“Hurry up, Brother!” Seorang pria menunjuk pada jam tangan sebagai isyarat mengingatkan bahwa waktu mereka tidak banyak. “Well, give me a minute, alright?” Bhre masih mencoba menghubungi seseorang menggunakan ponselnya. “You’re a bit behind schedule and need to get moving.” Pria itu kembali menghampiri Bhre, ia sedikit memaksa agar Bhre segera meninggalkan apartemen. Pada akhirnya, Bhre Atman menyerah. Ia telah berusaha menyambung kembali komunikasi yang terputus sejak setahun lalu. Selama 1 bulan terakhir, ia tidak pernah berhenti untuk menghubunginya. Namun hasilnya selalu nihil. Panggilannya selalu ditolak bahkan tanpa bertanya siapa dirinya. Pria berperawakan tinggi itu pun menyeret kopernya menuju ke luar ruangan. Sementara asistennya telah lebih dulu pergi. Mereka segera bergegas pergi ke bandara. Seperti yang dikatakan pria berkebangsaan Perancis tadi kepada Bhre, mereka hampir ketinggalan jadwal penerbangan. Situasi itu membuat seorang Bhre Atman terpaksa melupakan keingi
“Pagi-pagi gini, mau ke mana, Bro?” Marco menatap curiga ke arah Bhre yang sedang bersiap pergi. “Menyelesaikan misi yang sempat tertunda.” Bhre mengikat tali sepatunya. “Pinjam mobil yaaa–gak lama kok.” Ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Belum sempat menjawab, Bhre telah lebih dulu pergi. Pria itu bergegas ke bagian samping rumah dengan air muka ceria. Sesekali ia bersenandung lirih. Sedangkan Marco hanya menatap dengan perasaan kesal. Bukan keberatan karena Bhre meminjam mobilnya. Namun, ia tidak suka melihat sahabatnya masih menaruh harapan pada sesuatu yang hampir menghancurkan mimpi terbesar seorang Bhre. Seseorang yang menurutnya tiba-tiba datang mendominasi kehidupan Bhre. Meskipun begitu, Bhre Atman tidak mengetahui tentang dendam yang tersimpan di hati Marco. Siapa sangka jika Marco masih mengingat jelas kejadian setahun yang lalu. Padahal, ia tidak tahu target sakit hatinya. Pria yang pagi itu duduk di balik kemudi sambil bersenandung, masih tampak
Bhre kembali fokus pada benda di hadapannya. Tangannya menari mengikuti gelombang irama yang hanya ada di dalam pikirannya. Intuisi membimbing setiap sapuan ujung kuasnya, meniupkan ruh di setiap karya. “Aku cabut dulu, Bro.” Marco menyambar kunci mobil di atas meja. “Kalau butuh apa-apa, kabari, aku pasti bantu.” Ia melangkah menuju ke luar ruangan. “Aku akan membeli rumah ini!” Bhre meletakkan kuasnya. Kalimat yang dikatakan Bhre mampu menahan langkah kaki Marco yang baru saja mencapai pintu ruangan. Pria itu berbalik badan, lalu menghampiri Bhre yang masih duduk di depan kanvas. Ia menarik kursi di samping Bhre. “Apakah kamu serius?” Marco memastikan kembali penyataan Bhre dengan mimik wajah yang sedikit bingung. “Kurasa kau tahu tanpa harus bertanya,” sindir Bhre, ia masih bersikap dingin. “Ok, nanti kusampaikan pada paman.” Marco menepuk bahu Bhre lalu pergi meninggalkan rumah. Wacana tentang ketertarikan Bhre untuk membeli rumah tersebut, rupanya sampai kepada Yos. Peng
Sahut-sahutan suara burung hantu terdengar seperti pertunjukan orkestra. Bhre masih berada di dalam ruang kerjanya. Sejak bertemu dengan Yos, ada yang mengganjal di dalam isi hatinya. Sesuatu yang selama ini berhasil ia kubur dalam. Berkali-kali pula ia menepis semuanya. Ia tidak ingin hanya karena sesuatu dari masa lalunya menjadi menghambat bagi masa depannya. Fokusnya kembali pada gerakan ujung kuasnya. Ia tidak ingin sedetik pun ingatan itu kembali merenggut dunianya. Kantuk mulai menguasainya, Bhre meletakkan kuasnya. Kedua matanya seakan sudah tidak dapat terbuka lebar. Terasa berat dan agak perih. Pria itu pergi menuju ke kamar tidurnya. Kemudian merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Angannya menerawang jauh. “Ilingo, Ngger–yen urip iku urup.” Tangan berjari lentik itu mengusap kepalanya lembut, terasa teduh dan menenangkan. Nasihat kuno itu selalu terngiang di ruang dengarnya. Bahwa hidup itu harus memberi manfaat kepada orang-orang di sekitar kita. Dan–itu salah sat
