Kepala pelayan dipanggil menghadap ke ruangan kerja Afgan. Pelayan tua itu segera berlutut ketakutan.
Adelia yang mendengar laporan ini segera berjalan tertatih menuju ke ruangan yang sama. Dia harus membela Kepala Pelayan tua!
"Siapa yang mengizinkan pria masuk ke dalam rumah?" tanya Afgan, memandang tajam kepada Kepala Pelayan tua yang sedang berlutut dan menangis ketakutan.
Karena tidak mendapat jawaban, Afgan melemparkan sebuah gelas dan pecahannya mengenai sebagian wajah Kepala Pelayan Tua.
Pada saat yang sama, Adelia sudah tiba di ruangan kerja Afgan. Dengan segera, Adelia memeluk tubuh Kepala Pelayan Tua.
"Afgan!" teriak Adelia dengan membalas tatapan tajam.
"Kamu kehilangan nuranimu!"
"Apa maksudmu?" Afgan berdiri dan emosinya semakin naik sampai ke ubun-ubun.
"Dia sudah tua, tidak seharusnya kamu yang masih muda berlaku kasar seperti itu! Walau pun dia adalah seorang pelayan!"
Afgan melihat tajam ke arah Adelia,
Perawat yang memang ditugaskan untuk menjaga Adelia, segera membuka jarum infus pada tangan Adelia dan membetulkan letaknya. "Dia tidak apa-apa?" tanya Afgan dengan panik, sementara ponsel di kantongnya berbunyi terus menerus. Adelia menggeleng pelan menahan sakit, matanya malah melirik Kepala Pelayan yang menyeka wajah tua miliknya. Dar*h masih mengalir akibat pecahan kaca yang mengenainya. "Sus, tolong rawat wajah Kepala Pelayan. Aku baik-baik saja," kata Adelia dengan nada lirih menahan nyeri. Perawat itu menoleh ke arah Kepala Pelayan lalu mengangguk. "Sebentar ya, saya selesaikan ini dulu." Sementara Afgan hanya duduk di sisi ranjang yang lain dan menatap Adelia dengan tatapan penuh perhatian. Ponsel di kantongnya berbunyi terus, walau kecil suaranya, tetapi itu cukup menganggu. "Kenapa enggak di angkat dulu ponselnya?" Adelia melihat Afgan dengan tatapan aneh. Dengan kesal Afgan mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Layar ponsel menunjukkan nama "Melinda" dan 19 pan
Bab 39.Pada malam harinya, Adelia menunggu cukup lama, tetapi Afgan tidak pulang seperti yang dijanjikannya.Dengan perasaan hancur, Adelia menatap ke luar jendela. Hujan turun semakin lebat dan ruangan kamar terasa semakin dingin.Adelia mengetatkan selimutnya lalu mencoba untuk tidur, berharap besok pagi, tubuhnya sudah pulih dan dia bisa kembali bekerja.Masa kontraknya masih berumur dua tahun. Adelia memutuskan untuk mencari pekerjaan lain setelah kontrak selesai. Dia tidak tahan bila harus bertemu dengan Melinda dan Afgan setiap saat. Hotel itu juga menyebabkan malam naas yang harus dia hadapi sebagai trauma buruk sampai akhir hidupnya.Adelia sungguh ingin melupakan semuanya, mengumpulkan uang untuk membayar hutang judi sang ayah lalu membayar kembali mahar yang sudah dipakai untuk membayar hutang ayahnya. Satu-satunya jalan agar terlepas dari pernikahan ini adalah kesanggupan untuk membayar mahar tersebut.Sambil menatap kosong ke je
"Nah, sudah selesai," ujar perawat sambil menempelkan pletser kecil di bekas jarum suntik."Terima kasih.""Saya akan pamit karena Anda sudah sembuh, pastikan Anda beristirahat dengan baik dan makan makanan yang bergizi," ucap perawat lalu berdiri dan membawa kotak peralatan medisnya keluar dari kamar, menyisakan Adelia dan Kepala Pelayan."Aku akan pergi bekerja hari ini," ujar Adelia sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku."... tapi, bukankah Tuan menginginkan Anda untuk beristirahat saja di rumah?" tanya Kepala Pelayan mulai gelisah."Aku harus bekerja, tidak boleh manja. Hanya demam sehari, tidak apa-apa," sahut Adelia sambil menarik tangan Kepala Pelayan lalu mengenggamnya seperti anak kecil yang sedang bermanja kepada ibunya."Aku akan makan dengan tertatur. Bagaimana bila Ibu menyiapkan bekal makanan yang enak untukku? Aku akan membawanya dan makan di hotel nanti."Perkataan Adelia membuat kedua mata Kepala Pelayan berb
