“Bu, tadi ada yang menitipkan ini.” Pak Satpam menyodorkan sesuatu. “Untuk saya?” Mayang mengerutkan dahinya. Pak Satpam hanya menganggukkan kepalanya. Setelah berpikir sejenak, Mayang melanjutkan langkahnya ke tempat parkir. Begitu Pak Satpam menyerahkan padanya, ia langsung tahu bahwa itu kunci ruko miliknya. Tanpa menunggu lama, ia segera pergi. Semua atribut yang berhubungan dengan Echo Bakery telah dilucuti. Sekarang ia hanya berdiri di depan sebuah ruko kosong miliknya. Langkah beratnya berayun masuk ke dalam ruko. Semua kembali ke keadaan semula. Hanya ada secarik kertas yang sengaja ditempelkan pada papan pesanan. Untuk Ibu Mayang Damayanti Saya ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian dan bantuan Ibu selama ini. Mohon maaf, jika saya tidak mengatakannya secara langsung. Saya hanya tidak ingin momen perpisahan menjadi momen terakhir yang memberi kesan buruk. Kami membutuhkan ruang dan waktu untuk saling menjaga. Sejujurnya, saya telah menganggap Ibu Mayang seperti
Langkah kakinya mulai gontai, wajahnya tampak lesu. Harapan untuk bertemu putri semata wayangnya terpaksa ia biarkan padam sejenak. Isi kepalanya mulai memberi komando untuk melepas keinginan yang beberapa saat lalu masih membara. Meski tak ingin, tapi ia harus melakukannya. Jangan sampai ia hancur lalu menyerah dengan keadaan. “Tak ada yang bisa ditemukan!” Mayang masuk ke dalam mobil dengan lemas. “Kita akan menemukannya. Mungkin–perlu menunggu sedikit waktu lagi.” Pria di belakang kemudi menoleh padanya. “Sudahlah, antar saya pulang!” titah Mayang. “Saya juga kurang enak badan.” Wanita itu segera menutup kaca mobilnya. Sesuai permintaan majikannya, sopir pun membawa Mayang melesat meninggalkan kawasan tersebut. Namun meskipun Mayang lebih memikirkan Mirna. Ia juga tidak pernah melepaskan Kemala dari benaknya. Keduanya sangat berarti bagi Mayang. Tidak apa jika Kemala ingin melupakannya. Namun, ia terlanjur menyayangi wanita itu selayaknya menyayangi putrinya sendiri. Bahka
“Kamu sengaja menipuku, hahh!” Herdian menghardik Mirna sambil mengguncang-guncangkan tubuh ringkihnya. Mirna hanya menangis, ia ketakutan. Sebab suaminya tampak sangat marah. Luapan emosi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tidk ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Lagi pula ia memang menipu Herdian. Mengungkapkan alasan dari perbuatannya sama saja menghantarkannya pada pusaran masalah. Sebab itulah ia memilih bungkam. “Dasar jalang, bisanya cuma nangis.” Yana berdecak kesal, ia memalingkan mukanya. “Tadinya kami kupikir, aku rela meninggalkan istri dan anakku karena kamu punya segalanya.” Herdian berbalik arah sambil memegang kepala, lalu kembali mencengkeram wajah Mirna lagi, “Sekarang, kamu sudah tidak ada harganya lagi. Tolong, pergi dari sini!” Herdian mengacungkan tangannya ke arah pintu. “Tapi–ke mana aku harus pergi, Mas? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian.” Mirna memicingkan matanya yang masih sembab. Baik Herdian maupun Yana berlagak tidak me
Yana meletakkan jari telujuk di depan bibirnya sambil berkedip-kedip ke arah Herdian. Kemudian menyeret putranya ke samping rumah. Kemudian membisikkan sesuatu ke telinga pria itu, tampak pula Herdian mengangguk-angguk pelan. “Ohh–kenapa Ibu tidak memberitahuku lebih awal?” Herdian sedikit berbisik. “Jadi, itu rencana ibu untuk si gadis manja sialan.” Yana menyeringai, terlihat jelas niat buruknya. Keesokan harinya, di tempat lain Mentari memperlihatkan keanggunannya, sinarnya menembus 7 lapis langit mencapai bumi. Udara menerima energi untuk memecah dingin yang nyaris membeku. Pagi itu, suasana di sekitar tempat tinggal Kemala terasa hangat. Jiwanya berangsur pulih setelah mendapatkan luka yang berkali-kali menyayat hatinya. “Lagi momong, Yu (panggilan pada wanita dalam bahasa Jawa)?” Seorang tetangga yang belum ia kenal menyapa ramah. Kemala hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. Ia melangkahkan kaki telanjangnya sambil mendorong kereta bayi. Sesekali ia berhenti sambil berb
