Meskipun ada rasa perih yang mencabik-cabik, Mayang tetap mengeraskan hatinya. Wajah putri semata wayangnya sempat membuat pendiriannya goyah. Namun ia memilih untuk tidak melunak sedikit pun. Sebab ia yakin, darah lebih kental dari pada air. Mungkin sekarang Mirna belum bisa melihat siapa yang tulus menyayanginya. Namun suatu saat, ia akan sadar bahwa semua yang Mayang lakukan untuk kebaikannya. “Mirna, mama akan bertanya sekali lagi padamu.” Mayang menatapnya, “Siapa yang berhak atas kepercayaanmu, mama atau suamimu?” tanya Mayang, ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Air muka wanita muda di hadapannya masih tampak kesal. Ia belum juga memahami situasi yang tengah terjadi. Dalam benaknya, kebenaran tetap milik suaminya. Meskipun Mayang telah berusaha membuka matanya dengan fakta. Mirna tetap memilih Herdian dari pada ibu yang telah melahirkannya. “Selama ini Mas Herdi selalu ada untuk Mirna. Mengapa butuh alasan lagi untuk tidak percaya?” Mirna menghindari kontak mata deng
Saat itu, pria yang baru saja kembali dari mengantar Mirna itu tampak nyaris tak sadarkan diri. Melihatnya limbung, wanita paruh baya yang baru saja melakukan pekerjaannya pun menuruti permintaan pria tersebut. Setelah menyajikan minuman hangat di atas meja, ia pun melanjutkan pekerjaannya. Tanpa rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada pria yang bekerja sebagai sopir di rumah Mayang. “Bi, dia kenapa?” Mayang yang sudah bersiap pergi mendapati sopirnya tergeletak di atas karpet. “Saya juga tidak tahu, Bu. Dia baru saja datang sekitar 2 jam yang lalu. Dia tampak sangat kelelahan.” Bibi menyajikan susu hangat untuk Mayang. Mendengar cerita Bibi tentang sopirnya, Mayang tidak merasa heran. Justru ia sudah mengira akan seperti itu. Sebab Mirna tidak punya tujuan. Rumah pemberiannya yang pernah ditempati Yana pun telah ia amankan. Ia pikir Herdian dan Yana harus mendapatkan bayarannya. Meskipun ia juga terpaksa melihat Mirna kesulitan bersama mereka. Mungkin Mirna juga perlu belaj
“Lekas bawa wanita ini!” Seorang wanita memberi komando pada beberapa orang. Darah segar masih mengalir di kedua kaki Mirna. Sampai tiba di puskesmas terdekat, ia belum sadar. Tampak para petugas medis memberikan pertolongan segera. Salah seorang warga, tak lain merupakan wanita yang pertama kali menyadari ada yang salah pada Mirna pun memutuskan untuk tetap tinggal. “Siapa keluarga pasien?” Wanita muda berpakaian serba putih keluar dari ruangan UGD. “Saya bukan keluarganya, tapi saya yang membawanya ke sini.” Air mukanya tampak cemas. “Tapi–kami perlu berbicara lebih banyak dengan keluarga pasien. Kami harus segera memutuskan sesuatu karena pasien dalam keadaan darurat.” Wanita muda yang ternyata seorang perawat itu menjelaskannya pada si Wanita paruh baya. Wanita itu tampak bingung, apa yang harus ia lakukan. Jika tidak segera mendapat perawatan, mungkin Mirna tidak tertolong. Pada akhirnya, wanita tersebut mengajukan diri untuk menjadi wali agar Mirna segera mendapat peraw
“Jangan, Bu! Jangan beri tahu Mas Herdi, saya pun tidak bermaksud menipunya. Saya hanya–“ Mirna memohon sambil memegang kaki Yana, butiran bening masih mengalir deras di kedua pipinya. Yana membalik badan mendengar rintihan Mirna. Seketika ia punya rencana baru untuk wanita itu. Air mukanya yang tadi penuh dengan kemarahan berubah menjadi lebih ramah. Bukan menerima kondisi Mirna yang sekarat. Namun, ia ingin membuat kesepakatan dengan menantunya. “Imbalan apa yang akan kamu berikan jika saya tetap merahasiakannya dari Herdian?” Yana menatapnya dengan tatapan licik. Mirna menengadah, menatap wajah mertuanya. Ia mengusap pipinya yang basah kuyup lalu berdiri. Sejujurnya, ia tidak mengerti tentang apa yang dikatakan mertuanya. Meskipun mencoba untuk berpikir keras, tapi ia belum bisa menebaknya. “Imbalan seperti apa yang Ibu inginkan?” Mirna menatapnya tajam. “Akan kuberitahu setelah memikirkan apa yang kira-kira pantas. Sekarang kamu hanya perlu menyatakan persetujuan atas hal it
