Share

Bab4. Menerima tawaran

Pavel mengedikkan bahunya dengan enteng. “Aku hanya menduga, mengingat sikap dan cara bicaramu.“

Dengan mulut yang membentuk huruf O, Liana mengangguk. “Aku juga tidak mempermasalahkan pekerjaan. Lagipula, ini hanya pura-pura. Dan yang penting untukku saat ini adalah meyakinkan orang tuaku bahwa aku sudah memiliki pacar."

"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan, aku akan menjadi pacar pura-puramu."

"Terima kasih, Pavel.“ Spontan Liana menjabat tangan Pavel dengan erat, merasa bahagia karena akhirnya si pria mau untuk membantunya. “Kamu benar-benar sudah banyak membantuku sejak semalam. Aku pasti akan membalas semua bantuanmu. Katakan saja padaku jika ada yang kamu butuhkan, oke!“

Pavel tidak tertarik dengan apa yang ditawarkan Liana, meminta imbalan tadi pun hanya bentuk basa-basinya saja, bukan karena dia benar-benar menginginkannya. "Lupakan saja dulu tentang balas membalas. Tapi, pastikan kamu menyelesaikan semuanya dengan benar, karena aku tidak mau ada masalah dengan orang tuamu di kemudian hari.“

“Kamu tenang saja, aku pasti akan mengurus semuanya dengan baik. Setelah aku berhasil terbebas dari pernikahan, maka semuanya akan selesai dan kamu juga akan terbebas.“

“Kamu atur saja bagaimana baiknya, karena aku hanya akan mengikuti sandiwaramu.“ Pavel tidak yakin dengan apa yang baru saja dikatakan Liana, tapi tetap akan mengikuti sandiwara si wanita dengan caranya sendiri.

Liana tersenyum manis, merasa telah berhasil meyakinkan Pavel. “Terima kasih, Pavel. Aku akan mengatur semuanya dengan sebaik mungkin."

Pavel mengangguk singkat dengan ekspresi datar.

“Jadi kapan kamu ingin memulai sandiwara ini, Liana Parker?“ tanyanya, dengan menekankan suara saat menyebut nama lengkap Liana.

“Nanti malam, di rumahku. Bagaimana?“

"Pantas saja orang tuanya begitu khawatir. Wanita ini memang sedikit bodoh, mudah percaya dan mudah dimanfaatkan. Kalau bukan karena keluarganya, malas sekali aku mengurus wanita sepertinya, merepotkan dan membuang-buang waktuku saja!" Pavel menggerutu dalam hatinya dan kemudian mengangguk, manatap Liana dengan tatapan tajam yang seolah memiliki banyak makna. "Ya, nanti malam di rumahmu."

"Bagus, aku akan memastikan semuanya berjalan lancar. Sekali lagi, terima kasih, Pavel,” ucap Liana, dengan senyum manis yang terus mengembang.

Sedari tadi, Liana mengabaikan semua ekspresi, tatapan, ataupun perkataan Pavel yang terasa aneh baginya, karena dia hanya mau segera terbebas dari keinginan orang tuanya dan tidak ingin memperdulikan yang lainnya.

“Kalau begitu kamu bisa segera pulang untuk mempersiapkan segalanya,” ucap Pavel.

Liana memicingkan matanya dengan tajam ke arah si pria. “Apa kamu sedang mengusirku?“

Pavel melihat Liana dengan ekspresi serius. "Tidak, hanya memberitahumu untuk bersiap agar sandiwara kita bisa terlihat meyakinkan. Lagipula ini sudah jam 10 pagi, yang artinya orang tuamu sudah begitu khawatir dengan putrinya yang tidak pulang ke rumah dari samalam.“

Liana tersentak dan menepuk dahinya. “Ya Tuhan! Kenapa aku bisa lupa dengan hal ini?“ Wanita itu segera menatap kesana kemari, mencari keberadaan ponsel miliknya.

“Apa kamu sedang mencari ponselmu?“ tebak Pavel, dengan nada meledek.

“Ya!“ jawab Liana singkat dan tegas.

“Ini.“ Pavel mengulurkan tangannya, memberikan benda yang sedang dicari Liana.

