Share

7. Sumpah Jovanka

Ketika Jovanka tiba di kampus, Mr Mark memanggilnya ke kantor untuk membicarakan biaya kuliahnya yang sudah menunggak.

"Mr Mark, bukankah Anda memberiku waktu dua bulan? Ini baru dua minggu, bagaimana aku bisa melunasi semuanya? Tolong beri aku waktu, kumohon," pinta Jovanka dengan mata berkaca-kaca, dia bahkan tak memiliki uang sekarang.

"Maaf, Jovanka, kupikir tadinya bisa seperti sebelumnya. Tapi sekarang... aku juga tak bisa melakukan apa-apa. Kau masuk ke universitas ini tanpa sedikit pun biaya, jadi Rektor tak bisa memberimu keringanan lagi. Jika dalam minggu ini kau tidak segera melunasinya, kau tak bisa ikut ujian atau mungkin tidak mendapatkan hasil studimu sama sekali."

Kepalanya terasa ditindih beban ribuan ton mendengar sanksi yang mungkin dia dapatkan. Jovanka sampai lemas tak mampu mengatakan apa-apa.

Dia tak bisa terus memohon sebab kampus sudah sangat banyak membantu sehingga dia bisa berkuliah di sana. Jovanka meninggalkan kantor itu dengan perasaan yang sangat menyedihkan.

Seharusnya dia sadar diri sejak awal tidak perlu bermimpi untuk kuliah. Tak ada satu pun yang mendukung dan pekerjaan paruh waktu tidak mungkin bisa mencukupi biaya kuliah yang begitu besar. Dulu dia berpikir ayahnya mungkin akan mempertimbangkan jika Jovanka berhasil masuk fakultas ternama itu, tapi nyatanya semua hanya harapan yang sia-sia. Sampai mati pun dia tak akan bisa mengetuk hati sang ayah yang sudah membatu.

"Kau terlihat sangat sedih dan lelah, apa mungkin kau kelaparan?"

Queena tiba-tiba datang dari arah lain dengan wajah mengejeknya. Jovanka sedang tak bertenaga, dia tak ingin berdebat dengan adiknya itu dan memilih tetap berjalan.

"Hei! Kau mengabaikanku? Dasar pembawa sial!" 

Queen mengutuknya kesal lantas menarik rambut Jovanka dari belakang. Gadis itu tak memiliki semangat bahkan untuk meminta Queen menghentikan aksinya. Semakin kesal diabaikan, Queena menjatuhkan Jovanka sampai gadis itu terduduk di atas lantai.

"Apa yang kau lakukan, itu sakit!"  Jovanka menggosok pinggulnya yang beradu dengan lantai, menatap adiknya yang sangat menyebalkan. Kenapa dia selalu mengganggu di mana-mana?

"Oh, ternyata kau merasa sakit juga? Dan aku tidak peduli." Gadis menyebalkan itu memasang gaya angkuhnya menatap Jovanka dengan merendahkan. "Lebih sakit mana itu atau sanksi yang diberikan padamu?"

"Apa katamu?" Jovanka mengerutkan kening untuk memahami ucapan adiknya. "Kau memata-mataiku?"

"Apa? Hahaha!" Queen tertawa sebelum lanjut berkata, "Kau? Aku memata-mataimu? Memangnya, apa yang kudapatkan dari itu?"

Lantas dari mana dia tahu Jovanka akan mendapat sanksi? Kembali dia berpikir sebelum matanya melebar menatap Queen dengan marah.

"Jangan bilang kau penyebabnya."

"Syukurlah kau sadar. Ya, aku yang meminta rektor menghapus keringananmu, agar kau tak bisa berkuliah di sini."

Tak perlu ditanya bagaimana Queena bisa melakukannya. Ayah mereka adalah salah satu penyumbang besar di kampus ini sehingga tak sulit bagi Queen berurusan dengan seorang rektor. Tapi yang tak bisa Jovanka pikrkan adalah, bagaimana bisa Queena tega melakukan  hal sekeji itu padanya? Bahkan sepeser pun Jovanka tak pernah meminta biaya kuliah padanya.

