itu karena kamu udah males sama aku yang cuman pengangguran ini." Ia malah semakin menyudutkan Laras, menuduh istrinya yang tidak-tidak.
Laras hanya menangis dituduh seperti itu. Hatinya terasa sakit suaminya menuduhnya atas hal yang tak pernah ia lakukan. Ia hanya mencintai Radit dan bukan pria lain. "Aku nggak bohong, Mas..." "Udahlah mana ada sih maling yang ngaku! Sekarang cepet kamu bikinin aku kopi!" "Tapi Mas..." Radit terlihat semakin marah. "Kenapa? Gula sama kopi masih nggak ada juga di sini? Adanya apa sih di rumah ini hah? Bikin kesel aja!" serunya marah lalu ia membanting gelas yang ada di meja sebagai pelampiasan amarahnya itu. "Uang itu nggak usah kamu balikin ke dia! Biarin aja ngapain kamu balikin segala emang kamu punya uang berapa banyak sok banget mau balikin utang!" Laras diam saja tak bergeming, ia diam dan menangis menyaksikan tingkah laku kejam suaminya itu. Radit memang selalu seperti itu kepadanya.Radit pun pergi ke kamar mandi, meninggalkannya sendiri.Namun tepat saat itu, teleponnya berbunyi.
Laras sontak mengangkatnya, takut penting.
Hanya saja, dia malah mendengar suara wanita yang terkesan menuntut.
[ Mas, gimana? Uangnya udah ada belum? Anak kita nangis nih minta mobil-mobilan! ] DEG! Laras menutup mulutnya karena syok. Secepat kilat ia berlari keluar rumah, ia berlari tak tentu arah hingga ada sebuah mobil yang meluncur ke arahnya. Ckiiittt!Laras terlihat panik begitu melihat sebuah mobil yang meluncur ke arahnya. Untunglah mobil itu langsung berhenti tepat sekali di hadapannya jadi ia masih selamat. Selamat dari ancaman tertabrak mobil, ia bernapas lega. "Ras tunggu! Kamu mau pergi ke mana?" seru Radit yang baru saja keluar dari kontrakannya itu. Laras menoleh dan panik melihat suaminya itu, mendadak ia menjadi emosi melihat pria yang ternyata sudah melakukan pengkhianatan padanya itu. Wanita itu pun berjalan cepat ke arah mobil. "Pak atau Bu atau siapapun tolong buka pintunya!" pintanya memelas sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil mewah itu. "Tolong bukain pintu mobilnya, Pak!" pinta si pria tampan pemilik mobil tersebut dengan datar. "Iya baik, Tuan Muda," balas Pak sopir dan iapun segera membuka pintu mobil agar Laras bisa masuk. Laras tersenyum. "Terima kasih," ucapnya sambil masuk ke dalam mobil, ia duduk di kursi belakang dengan sungkan. "Sama-sama, Non," kata Pak sopir ramah. Laras menghela napas lega kare
Aryo berjalan menghampiri Laras lalu ia duduk di tepi ranjang. Laras duduknya agak menjauh dari Aryo supaya ada jarak di antara mereka berdua. "Maaf, Pak Aryo. Tapi saya udah punya suami, saya udah nikah jadi saya nggak bisa terima ajakan Bapak untuk menikah," ucap Laras yang berusaha untuk sopan karena walau bagaimanapun Aryo adalah orang yang sudah menolongnya tadi. Wajah Aryo terlihat tegang mendengar jawaban dari Laras yang sudah jelas merupakan penolakan untuknya. Baru kali ini ada seorang wanita yang langsung menolak dirinya. Seorang Aryo Malik, putra pemilik perusahaan terkemuka di kota ini yang pesonanya begitu luar biasa di hadapan wanita namun ditolak oleh Laras. Diam-diam Aryo menyunggingkan senyum tipis. Laras menolak dirinya dan menggunakan alasan sudah bersuami? Sungguh ia salut pada wanita cantik dan sederhana di hadapannya itu. "Saya tau kamu bohong, mana mungkin wanita muda seperti kamu ini sudah nikah. Kamu pasti bercanda kan?" Laras bingung mendengar ucapan A
Ancamannya ternyata berhasil karena Radit terlihat panik. Ia menyeringai puas melihat raut wajah Radit yang terlihat ketakutan itu."Sekarang kamu jelasin, Mas. Siapa perempuan itu? Apa bener kamu ada hubungan sama dia? Hubungan apa Mas?" cecar Laras lagi pada Radit."Iya. Aku emang punya hubungan sama dia, puas kamu!" sentak Radit.Laras terdiam, jadi apa yang ia pikirkan ternyata benar? Radit sudah mengkhianati dirinya."Tapi kenapa, Mas? Sejak kapan kamu selingkuh dari aku!" Laras menangis sambil memukul-mukul lengan Radit pelan namun Radit sama sekali tak bergeming."Kamu nggak perlu tau!" Radit pergi dari sana, ia pergi entah ke mana.Laras hanya bisa menangis sejadi-jadinya, hatinya semakin terasa sakit.Melihat itu, Aryo menjadi tak tega. "Kondisi kamu kacau mendingan kamu ikut saya ke rumah, biar kamu bisa menenangkan diri kamu," ajaknya.Laras sontak menoleh ke arah Aryo lalu ia menghela napas. "Nggak usah, Pak. Terima kasih tapi saya mendingan di rumah saya sendiri aja," to