“Bu, tadi ada yang menitipkan ini.” Pak Satpam menyodorkan sesuatu. “Untuk saya?” Mayang mengerutkan dahinya. Pak Satpam hanya menganggukkan kepalanya. Setelah berpikir sejenak, Mayang melanjutkan langkahnya ke tempat parkir. Begitu Pak Satpam menyerahkan padanya, ia langsung tahu bahwa itu kunci ruko miliknya. Tanpa menunggu lama, ia segera pergi. Semua atribut yang berhubungan dengan Echo Bakery telah dilucuti. Sekarang ia hanya berdiri di depan sebuah ruko kosong miliknya. Langkah beratnya berayun masuk ke dalam ruko. Semua kembali ke keadaan semula. Hanya ada secarik kertas yang sengaja ditempelkan pada papan pesanan. Untuk Ibu Mayang Damayanti Saya ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian dan bantuan Ibu selama ini. Mohon maaf, jika saya tidak mengatakannya secara langsung. Saya hanya tidak ingin momen perpisahan menjadi momen terakhir yang memberi kesan buruk. Kami membutuhkan ruang dan waktu untuk saling menjaga. Sejujurnya, saya telah menganggap Ibu Mayang seperti
Langkah kakinya mulai gontai, wajahnya tampak lesu. Harapan untuk bertemu putri semata wayangnya terpaksa ia biarkan padam sejenak. Isi kepalanya mulai memberi komando untuk melepas keinginan yang beberapa saat lalu masih membara. Meski tak ingin, tapi ia harus melakukannya. Jangan sampai ia hancur lalu menyerah dengan keadaan. “Tak ada yang bisa ditemukan!” Mayang masuk ke dalam mobil dengan lemas. “Kita akan menemukannya. Mungkin–perlu menunggu sedikit waktu lagi.” Pria di belakang kemudi menoleh padanya. “Sudahlah, antar saya pulang!” titah Mayang. “Saya juga kurang enak badan.” Wanita itu segera menutup kaca mobilnya. Sesuai permintaan majikannya, sopir pun membawa Mayang melesat meninggalkan kawasan tersebut. Namun meskipun Mayang lebih memikirkan Mirna. Ia juga tidak pernah melepaskan Kemala dari benaknya. Keduanya sangat berarti bagi Mayang. Tidak apa jika Kemala ingin melupakannya. Namun, ia terlanjur menyayangi wanita itu selayaknya menyayangi putrinya sendiri. Bahka
“Kamu sengaja menipuku, hahh!” Herdian menghardik Mirna sambil mengguncang-guncangkan tubuh ringkihnya. Mirna hanya menangis, ia ketakutan. Sebab suaminya tampak sangat marah. Luapan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tidk ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Lagi pula ia memang menipu Herdian. Mengungkapkan alasan dari perbuatannya sama saja menghantarkannya pada pusaran masalah. Sebab itulah ia memilih bungkam. “Dasar jalang, bisanya cuma nangis.” Yana berdecak kesal, ia memalingkan mukanya. “Tadinya kami kupikir, aku rela meninggalkan istri dan anakku karena kamu punya segalanya.” Herdian berbalik arah sambil memegang kepala, lalu kembali mencengkeram wajah Mirna lagi, “Sekarang, kamu sudah tidak ada harganya lagi. Tolong, pergi dari sini!” Herdian mengacungkan tangannya ke arah pintu. “Tapi–ke mana aku harus pergi, Mas? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian.” Mirna memicingkan matanya yang masih sembab. Baik Herdian maupun Yana berlagak tidak me
Yana meletakkan jari telujuk di depan bibirnya sambil berkedip-kedip ke arah Herdian. Kemudian menyeret putranya ke samping rumah. Kemudian membisikkan sesuatu ke telinga pria itu, tampak pula Herdian mengangguk-angguk pelan. “Ohh–kenapa Ibu tidak memberitahuku lebih awal?” Herdian sedikit berbisik. “Jadi, itu rencana ibu untuk si gadis manja sialan.” Yana menyeringai, terlihat jelas niat buruknya. Keesokan harinya, di tempat lain Mentari memperlihatkan keanggunannya, sinarnya menembus 7 lapis langit mencapai bumi. Udara menerima energi untuk memecah dingin yang nyaris membeku. Pagi itu, suasana di sekitar tempat tinggal Kemala terasa hangat. Jiwanya berangsur pulih setelah mendapatkan luka yang berkali-kali menyayat hatinya. “Lagi momong, Yu (panggilan pada wanita dalam bahasa Jawa)?” Seorang tetangga yang belum ia kenal menyapa ramah. Kemala hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Ia melangkahkan kaki telanjangnya sambil mendorong kereta bayi. Sesekali ia berhenti sambil berb