Liana mengambil ponselnya dengan cepat, "Terima kasih, Pavel. Aku harus segera pergi dan memberi kabar pada orang tuaku. Sampai jumpa nanti malam.“ Wanita itu bangkit dari tempat tidur, meninggalkan Pavel yang masih terdiam dan terus menatapnya.

Namun, baru akan membuka pintu kamar, Liana berbalik dan manatap Pavel. “Ngomong-ngomong apa kamu tau di mana tasku?“ tanyanya kepada pria itu.

“Di sofa ruang tamu. Dan tidak perlu terlalu khawatir, karena temanmu yang bernama Aluna sudah membantumu berbohong kepada orang tuamu.“ Pavel menjelaskan dengan nada menyidir, seolah dia tidak suka jika Liana membohongi orang tuanya.

Liana terlihat bingung dengan penjelasan Pavel. “ Bagaiman kamu bisa tau?“ tanyanya.

“Karena semalam aku mengangkat telfon darinya yang menanyakan di mana keberadaanmu sebenarnya,” jawab Pavel dengan santai, sementara Liana ternganga mendengar penjelasan Pavel.

“Kamu menjawab panggilannya?“ Liana kembali mengkonfirmasi jawaban Pavel.

“Ya.“

“Kenapa?“

“Karena dia terus saja menelfon hingga belasan kali. Dan deringnya, cukup membuatku terganggu,” terang Pavel. “Kalau tidak percaya padaku, kamu bisa mengecek sendiri berapa panggilan tidak terjawab darinya di ponselmu.“

Liana segera mengecek ponselnya, bukan karena tidak percaya pada Pavel tapi dia ingin memastikannya sendiri. Di log panggilan, ada tujuh panggilan tak terjawab dari orang tuanya yang sepertinya khawatir dengannya. Selain itu, ada belasan panggilan tak terjawab dari Aluna dan satu panggilan yang terjawab, sesuai dengan apa yang dikatakan Pavel. Di notifikasi juga ada beberapa pesan masuk dari sahabatnya itu.

Sang sahabat menanyakan di mana keberadaannya dan apa yang sedang Liana lakukan, ada juga pesan yang menanyakan tentang pria yang menjawab telfon. Sang sahabat juga memintanya menjelaskan semuanya.

Liana mengetik balasan untuk sang sahabat dengan mengatakan kalau dia akan menjelaskan semuanya nanti, karena sekarang dia tidak punya cukup waktu untuk menjelaskannya.

“Sudah lihat, kan?“ Pavel menatap Liana sekilas lalu memilih bangkit dari tempat tidur. Dia berjalan menuju kemejanya yang berada di dekat pintu dan masih dalam keadaan kotor. “Sial, baunya pasti tidak akan hilang dengan cepat karena tidak segera dibersihkan,” gumamnya dengan suara lirih agar tidak bisa didengar Liana.

“Ya aku sudah melihatnya. Dan aku mengerti dengan apa yang kamu lakukan. Terima kasih, Pavel,” ucapnya, yang kemudian menatap Pavel yang berjongkok tidak jauh darinya. “Dan apa yang sedang kamu lakukan?“

“Mengambil kemejaku yang masih penuh dengan muntahanmu.“ Pavel menunjukan keadaan kemejanya kepada Liana, membuat Liana kembali terkejut karena melihatnya.

“Maafkan aku atas semuanya, Pavel. Sini biar aku yang mencucikannya,” ujar Liana, yang merasa bersalah.

“Sudahlah, kamu tidak perlu mencucikannya. Aku bisa membawanya ke loundry,” tolak Pavel. “Lebih baik kamu pulang sekarang, waktu sudah akan menjelang siang. Kasihan orang tuamu pasti sudah sangat khawatir.“

Liana mengangguk mengerti, "Terima kasih, Pavel. Sampai jumpa nanti malam. Oh iya! Jangan lupa untuk datang, ya! Jam 7, di rumahku,“ ucapnya kembali mengingatkan Pavel. Dia juga menyempatkan diri untuk menulis alamatnya di sebuah kertas dan memberikannya pada pria itu, sebelum pergi meninggalkan apartemen milik Pavel.