"Adelia?" sapa Edward sambil mengetuk pintu yang tidak terkunci di ruang istirahat karyawan.Adelia terkejut dari lamunannya. "eh, Edward... uhm, aku sedang sarapan, masuklah.""Kamu melupakan bungamu," ucap Edward sambil melangkah masuk."Eh, ini kelihatan enak sekali, kamu membuatnya sendiri?" tanya Edward dengan mata melihat ke arah kotak makan yang terlihat lezat."Ini benaran enak, nah, coba ... " Adelia menjepit sebuah telur gulung dan menyuap Edward.Tepat di saat yang sama, Afgan melewati ruangan istirahat karyawan tersebut tanpa sengaja.Adelia mematung saat melihat keberadaan Afgan yang sedang membulatkan kedua matanya dan menatap tajam ke arah dia yang sedang menyuap Edward.Bagaimana Afgan bisa berada di sini? Adelia tidak bisa tidak bertanya, lalu dengan sikap canggung, menelan salivanya dengan susah payah."Afgan, " sapa Adelia dengan suara bergetar.Afgan masuk ke dalam ruangan istirahat karyawan itu denga
Adelia tidak sempat berkata apa pun untuk membela dirinya. Padahal, makanan itu bukan diberikan oleh Edward seperti yang dituduhkan kepadanya dan jam kerjanya belum dimulai.Tuduhan Afgan sangat menghancurkan sisi terdalam dari Adelia sehingga wanita itu sangat membencinya saat ini.Adelia menangis sambil memungut makanan yang terjatuh di lantai dengan air mata yang menetes terus.Wanita itu merasa sungguh bersalah karena selain ketulusan dari yang membuat makanan, rasa dari makanan ini sungguh enak sekali. Dengan pandangan sayang, Adelia membuang semuanya ke tong sampah, berserta bunga segar yang sudah hancur.Sementara itu, Afgan berjalan untuk mencari Mrs. Smule di kantornya.Wanita gendut berkacamata itu terkejut dan buru-buru mempersilakan Afgan masuk ke kantornya begitu tahu pemilik hotel datang berkunjung."Apa yang ingin Anda sampaikan, Tuan Afgan? Apakah ada sesuatu yang dapat saya selesaikan?"Afgan menarik napas dengan kasa
"Apa!!!" Afgan membulatkan kedua matanya mendengar laporan dari Mrs. Smule mengenai pengangkatan Adelia menjadi asisten pribadinya.Mrs. Smule menjauhkan ponselnya karena teriakkan Afgan begitu memekakkan telinganya."Iya, Tuan. Bukankah saya sudah memenuhi semua tugas yang Tuan berikan?" sahut Mrs. Smule seolah-olah tidak bersalah."Apa maksudmu?"Mrs. Smule memperbaiki duduknya lalu menjawab, "Pertama, Tuan katakan dia tidak boleh dipecat, bukan?""Iya! Terus?""Kedua, dia harus bekerja di belakang meja dan tidak boleh ke gudang lagi!"Afgan menautkan kedua alisnya kemudian menjawab, "Iya, betul. Lalu?""Nah, yang ketiga, dia tidak boleh kemana-mana sedirian termasuk ke toilet!"Afgan menelan salivanya dengan cepat dan kehilangan kata-kata."Tuan Afgan?""Iya, saya masih di sini, teruskan!""Ehem, nah ... saya wanita tulen. Dia jadi asisten saya, jadi otomatis memenuhi semua persyaratan yang Tuan berikan tadi."Afgan belum menjawab apa-apa, tiba-tiba terdengar pintu diketuk."Masuk!
Adelia kembali ke ruangan Mrs. Smule yang sedang menatap beberapa brosur di tangannya."Nah, kamu sudah kembali. Lihatlah brosur ini. Mana yang paling bagus menurutmu?"Adelia mendekati meja Mrs. Smule. Kelelahan ada di matanya, tetapi dia harus bersikap professional karena baru saja menerima jabatan baru sebagai asisten CEO.Adelia menatap brosur di tangannya dan mulai menganalisa. Brosur itu adalah promosi yang akan disampaikan di pedesaan terdekat mulai minggu ini."Sepertinya ini yang paling bagus," ucap Adelia setelah memilih sebuah brosur yang terlihat menarik."Ya, seleramu memang sama denganku, kamu cukup berbakat untuk menilai objek," puji Mrs. Smule dengan senyum besar miliknya."Baiklah, bawa ini ke percetakan dan cetak sebanyak yang dibutuhkan. Ohya, kamu harus meminta izin kepada keluargamu karena mulai hari Minggu, kita akan berangkat dan menginap di desa pariwisata itu selaam acara berlangsung."Adelia membaca kem
Afgan dan Adelia akhirnya pulang tanpa banyak percakapan di antara mereka. Selama perjalanan pulang, suasana hening mengisi mobil. Adelia mencoba memikirkan cara untuk menyelesaikan situasi ini, sementara Afgan tetap diam, mungkin menyimpan pikirannya sendiri.Sesampainya di rumah, mereka menuju ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri.Tidak lama kemudian, Kepala Pelayan mengetuk pintu kamar mereka bergantian untuk memberikan informasi bahwa makan malam sudah siap.Mereka keluar dari kamarnya bersamaan dan bertemu muka, tetapi wajah mereka datar dan tanpa perasaan. Adelia dengan sikap canggung, duduk bersama untuk makan malam dalam keheningan yang tegang.Sejujurnya, Adelia merasa terbebani oleh ketegangan di udara, sementara Afgan tampaknya tidak terlalu memedulikan perasaannya. Pria itu hanya menikmati makanannya dalam diam dan wajah datar seperti robot.Adelia merasa geram dan frustrasi, merencanakan bagaimana cara menghadapi sikap arogan