"Kenapa kau selalu menggangguku! Belum cukup perhatian keluarga dan semua kemewahan yang kau dapatkan? Kenapa tak kau biarkan aku mengurus hidupku sendiri!" teriak Jovanka putus asa, matanya ikut menangis sekarang.

Hanya berkuliah jalan yang bisa dia lakukan untuk mengubah hidupnya, sebab tamatan tingkat atas tak mungkin mendapatkan pekerjaan yang layak. Jovanka tidak merugikan siapa pun, dia hanya ingin ketenangan tapi itu tak bisa didapatkan.

"Kau sudah merusak hidupku, Queen... kenapa kau tega melakukannya?" ratapnya putus asa.

"Kenapa katamu? Karena kau selalu ada di mana-mana. Aku muak harus bertemu denganmu setiap hari di rumah, aku muak melihat kau ada di kampus ini, dan aku benci jika seseorang tahu bahwa kau memiliki ayah yang sama denganku. Pergilah dari kampus ini, Sialan, jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di sini. Aku akan mengatakan pada ayah agar tak pernah membantu biaya kuliahmu!" 

Apakah itu salah Jovanka? Dia tak pernah berharap memiliki ayah yang sama dengan Queena, dia lah yang lebih dulu lahir. Dia juga tak berpikir akan berkuliah di kampus yang sama sebab dulu Queen berkata akan pergi ke universitas di luar negeri. Lantas, kenapa Queen menuduh seakan Jovanka lah yang mengikutinya ke mana-mana? Bukankah itu terbalik?

Harapan berkuliah sudah pupus oleh ulah adiknya yang sangat menyebalkan itu, Jovanka benar-benar frustasi.

Entah keberuntungan atau nasib sial yang datang bertubi-tubi, teleponnya berdering dan itu dari ketua yayasan.

"Nona Jovanka, selamat atas tesmu, kau dinyatakan lolos. Klien ingin transfer embrio dilakukan besok. Siang ini kau datanglah ke kantor untuk menandatangani kontrak."

"Secepat itu, Nyonya?" tanya Jovanka gugup, menghapus sisa air mata dari pipinya. 

"Ya, begitulah orang kaya. Jika mereka ingin melakukan sesuatu, itu tak bisa ditunda-tunda. Ingat, kita sudah melakukan sejauh ini jadi jangan membuatku kecewa."

Baru satu minggu yang lalu Jovanka mendaftarkan diri melalui website mereka dan besok dia akan menerima embrio milik orang lain, untuk dimasukkan ke dalam rahimnya. Jovanka termenung, pikirannya sangat terganggu sekarang. Dia pikir proses bayi tabung itu akan sedikit lebih lama sampai Jovanka benar-benar siap, nyatanya tidak seperti yang diharapkan. Dia belum mengatakan apa pun pada orang rumah dan apakah mereka akan mengijinkannya.

"Apakah itu penting? Bahkan kau mati pun mereka tidak akan peduli, jadi jangan berpikir untuk meminta persetujuan mereka." Jovanka berkata pada diri sendiri.

Lihat sendiri kelakuan adiknya tadi? Queen menggunakan kuasa ayah mereka untuk menghentikan Jovanka kuliah, dan jika pun keluarga mengetahui hal itu, mereka akan tetap membela Queena lalu menyalahkan Jovanka. Lantas, untuk apa dia meminta persetujuan? Semua sudah terlanjur, Jovanka harus mendapatkan uang itu segera.

"Lihatlah, Queen, kau akan semakin muak karena melihatku bertahan di kampus ini dan bisa melunasi biaya kuliahku tanpa bantuan kalian!" Mulutnya bersumpah tak main-main. Tak ada keraguan lagi di hati Jovanka, keputusannya sudah bulat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status