Seperti biasa, pagi di kediaman Smith selalu pecah oleh omelan Sinta yang tiada akhir. Perempuan itu terus berbicara menyoal satu hal, yakni keburukan Smith. Mengeluh ini dan itu.
"Sudahlah, ma. Apa perlu marah-marah di meja makan?" kata Sisil lembut sambil menyodorkan segelas teh hangat untuk mamanya, supaya lebih tenang.
"Dimana Smith? Bibi Ipah, apa Smith sudah bangun?" tanya Hendry celingukan.
"Su...."
"Tentu saja belum!" sambar Sinta menyela ucapan Bibi Ipah. Membuat pembantu rumah tangga itu menelan ludahnya bersama sisa kata yang belum terucap.
"Dia saja jam setengah dua belas baru pulang. Sudah pasti sekarang masih molor. Heran, apa yang dilakukannya di luar sana hingga pulang tengah malam," ujar Sinta lagi sambil memotong roti di piringnya dengan penuh penekanan seperti sedang memotong leher seseorang. Kali ini membuat Bibi Ipah mengelus lehernya sendiri.
"Tidak, Nyonya. No
Sinta tercekat atas komentar pedas Smith yang disampaikan dengan nada datar saja. Ia sudah tidak mengomel lagi, dan mulai mengalihkan rasa malunya dengan menyantap hidangan di piringnya."Jangan begitu. Tante Sinta hanya khawatir padamu. Makanlah. Bibi Ipah sudah memasak semua ini untukmu juga," ujar Hendry mengambilkan beberapa sendok sayur untuk Smith."Aku akan makan bersama Bibi Ipah dan Pak Jono di dapur. Aku merasa tidak cocok dengan meja mewah ini. Selamat menikmati."Smith pergi menggondol piring makannya tanpa mengambil kekesalan di batin Sinta. Ibu sambungnya itu bahkan sudah hampir berteriak karena dongkol. Tapi Sisil dan Hendry meminta padanya untuk menahan diri."Biarkan saja. Yang penting dia mau sarapan. Tenangkan dirimu dan habiskan makananmu.""Hahaha...."Suara tawa Smith yang lantang dan panjang terdengar hingga ruang makan. Gadis itu sepertinya sangat bahag
Sisil berdiri menunggu seseorang membuka pintu dengan perasaan tidak karuan. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya.Sisil sadar dirinya sangat nekat. Saat melewati gerbang dan memasuki pekarangan rumah megah itu saja, ia sudah mengumpulkan segenap keberaniannya. Sisil tidak menduga jika ia membutuhkan lebih banyak keberanian untuk berada di depan pintu.Ting tong!Sisil memencet bel lagi karena sepertinya tidak ada yang mendengar bel yang ia bunyikan sebelumnya. Ia bisa melihat sendiri, bagaimana tangannya bergetar tidak berhenti. Apalagi setelah terdengar suara perempuan yang memintanya untuk menunggu sebentar.Sisil sangat mengenal suara itu. Berasal dari perempuan yang tidak pernah berhenti mengumpat pada mamanya. Dan sebagai balasan, mamanya memberi julukan yang sangat tidak pantas pada perempuan itu, "anj*ng penjaga".Sesaat terbesit dalam benak Sisil soal perkataan Smith tentang
Sisil duduk di bangku panjang yang ada di taman kota. Ia menumpahkan semua air matanya, menangis sejadi-jadinya.Segala ucapan Sheira yang begitu menyakiti hatinya masih saja terdengar jelas di telinganya.Meski Sisil jelas tidak suka dengan segala ocehan sarkasme Sheira, masalahnya ia tidak bisa menolak itu. Sebab kenyataannya ucapan Sheira memang benar adanya."Sisil? Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau menangis begini?"Janu yang baru datang di taman atas undangan Sisil sudah panik ketika mendengar suara isakan gadis itu melalui ponsel. Dan setelah melihat Sisil di bangku itu menangis sesenggukan sendiri saja, Janu menjadi semakin khawatir."Janu ...."Sisil memeluk erat Janu yang duduk di sampingnya. Ia membenamkan wajahnya yang menyedihkan ke dada Janu yang bidang."Tenanglah. Aku sudah di sini. Semua akan baik-baik saja."Janu mengusap rambut Sisil. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada temannya itu. Sisil belu
"Berani kau! Dari mana kau belajar melawan mamamu? Apa Smith sudah mempengaruhimu?" ujar Sinta dengan mata melotot."Stop Ma! Berhenti menyalahkan Smith atau orang lain. Semua hal buruk terjadi karena ulah Mama.""Apa? Sekarang kau malah menyalahkan Mama?""Coba Mama tidak meminta ayah untuk memecat Tante Sheira. Mama tidak akan repot mengurus butik. Coba Mama tidak merebut ayah dari Tante Lisa, pasti Smith akan menjadi gadis manis yang menghormati ayah!"Plakkk!Smith menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya juga terbelalak. Ia sangat yakin tamparan yang mendarat di pipi Sisil sangat keras. Ia bisa melihat ada bekas tangan Sinta di pipi Sisil yang memerah."Sisil, maafkan Mama. Mama tidak bermaksud untuk ....""Sudahlah Mama. Aku sangat lelah. Aku mohon, biarkan aku sendiri," ucap Sisil sambil mengusap pipinya yang basah. Itu kali pertama mamanya menampar diri