“Mengapa kau tampak lemas?” Seorang tua renta menghadangnya saat baru sampai. “Hanya lelah saja.” Ia langsung menuju dapur untuk mencuci peralatan makannya. Kemudian ia menyeka sisa keringat yang masih basah di keningnya. Tubuh lemahnya dibiarkan menyandar ke dinding bambu yang terasa kasar dan bergelombang. Kepalanya sengaja jatuh sedikit agak menengadah. Benaknya mulai memikirkan sesuatu yang menjadi kenangan indah dalam perjalanan hidupnya. “Bagaimana kabar Bu Mayang sekarang?” Kemala teringat tentang wanita baik yang sudah seperti ibunya sendiri. “Kamu masih memikirkannya?” Wanita tua itu tengah duduk di dekatnya. Hanya anggukan kepala yang mampu ia tunjukkan. Sebab angannya masih menelisik ke kehidupannya sebelum ini. Tiba-tiba saja ia merasa rindu saat tadi melayani banyak orang yang membeli kue buatannya. Tersungging seulas senyum samar di sudut bibirnya. Lantas kedua matanya terpejam dengan kepala yang masih mendongak lemas. Betapa indahnya waktu itu. Namun ia sadar, mu
Hatinya teriris, lukanya semakin dalam dan perih menyayat mungkin akan sulit sembuh karena terlalu dalam. Melihat putrinya menolak kehadiran pun perlindungan darinya, Mayang terpaksa pergi. Wajah Yana yang mengejek karena merasa puas dengan pertunjukan drama yang dilakonkan ibu dan anak, masih membekas jelas di benaknya. Kaki yang sebelumnya kuat, kini terasa tak mampu menopang massa tubuhnya. Hanya paksaan yang dapat menyeret langkahnya agar segera pergi. Meskipun ia ingin tinggal karena khawatir buah hatinya sedang dalam tekanan. “Bu Mayang!” Sopir segera membukakan pintu, pria itu sangat terkejut melihat majikannya yang tampak lemas. Tanpa bertanya lagi, ia segera melajukan mobilnya meninggalkan lokasi. Sesekali ia melirik ke kaca spion depan untuk meliha kondisi majikannya. Begit sampai di rumah kediaman Mayang, ia meminta ART untuk membuat secangkir teh chamomile untuk Mayang. “Bi, tolong jaga beliau baik-baik, sepertinya beliau sangat terguncang.” Pria tersebut melangkah ke
Udara dingin mendekap Mirna semakin erat, ia pun tak mau kalah. Tubuhnya agak gemetar hingga ia menarik kedua sisi sweaternya. Namun dingin tak kunjung enyah, ia segera masuk ke dalam rumah. “Apa yang kamu lakukan di luar?” Herdian mengagetkannya dari balik pintu. Mirna tampak terkejut. Ia tidak segera menjawab pertanyaan suaminya. Isi kepalanya berpikir keras, ia harus menjawab pertanyaan Herdian tanpa ketahuan apa sebenarnya yang sudah dilakukannya. “Aku hanya menenangkan diri, Mas. Langit tampak indah malam ini.” Mirna meneruskan langkah melewati Herdian yang masih menatapnya. Meskipun sedikit agak khawatir, Mirna berusaha bersikap biasa agar Herdian tidak curiga padanya. Kemudian ia pun merebahkan dirinya di atas tikar. Tubuhnya meringkuk karena masih terasa dingin walaupun telah menggunakan selimut. ‘Sedikit lagi! Akan segera kukembalikan semua pada tempatnya’. Dengan mata terpejam, ia menegaskan kembali tujuannya yang telah berubah. Walaupun terpaksa meminta seorang konek
“Menurut Bibi–apakah aku terlalu kejam pada putriku?” Mayang menyeruput secangkir teh chamomile yang masih hangat. “Mirna menolakku.” Ia meletakkan kembali cangkirnya di atas meja dengan air muka murung. “Entahlah, Bu. Terkadang anak sering salah mengartikan kasih sayang seorang Ibu. Alih-alih menganggapnya sebagai peringatan, mereka menganggap itu hukuman bahkan kebencian.” Bibi segera undur diri dari hadapan Mayang, ia tidak ingin berkata lebih banyak karena khawatir salah bicara. Butiran beningnya kembali jatuh. Hatinya pun mungkin sedang terkoyak. Atau menyembunyikan luka yang sangat dalam atas sikap buah hatinya. Ia mencemaskan keadaan Mirna tetapi secara terang-terangan, wanita muda itu menepisnya. Melihat majikannya tampak terguncang, wanita itu hanya bisa melihatnya dari balik dinding dapur. Meskipun ingin menghiburnya, tetapi hatinya ragu. Bagaimana pun ia hanya seorang ART yang tidak pantas menasihati majikannya. Sebab ia dibayar bukan untuk itu. Terkadang nasihat baik t