“Hurry up, Brother!” Seorang pria menunjuk pada jam tangan sebagai isyarat mengingatkan bahwa waktu mereka tidak banyak. “Well, give me a minute, alright?” Bhre masih mencoba menghubungi seseorang menggunakan ponselnya. “You’re a bit behind schedule and need to get moving.” Pria itu kembali menghampiri Bhre, ia sedikit memaksa agar Bhre segera meninggalkan apartemen. Pada akhirnya, Bhre Atman menyerah. Ia telah berusaha menyambung kembali komunikasi yang terputus sejak setahun lalu. Selama 1 bulan terakhir, ia tidak pernah berhenti untuk menghubunginya. Namun hasilnya selalu nihil. Panggilannya selalu ditolak bahkan tanpa bertanya siapa dirinya. Pria berperawakan tinggi itu pun menyeret kopernya menuju ke luar ruangan. Sementara asistennya telah lebih dulu pergi. Mereka segera bergegas pergi ke bandara. Seperti yang dikatakan pria berkebangsaan Perancis tadi kepada Bhre, mereka hampir ketinggalan jadwal penerbangan. Situasi itu membuat seorang Bhre Atman terpaksa melupakan keingi
“Pagi-pagi gini, mau ke mana, Bro?” Marco menatap curiga ke arah Bhre yang sedang bersiap pergi. “Menyelesaikan misi yang sempat tertunda.” Bhre mengikat tali sepatunya. “Pinjam mobil yaaa–gak lama kok.” Ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Belum sempat menjawab, Bhre telah lebih dulu pergi. Pria itu bergegas ke bagian samping rumah dengan air muka ceria. Sesekali ia bersenandung lirih. Sedangkan Marco hanya menatap dengan perasaan kesal. Bukan keberatan karena Bhre meminjam mobilnya. Namun, ia tidak suka melihat sahabatnya masih menaruh harapan pada sesuatu yang hampir menghancurkan mimpi terbesar seorang Bhre. Seseorang yang menurutnya tiba-tiba datang mendominasi kehidupan Bhre. Meskipun begitu, Bhre Atman tidak mengetahui tentang dendam yang tersimpan di hati Marco. Siapa sangka jika Marco masih mengingat jelas kejadian setahun yang lalu. Padahal, ia tidak tahu target sakit hatinya. Pria yang pagi itu duduk di balik kemudi sambil bersenandung, masih tampak
Bhre kembali fokus pada benda di hadapannya. Tangannya menari mengikuti gelombang irama yang hanya ada di dalam pikirannya. Intuisi membimbing setiap sapuan ujung kuasnya, meniupkan ruh di setiap karya. “Aku cabut dulu, Bro.” Marco menyambar kunci mobil di atas meja. “Kalau butuh apa-apa, kabari, aku pasti bantu.” Ia melangkah menuju ke luar ruangan. “Aku akan membeli rumah ini!” Bhre meletakkan kuasnya. Kalimat yang dikatakan Bhre mampu menahan langkah kaki Marco yang baru saja mencapai pintu ruangan. Pria itu berbalik badan, lalu menghampiri Bhre yang masih duduk di depan kanvas. Ia menarik kursi di samping Bhre. “Apakah kamu serius?” Marco memastikan kembali penyataan Bhre dengan mimik wajah yang sedikit bingung. “Kurasa kau tahu tanpa harus bertanya,” sindir Bhre, ia masih bersikap dingin. “Ok, nanti kusampaikan pada paman.” Marco menepuk bahu Bhre lalu pergi meninggalkan rumah. Wacana tentang ketertarikan Bhre untuk membeli rumah tersebut, rupanya sampai kepada Yos. Peng
Sahut-sahutan suara burung hantu terdengar seperti pertunjukan orkestra. Bhre masih berada di dalam ruang kerjanya. Sejak bertemu dengan Yos, ada yang mengganjal di dalam isi hatinya. Sesuatu yang selama ini berhasil ia kubur dalam. Berkali-kali pula ia menepis semuanya. Ia tidak ingin hanya karena sesuatu dari masa lalunya menjadi menghambat bagi masa depannya. Fokusnya kembali pada gerakan ujung kuasnya. Ia tidak ingin sedetik pun ingatan itu kembali merenggut dunianya. Kantuk mulai menguasainya, Bhre meletakkan kuasnya. Kedua matanya seakan sudah tidak dapat terbuka lebar. Terasa berat dan agak perih. Pria itu pergi menuju ke kamar tidurnya. Kemudian merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Angannya menerawang jauh. “Ilingo, Ngger–yen urip iku urup.” Tangan berjari lentik itu mengusap kepalanya lembut, terasa teduh dan menenangkan. Nasihat kuno itu selalu terngiang di ruang dengarnya. Bahwa hidup itu harus memberi manfaat kepada orang-orang di sekitar kita. Dan–itu salah sat