Tampak sebuah kaki panjang seorang pria yang terbungkus menawan dalam seluar hitam mahal, itu melangkah turun dari mobil. Sepasang kaki ber-sepatu kan hitam mengkilap itu menginjak lantai keramik halaman depan restoran dengan gerakan yang cukup mempesona.
Berdiri tegap tepat di samping mobil hitamnya yang mengilap. Semua staf dapat melihat sosoknya yang seperti pangeran malam yang dingin, itu tampil jumawa dalam setelan kemeja putih polos yang terbalut luaran mantel hitam panjang. Merapikan kedudukan dasi dilehernya, sepasang mata elang itu menatap angkuh ke depan— acuh tak acuh.
"Selamat datang pak Pasha!"
Beberapa pasang karyawan dan karyawati restoran berjejer dengan rapi menyambut kedatangannya. Mereka perlahan membungkuk, memberi salam penghormatan yang penuh formalitas. Lalu mempersilahkan pangeran malam yang dingin itu, untuk melangkah masuk kedalam restoran.
Pasha yang sama sekali tidak tersenyum sejak awal, melangkah kedalam dengan pesona arogannya. Membuat beberapa karyawati tak tahan untuk tidak menjerit melihat betapa tampannya ia.
Di dalam sana, restoran ber-interior glamor itu melengkapi penampilan maskulinnya yang berkelas. Beberapa titik cahaya lampu yang bersinar keemasan jatuh begitu menawan menyambut wajah tampannya yang kaku tanpa ekspresi.
Rangkaian bunga penuh warna memenuhi sisi kanan dan kiri ruangan dengan tatanan yang memukau. Sebuah meja bulat berukuran sedang, tampak cukup anggun dalam balutan kain putih yang halus. Di atasnya ada secangkir lilin aroma mawar pekat, yang memberi sentuhan romantik.
Pasha menarik salah satu kursi di meja itu dan duduk. Menatap ke depan, kursi yang menjadi milik pasangan makan malamnya itu masih kosong. Ia melirik arloji yang melingkari tangannya, itu sudah menunjukkan pukul delapan malam lewat.
"Lima menit" Wanita itu sudah membuang waktu lima menitnya yang berharga.
Lama ia menunggu, hingga tepat setelah tiga puluh menit berlalu. Tapi seseorang yang mengisi kursi kosong di depannya itu, masih juga belum muncul. Mengepalkan tangannya, kedua sudut bibirnya berkedut, tersenyum dingin, "Tiga puluh lima menit"
Tidak ada yang pernah membuatnya menunggu selama itu. Tapi wanita ini...
Mengangkat tangannya, Pasha mengirimkan sial pada pelayan untuk membawakan pesanannya. Segera seorang pria berseragam putih dengan pita hitam itu datang, membawa nampan yang diatasnya dua piala dan satu botol anggur merah.
Bersamaan dengan itu seorang gadis bergaun hitam elegan, muncul di ambang pintu restoran. Wajahnya yang tirus, putih dan menarik, tampil cukup menawan dalam balutan pasmina hitam yang mempesona. Melangkah masuk kedalam, gadis itu mengambil tiap pijakan yang cukup pelan, berjalan kesusahan mendatangi meja tempat mereka bertemu.
Itu karena sepasang high heels yang membungkus kakinya yang cantik dan ramping itu, membuat tubuh mungilnya terlihat meninggi dipaksakan. Jelas dari gelagatnya, gadis itu tampak seperti tidak terbiasa menggunakan benda itu di kedua kakinya.
Hal itu membuat penampilannya yang anggun, lebih mirip seperti sosok putri muda yang ceroboh. Persis..
Langkahnya yang gontai itu nyaris saja menabrak salah satu kaki meja. Tapi gadis itu dengan cepat memperbaiki posisi dan kembali berjalan seakan tidak terjadi apa-apa.
Gadis itu dapat merasakan tatapan dingin seseorang yang terus mengawasi gerak-geriknya dari kejauhan. Itu lekat dan tajam. Berhasil menciptakan hawa dingin yang kuat, yang menusuk hingga ke dada. Meremas jari-jemarinya, ia berusaha keras untuk tidak gugup.
Hingga tepat pada langkah terakhir, gadis itu sudah berdiri di depan meja yang sudah di dominasi oleh aura dingin nan gelap seseorang.
"Permisi!"
Terdengar suara jernih yang cukup kecil dan pelan, menyapa gendang telinga Pasha seperti bisikan nyamuk. Itu sangat halus nyaris tak terdengar. Mengacuhkan kedatangan gadis itu, ia hanya fokus pada pelayan pria yang sedang menata barang bawaannya di atas meja. Setelahnya pelayan pria itu sedikit membungkuk kearah Pasha, menanyakan pesanan lainnya.
