Selamat membaca!"Semoga aja Viola pergi ke rumah Tari." Setelah menghubungi salah satu mahasiswi di kampusnya itu, pandangan Devan kembali tertuju pada sosok wanita yang dulu sempat menjadi pemilik hatinya. Namun, wanita itu jugalah yang menorehkan luka, membuatnya sampai mengalami trauma mendalam hingga menderita impotensi."Apa sudah selesai neleponnya?" Renata masih belum duduk di sofa, meski sebelum menghubungi Tari, Devan sudah sempat mempersilakan. Wanita cantik dengan rambut hitam panjang itu masih memperhatikan sekeliling. Mencari petunjuk apa gadis muda yang dikejar Devan tadi adalah istrinya."Biasanya kalau orang udah nikah, setidaknya ada foto pernikahan yang dipajang di ruang tamu, tapi sepertinya, mereka memang belum menikah," batin Renata yang sejak tadi merasa tidak tenang memikirkan hal itu."Jadi, untuk apa kamu kembali ke Indonesia dan menemuiku malam-malam begini?" tanya Devan sambil melangkah menuju sofa yang ada di ruang tamu.Pertanyaan itu seketika menyadarkan
Selamat membaca!Devan masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Meski sempat mengusap kedua mata berkali-kali, tak bisa dipungkiri jika anak perempuan itu memang sekilas ada kemiripan dengannya. Namun, kenapa Renata menghadirkan anak itu di saat ia sudah benar-benar lupa pernah mencintai wanita itu? Cinta yang dulunya begitu besar, dengan harapan akan bersatu di pelaminan."Apa kamu punya bukti tentang semua ini?" Suara Devan terdengar keras. Anak perempuan itu pun langsung bersembunyi di balik kaki Renata.Melihat anak perempuan itu seperti ketakutan, Devan jadi merasa bersalah. Diredamnya amarah itu. Amarah yang tiba-tiba menguasai. Tentu saja ia sempat berpikir jika saat ini Renata sedang berbohong guna mendekatinya. Menjadikan anak tak berdosa itu sebagai alat mendapatkan kesempatan darinya. Namun, sekeras apa pun ia coba menekan hati untuk tak percaya. Pada kenyataannya, anak perempuan itu benar-benar mengingatkan Devan akan masa kecilnya."Kamu nggak usah takut, Audrey. Ayah
Selamat membaca!Pagi itu terdengar gaduh saat Tari bangun kesiangan dari yang ia rencanakan. Alarm yang terpasang pada ponselnya pun seakan tak mampu membuat gadis itu terjaga. Berbeda dengan Tari, Viola terlihat masih nyaman bersembunyi di balik selimut seolah tak peduli keterlambatan sahabatnya karena hari ini ia memang tidak ikut pergi ke kampus."Takut banget sih telat, emang materi kelas pertama siapa?""Suami lo, Mbak, masa lo lupa." Tari yang baru saja keluar dari kamar mandi tampak mengeringkan rambut dengan handuk yang tersampir di pundak."Vi, lo bener kagak ke kampus hari ini? Kalau mau ke kampus kan lo bisa pake baju gue.""Baju doang?""Iya, pake baju gue aja, ya kali beli dulu.""Terus dalemannya gimana? Daleman gue kan semuanya basah, Tar. Sekarang aja gue nggak pake apa-apa nih karena lagi gue jemur dan nggak mungkin juga kan gue pake punya lo." Raut wajah Viola seketika menampilkan raut jijik. Jijik bukan karena teringat akan bau kentut Tari semalam, tetapi lebih kep
Selamat membaca!Keluar dari kamar mandi, Viola tak menemukan keberadaan Tari di sana. Gadis itu pun melihat tas miliknya ada di atas ranjang."Jadi, Pak Devan bawain ini buat gue." Viola mulai membuka tas yang isinya tampak penuh karena terlihat menyembul meski belum ia buka. Tas ransel yang biasa digunakan Viola ke kampus memang berukuran kecil–hanya cukup untuk memuat beberapa buku saja."Bukan cuma bawain buku-buku gue, ternyata Pak Devan juga bawain baju buat gue pake hari ini," ucap Viola setelah membuka isinya dan terdapat satu stel pakaian yang biasa ia gunakan untuk pergi ke kampus. Namun, seketika kedua matanya terbuka lebar."What? BH, CD gue ... berarti Pak Devan ... ya Tuhan ...." Seketika Viola histeris melihat itu. Kebetulan Tari yang memang akan memanggil Viola ke kamar mendengarnya hingga dengan cepat masuk."Kenapa sih, Vi?" tanya Tari begitu masuk kamar. Dilihatnya, Viola masih mengenakan handuk yang melilit tubuhnya."Ini, Tar, Pak Devan ...." Viola mengeluarkan seb