Apa kata wanita itu? Wanita itu malah mengatainya pelakor? Laras merasa kesal mendengarnya, wanita itu yang bersalah sudah merebut Radit darinya dan wanita itu malah berani mengatainya? Sungguh tak bisa dibiarkan! "Udah jelas-jelas kamu itu lagi berduaan sama suami saya tapi kamu malah ngatain saya yang pelakor? Ngaca dong, Mbak! Minimal tau diri lah! Mana ada sejarahnya saya yang istri sah dikatain pelakor sama kamu yang pelakor ulung!" Laras meradang. Karena mereka sedang berada di tempat umum jadi tentu saja banyak orang yang menonton perkelahian mereka namun mereka tak peduli. "Radit kamu jelasin ke dia ini, kasih paham siapa aku sebenarnya!" tuntut wanita itu datar. Radit dengan takut-takut akhirnya melihat ke arah Laras. Ia menelan ludah dengan susah payah tampak gugup. "Iya, Ras. Dina itu sebenarnya istri saya," kata Radit pelan. "Yang lengkap dong! Saya ini istrinya Radit, istri pertama malahan." Dina menjelaskan dengan tegas. Bagai tersambar petir di siang hari ketika
Sejak itu, sudah dua hari Laras berada di rumah Aryo untuk mempersiapkan peperangannya.Kini saatnya ia pulang. Untungnya, dia tetap didampingi oleh Aryo karena pria itu khawatir Radit akan kembali membuat Laras ragu untuk bercerai. "Terima kasih udah nganterin saya pulang, Pak," kata Laras saat ini ia bersama Aryo di mobil. "Nggak usah bilang makasih udah sewajarnya saya anterin kamu karena sebentar lagi kamu bakalan jadi tanggung jawab saya sepenuhnya, kamu bakalan jadi istri saya," balas Aryo. Laras menghela napas. "Iya, Pak. Setelah saya cerai dari orang itu saya bakalan jadi istri Pak Aryo." "Ya udah kalau gitu kita masuk, saya bantu kemasi barang-barang kamu." "Nggak usah, Bapak tunggu di sini aja..." "Pokoknya saya ikut masuk takutnya nanti orangnya dateng kamu bisa bahaya, Laras." Laras pun menurut saja, ada benarnya juga ucapan Aryo itu. Radit kan orang yang kejam jadi takutnya ia bisa nekat jika ia tahu mereka akan segera bercerai. Jangan lupa, Radit sendiri yang me
Aryo menghela napas. "Ma, yang paling penting kan dia bisa hamil kalau soal status mau dia janda atau gadis kan nggak masalah," bantahnya."Aryo dengerin Mama! Kalau kamu bilang begitu itu sama aja kamu mau bikin Mama malu terutama di hadapan si ular itu!""Siapa yang kamu sebut wanita ular ha?" Sekar, seorang wanita setengah baya yang baru saja masuk ke ruangan itu. Rita melengos tak sudi menatap Sekar. "Ngapain kamu dateng ke sini? Udah gitu masuknya main nyelonong aja tanpa permisi," katanya sinis. "Suka suka saya lah," balas Sekar dengan santainya lalu ia pun duduk di samping Aryo. Aryo hanya diam saja melihat kedua wanita itu, ia menghela napas pasrah. "Kalau gitu aku keluar dulu," pamit Aryo. "Permisi, Tante Sekar." Sekar mengangguk namun wajahnya tampak judes, melirik Aryo pun ia tak mau. Aryo keluar dari ruangan itu, ia tak ingin menganggu mereka berbicara. "Saya dengar Aryo anak kamu itu sebentar lagi akan menikah," kata Sekar. "Iya dong! Emangnya kayak anak kamu yang
Tepat saat Radit akan mendekati Laras, Aryo datang menghalanginya dan langsung menendang pria itu hingga tersungkur di tanah. Pisau yang ia pegang pun terlempar jauh. Laras dan juga Dina yang melihat kejadian itu pun terperangah kaget sambil menutupi mulut mereka masing-masing. Laras tak menyangka jika Radit berani berbuat Nekat seperti itu. "Berani juga ya kamu di tempat umum seperti ini mau nyelakain orang," kata Aryo. "Lu lagi! Ngapain sih lu selalu ikut campur urusan gue?" seru Radit. Aryo langsung memukuli Radit agar pria itu tak bisa bicara lagi dan hanya merintih kesakitan akibat pukulan demi pukulan yang ia lakukan di perut dan wajah Radit. Radit terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya dan tak lama para polisi datang untuk menangkapnya. Ia bicara kasar dan penuh umpatan yang ditujukan untuk Aryo dan terutama Laras. "Lepasin saya, Pak! Saya nggak salah," pinta Radit yang berusaha untuk melepaskan diri dari para polisi yang menahannya itu. "Nggak salah gimana? Tuh udah
"Gimana? Kamu udah siap?" tanya Aryo yang baru saja masuk ke dalam kamarnya Laras di hotel ternama yang ia sewa untuk Laras tinggali itu. Ya, sejak kejadian itu Aryo memang meminta Laras untuk tinggal di hotel untuk sementara waktu sebelum mereka resmi menikah. Ia tak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk kepada calon istrinya itu. "Udah kok, Pak." Aryo tersenyum, ia kagum melihat kecantikan Laras. Ia merasa tak salah dalam memilih pasangan hidupnya. "Kalau gitu kita langsung jalan?" ajak Aryo dan Laras mengangguk sambil tersenyum. Mereka berdua pun pergi ke suatu tempat dengan mobil mewah yang Aryo kemudikan. Ternyata mereka mengunjungi sebuah butik yang ternama dan tentunya amat mahal. Aryo lebih dulu turun dari mobil lalu ia membukakan pintu untuk Laras. Laras yang selalu diperlakukan seperti itu yaitu bak seorang putri oleh Aryo tersipu malu. Baru pertama kali ia merasa begitu dihargai oleh pria. "Makasih, Pak." Aryo hanya mengangguk saja. Ia dan Laras memasuki butik dan k