Untuk pertama kalinya, Smith mengendarai mobil pemberian sang ayah yang selama ini anteng saja di garasi rumah. Ia menyetir dengan dada yang masih panas.Suara Sinta yang menertawakan dirinya, tidak bisa hilang meski Smith telah memejamkan mata. Juga wajah polos Sisil yang menyimpan kebusukan di balik segala sikap lembutnya. Setidaknya dua hal itulah yang membuat batin Smith berkecamuk sampai akhirnya tidak kuat untuk berdiam diri saja.Gadis itu pun pergi meninggalkan rumahnya tengah malam, setelah sebelumnya berusaha keras untuk tidur dan selalu gagal. Smith tidak berpamitan pada siapapun kecuali Pak Jono, yang kemudian membantu membukakan pintu gerbang.Pak Jono yang memandang heran majikan mudanya itu, tidak berani menanyakan apa-apa lantaran terlihat jelas jika Smith sedang sangat marah. Pak Jono hanya mengangguk ketika Smith memintanya agar tidak memberitahu siapapun soal kepergian gadis itu. Smith juga mengatakan hanya
Janu masih diam dengan mata terbelalak. Mulutnya yang sedikit menganga membuat tenggorokannya terasa kering. Sedangkan Smith, gadis itu tidak menggeser pandangannya sedetikpun.Itu kali pertama bagi Smith memandang wajah seorang lelaki dalam waktu yang cukup lama. Dan entah bagaimana, kini matanya berkaca-kaca mengingat mata ibunya yang sangat persis dengan mata Janu.Ada yang berdesir dalam darahnya ketika membayangkan reaksi almarhum Lisa jika mengetahui kebohongan besar yang sedang ia karang. Smith merasa sangat bersalah untuk itu.Namun, dalam kekalutan tersebut, Smith menyampaikan maaf berulang-ulang pada ibunya, juga pada Tuhan tentunya. Dan tidak terlupa pula sebuah permohonan maaf untuk Janu Malik yang dalam waktu dekat mungkin akan menghadapi berbagai masalah atas tindakan nekatnya."Pacarku menghamiliku. Lalu dia menghilang entah kemana. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Dia meninggalkanku begitu saja
"Aku ingin tahu, mengapa kau langsung percaya begitu saja pada omonganku? Maksudku, kita tidak pernah bicara baik-baik sebelumnya. Aku bahkan selalu berteriak padamu. Mengapa kau langsung bersedia menolongku? Apa kau kasihan padaku?"Janu tersenyum. Kemudian menggeleng perlahan."Lalu, kenapa?""Aku tahu, kau gadis yang baik," jawab Janu singkat."Dari mana kau mendapatkan kesimpulan itu? Bukankah itu terlalu mengada-ada? Aku bahkan selalu bersikap buruk padamu," tukas Smith yang tidak percaya jika Janu mau menikahi dirinya yang mengaku dihamili orang lain, hanya gara-gara argumen singkat yang terkesan asal-asalan."Itulah. Orang baik tidak pernah berusaha terlihat baik."Smith terdiam. Jujur, ia merasa sedikit tersanjung atas ucapan Janu. Itu adalah ucapan yang sangat manis. Tapi sudah pasti Smith tidak akan membiarkan dirinya terbawa suasana."Kau memang men
Setelah dua tahun, kenampakan perpustakaan itu tidak jauh berbeda. Tetap sepi dan hanya dikunjungi segelintir mahasiswa saja. Rerata dari mereka adalah mahasiswa semester akhir yang telah melampaui waktu normal untuk lulus kuliah. Bahkan ada pula yang sudah mendekati batas maksimal semester alias telah mencium bau-bau dari drop out.Padahal, ada lebih banyak buku yang menambah koleksi perpustakaan itu. Juga tersedia lebih banyak komputer dengan kecepatan internet yang stabil guna menunjang kebutuhan pengunjung perpustakaan. Bahkan air mineral juga diberikan secara cuma-cuma bagi siapa saja yang ingin minum.Smith memerhatikan perpustakaan itu dengan saksama. Semua memang tampak lebih baik. Penataan ruangan, berbagai hiasan bernuansa shabby, dan juga petugas perpustakaan yang sudah semakin sering tersenyum.Tapi dalam kemajuan dan perbaikan itu, ada yang tetap sama, yakni tingkah pengunjung. Banyak di antara mereka yang mengambil buku dari rak lantas duduk ber