***

Malam harinya, di saat semua keluarga Liana sudah berkumpul termasuk sang Kakek. Liana justru berjalan mondar mandir sembari terus menatap ke arah pintu masuk rumahnya. Sekarang sudah pukul 07.15 menit, tapi Pavel belum juga datang. Ditambah lagi, dia lupa untuk meminta nomor telfon pria itu.

“Apa kamu yakin kalau kekasihmu itu akan datang, Sayang?“ tanya Sang Mamah, dengan menatap sang Putri yang terlihat cemas.

“Dia pasti tidak akan datang, Mah, percaya pada Papah. Putri kita ini, hanya ingin berbohong agar tidak dinikahkan dengan pria yang kita pilihkan,” timpal Papahnya Liana, dengan nada meledek.

“Apasih, Pah, lagian siapa juga yang mau membohongi Papah sama Mamah. Aku yakin dia akan datang, karena dia sudah berjanji padaku,” protes Liana, seraya kembali duduk di hadapan kedua orang tuanya, walau masih dengan menatap ke arah pintu masuk.

“Ya ya ya, baiklah baiklah. Semoga saja dia datang sebelum calon yang Papah dan Mamah pilihkan datang,” kata sang Papah, membuat Liana terkejut.

“Maksud Papah apa?“ tanya Liana, dengan raut wajah yang berubah.

“Malam ini, Papah ingin mengenalkanmu dengan anak dari temannya. Dan pria itu adalah calon yang Papah dan Mamah pilihkan,” jawab Mamahnya, mencoba menjelaskan maksud dari sang suami.

“Kenapa Mamah dan Papah tidak mengatakannya dulu padaku?“ protes Liana. “Lagipula, Mamah dan Papah 'kan tau kalau malam ini aku mau membawa pacarku ke rumah. Lalu kenapa kalian mengundang orang lain juga?“

“Memangnya kenapa? Kami hanya ingin kau mengenal pria itu saja, Liana. Lagipula, dia bukan orang lain bagi kami,” terang sang Papah.

“Tidak bisa seperti itu dong, Pah." Liana lagi-lagi memprotes sang Papah. “Dia mungkin bukan orang lain bagi Papah, karena Papah memang sudah mengenalnya. Tapi tidak bagiku! Bagiku dia adalah orang asing.“

“Nah itu! Itu kenapa Papah ingin kamu mengenalnya, agar dia tidak lagi menjadi orang asing bagimu.“ Papahnya berucap dengan santai sembari menyeruput kopi di cangirnya.

“Sudah sudah, cukup sampai di sini saja,” sela sang Kakek, sembari menggerakan tangannya memberi isyarat agar semua orang berhenti. “Kalian ini meributkan hal yang itu itu terus, kasian cucu Kakek ini,” lanjutnya membela Liana.

Liana mengerucutkan bibirnya dan mengangguk, menunjukan wajah memelasnya kepada sang Kakek.

“Tenang saja, Sayang. Kakek akan mendukungmu. Siapa pun yang akan kau pilih nanti, Kakek pasti akan berdiri disampingmu untuk melihat pernikahan kalian,” ucap Kakeknya, memberi dukungan sekaligus meledek sang cucu.

“Ih, Kakek! Itu sih sama saja dengan tidak mendukungku,” keluh Liana, yang membuat semua orang tertawa kecil.

“Kakek 'kan Papahnya Papahmu, Liana. Ya sudah pasti sama saja,” canda Kakeknya, sembari tertawa kecil.

“Kalau begitu bagaimana jika kita bertaruh saja, Nak?“ usul sang Papah dengan senyum licik yang mengembang. “Kalau yang datang lebih dulu adalah pacarmu, Maka Papah dan Mamah akan menyetujui keputusanmu. Tapi, kalau yang datang lebih dulu itu calon yang Mamah dan Papah pilihkan, kau harus mau untuk menikah dengannya. Bagaimana? Setuju?“ lanjutnya, menatap sang Putri dengan seksama.

Liana terdiam, memikirkan usulan yang sangat menggiurkan untuknya itu. Namun, di saat dia sedang merenung memikirkan usulan sang Papah, suara berat seseorang membuat dia, Mamah, Papah dan Kakeknya menoleh ke arah pintu.

“Permisi.“

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status