Selamat membaca!Viola masih menatap Silvi serba salah. Canggung berhadapan dengan wanita yang ia tahu itu adalah mantan pacar suaminya."Ada apa, Bu? Apa saya melakukan kesalahan?""Kamu nggak salah apa-apa. Memangnya kamu merasa buat salah sama saya?"Viola tersenyum canggung. Menggaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal. Berharap bisa bersikap biasa tanpa menunjukkan rasa grogi. Dalam pikirannya, bisa saja Silvi marah karena telah merebut Devan darinya."Selamat ya atas pernikahan kamu, Viola."Mendengar ucapan itu, tentu saja Viola terkejut. Bukankah hubungannya dengan Devan hanya sebuah pernikahan rahasia yang tidak sepatutnya diketahui orang lain, terutama orang yang ada di kampus. Setidaknya itu perkataan yang pernah Devan sampaikan saat mereka baru saja resmi menjadi suami-istri. Lantas, kenapa Silvi bisa tahu semua itu?Beragam pertanyaan bermunculan dalam pikiran Viola. Tak dapat dipungkiri, raut keterkejutan itu mudah sekali terbaca oleh Silvi yang kini langsung ters
Selamat membaca!10 menit sebelumnya, tepat di saat Devan tengah menunggu Viola di parkiran mobil, pria itu tampak sangat terkejut saat melihat mobil yang dikenalnya masuk ke halaman kampus."Renata ... untuk apa dia datang ke sini?" Devan masih menatap tak percaya. Beralih melihat koridor kampus mencari keberadaan Viola. Tentu saja ia resah, maksud hati ingin pelan-pelan menjelaskan soal masa lalunya pada Viola, tetapi Renata malah lebih dulu datang ke kampus tempatnya mengajar.Ketika mobil berhenti tepat di mana Devan menunggu Viola, Renata keluar bersama Audrey."Renata, kenapa kamu ke sini?" Devan memperlihatkan wajah tidak suka saat melihat wanita itu datang."Maaf, Devan, tapi aku datang ke sini karena Audrey mau ketemu kamu lagi. Katanya dia kangen banget sama kamu." "Daddy, gendong!" Anak perempuan itu memanggil, meminta dengan raut polosnya. Membuat Devan langsung mengulas senyum, meski sebenarnya ia tidak nyaman dengan kedatangan Renata."Ayo sini Daddy gendong!" Devan coba
Selamat membaca!Viola coba menerima. Teringat perkataan Tari sebelum keluar dari mobil. Namun, sekeras apa pun gadis itu mencoba, rasanya teramat menyakitkan. Sungguh tak mudah. Baginya begitu sulit mendapati kenyataan di tengah kebahagiaannya. Terlebih Viola tahu saat tiba di rumah nanti, Renata dan putrinya ada di sana sesuai perintah Devan."Viola, kamu nggak apa-apa, kan?" Devan bertanya. Melihat Viola dari kaca tengah hanya termangu diam tanpa kata."Ingat kata pepatah, Viola! Jika lo mencintai seseorang, lo juga harus bisa menerima masa lalunya." Viola coba bermonolog. Meyakinkan diri bahwa itu hal yang masih bisa diterima. Namun sekali lagi, untuk gadis yang baru berusia 21 tahun, hal itu terasa begitu sulit, apalagi ia merasa jika Renata masih menyimpan perasaan pada Devan. Ya, hanya dari tatapan mata saat menatapnya, Viola tahu jika Renata menganggapnya seperti sebuah gangguan."Terus untuk apa Pak Devan meminta mereka datang ke rumah?""Kamu kan istri saya. Apa salah, kalau
Selamat membaca!Viola terlihat masih menatap cermin. Memantaskan diri dengan sebuah dress selutut berlengan yang dikenakannya. Tak biasanya, ia berpakaian seperti itu di rumah. Biasanya Viola hanya mengenakan pakaian santai dengan kaos longgar dan celana pendek. Namun, Viola merasa saat ini berbeda, keberadaan Renata mengharuskannya tetap berpenampilan cantik karena tak ingin kalah dengan wanita itu."Ih, sebel banget deh. Walaupun gue udah dandan secantik ini, kenapa juga cewe itu harus lebih cantik sih dari gue?" gerutu Viola. Masih menatap cermin di hadapannya dengan raut kesal.Tak ingin berlama-lama karena takut membuat Devan menunggu, Viola pun keluar dari kamar setelah menyematkan sebuah bando yang menyingkap rambut hitamnya. Tak lupa gadis itu mengambil benda pipih miliknya yang tergeletak di atas meja. Namun, saat ia baru akan membuka pintu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Viola hafal betul jika suara itu adalah notifikasi pesan yang masuk. Sejenak ia menghentikan langkah