Pasha terus melambaikan tangan, menyuruh pelayan itu pergi. Tepat setelah pelayan pria itu melangkah mundur meninggalkan meja, gadis yang berdiri di depannya itu tampak dengan gugup menarik kursi dan duduk. Meluruskan punggungnya, ia mengulas senyum tipis kearah Pasha, "Maaf untuk keterlambatan saya pak!" Bibir kecil se-merah ceri itu terbuka dan berkata cukup pelan seperti di awal.
Pak? Ujung bibir Pasha berkedut dingin. Mengambil sebotol anggur merah yang baru saja di bawa pelayan tadi, perlahan ia menuangkannya kedalam gelas miliknya sedikit. Setelahnya, ia dengan murah hati menuangkan minuman itu ke gelas milik gadis itu, hanya untuk di hentikan—
"Maaf pak, saya tidak minum itu!"
Pergerakan Pasha tertahan, sepasang alisnya bertaut dan mata elangnya menatap gadis mungil yang duduk di depannya tanpa kata. Ia dapat melihat bibir ceri itu memberi senyuman kecil, terlihat kikuk. Gadis itu mengangkat tangannya kearah pelayan dan memesan, "Tolong, secangkir teh chamomile"
Pasha perlahan meletakkan botol minuman itu di meja. Mengambil gelas minumannya, ia meneguk cairan merah itu sedikit dengan tatapan yang terus mengarah ke gadis kecil di depannya. Menatap dingin dan menekan.
"Maaf pak, langsung saja. Saya akan berterus terang pada anda malam ini"
Pasha tidak mengira nyali gadis itu tidak menciut sama sekali. Banyak orang yang setelah berada cukup lama di bawah tatapannya, mereka pasti tak tahan hingga kehabisan kata untuk berbicara. Tapi gadis kecil di depannya ini—
Tampak cukup takut dan berani bersamaan.
"Saya seorang mahasiswi semester enam yang sama sekali tidak berniat untuk menikah muda. Saya cukup ambisius pada beberapa hal dan sangat berprinsip. Saya religius, sederhana dan kadang masih sedikit labil. Jadi mohon dengan sangat kepada anda, untuk membatalkan lamaran anda" Sekilas, bibir ranum itu bergetar dan wajah cantiknya terlihat agak pucat.
Sebenarnya gadis itu sangat gugup dan cukup takut. Kedua kakinya yang di bawah meja sudah bergetar sejak awal. Tapi syukurlah ia dapat mengucapkan rentetan kalimat panjang itu dengan cukup baik dan lancar. Di samping nyeri di perutnya yang benar-benar...
Tak tertahankan.
Pasha yang merenungi perkataan Hana tadi, itu tak sanggup menyembunyikan senyum dingin di bibirnya yang kesekian kalinya berkedut— tapi enggan berbicara. Ia hanya menggoyangkan gelas anggurnya dan kembali menyesapnya sedikit.
Hana dengan gugup meremas jari-jemarinya, menunggu pria di depannya itu berbicara. Tapi beberapa menit berlalu, yang terjadi hanyalah keheningan. Sampai seorang pelayan datang membawa pesanannya, ia mengangguk kecil kearah pelayan, tersenyum simpul berkata, "Terimakasih"
"Sama-sama nona!" Pelayan itupun tersenyum sopan dan pergi.
"Jadi, apakah anda menyetujui permohonan saya ini?"
"Sebelum itu, bolehkah saya bertanya?"
"Ya" Gugup, Hana mengangguk.
"Apa kau adalah gadis yang di comblang kan dengan ku?"
Deg!
Detik itu Hana sadar. Ia benar-benar sudah terjebak dalam lubang yang digalinya sendiri. Hal fatal itu, telah membawa Hana terjerat dalam berbagai macam kekacauan yang tak pernah ia bayangkan.
Dan di situ pula
Awal dari mimpi buruknya bermula!
—••—
Kota X adalah sebuah kota metropolitan yang padat. Di penuhi dengan rentetan apartemen mewah, jejeran gedung tinggi dan pusat industri bisnis yang berkembang pesat. Beberapa pengusaha besar, konglomerat, dan orang-orang besar lainnya memenuhi kota itu. Tempat para publik figur memulai debutnya dan para perantau memulai keuntungannya.Sekilas— itu terlihat kota sibuk dan melelahkan.Tepat di sebuah gedung besar, di mana perusahaan ternama berdiri. Para karyawan di dalamnya tampak sangat bekerja keras, disiplin dan bergerak cepat. Beberapa dari mereka tengah sibuk mengetikkan sesuatu di layar komputer, beberapa yang lain membawa tumpukan kertas di tangan ke mesin fotokopi dan sisanya dengan cukup teliti memahami berkas dan dokumen yang menumpuk di meja.Di sebuah ruangan yang sudah di dominasi aura dingin seseorang. Tampak seorang pria duduk di kursi kerjanya, sedang memainkan jam pasir kecil yang ada di tangannya. Ia membalik jam pasir itu, lalu memperhatik
"Kasual yang ku maksud bukan dari caranya berpakaian"Shahbaz yang mendengar pernyataan itu, tak tau harus tertawa atau menangis. Ini sungguh di luar perkiraannya. Awalnya ia mengira 'kasual' yang di maksudkan putranya adalah seorang gadis cantik yang berpenampilan kasual. Tapi siapa yang menduga ternyata bukan begitu?"Lalu 'kasual' yang kau inginkan itu seperti apa?" Shahbaz jelas merasa frustasi. Ia hanya punya Pasha sebagai anak dan satu-satunya putra sebagai penerus. Tapi mengurus pernikahannya, serasa seperti mengurus pernikahan tiga orang anak."Kepribadiannya, mungkin?" Pasha terdengar ambigu."Baik, kalau begitu kita lanjut ke bunga yang kedua" Menolak untuk menyerah, Shahbaz langsung menggantikan foto itu dengan foto kandidat kedua. Ia masih berharap ada dari antara tiga kandidat itu, yang akan menarik minat putranya."Seperti yang terlihat, kandidat kedua ini cukup cantik dan feminim"Di foto itu terlihat seorang gadis cantik deng
"Ah, aku sungguh menyesal mengambil sastra Arab. Kalian tau apa? Ilmu tashrif* ku saja sejauh ini bisa dibilang masih di tingkat dasar" Hana tersenyum simpul mendengar keluhan salah satu dari temannya. Mereka baru saja keluar dari ruang yang kebetulan dosen pengajarnya sudah berumur. Di dalam sana berlangsung cukup tegang selama dua jam-an penuh. Mereka diberondong dengan berbagai macam pertanyaan dan jika tidak bisa menjawab, mereka harus berdiri. Dan nasib tidak baik itu menimpa salah satu temannya yang bernama Salsa, yang lebih sering di panggil Chaca. "Tadi itu sungguh memalukan" Salsa meremas kepalanya frustasi, membuat tatanan kerudungnya sedikit berantakan. "Tidak masalah, kita kan masih belajar. Jika mengenai tashrif, aku pun sejauh ini masih terbalik-balik ketika men-tashrifkannya. Apa lagi yang terdiri dari empat huruf dan di tambah huruf illat* nya lagi" Yang berbicara kali ini adalah Miftah. Pecinta balaghah*. Hal yang membuatnya memantapkan hati mengambil sastra Arab u
"Papa bercanda?" Suara sendok dan garpu yang di banting ke piring, memecah keheningan ruang makan. Keira rasanya seperti baru saja mendengarkan guntur di siang hari. Apa itu— ia akan menikah? Di usia semuda ini? Dan atas pilihan Mak comblang?Ini sudah abad ke berapa, tapi kenapa papanya masih berpikir se-kuno itu?"Malam" Ratna baru saja pulang lembur, dengan pakaian kerjanya ia mendatangi ruang makan dan mendapati suasana terlihat tegang, "Ada apa ini?"Hana menoleh sekilas pada kakak tertuanya yang tampak kebingungan. Tidak berkata apa-apa, ia hanya mendesah pelan."Harusnya kak Ratna dulu dong yang menikah. Umurnya yang sudah hampir kepala tiga itu masih saja lajang dan hanya tau bekerja. Tapi kenapa malah aku yang mau dinikahkan?" Bebel Keira, dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya."Lagian papa hidup di abad apa sih hari gini masih pake Mak comblang? Pokoknya Keira gak setuju" Tentang Keira tegas, "Keira itu masih muda pa, baru dua
"Hana ku mohon..bantu kakak mu ini, please.."Keesokan malam harinya, Keira yang tak berdaya menolak permintaan papanya itu, memohon pada Hana untuk membantunya dalam aksi menggagalkan 'kencan pertama'. Jika kesan yang didapat buruk pada pertemuan pertama, Keira seratus persen yakin si pangeran malam itu pasti akan menggagalkan pertunangan mereka yang tidak taunya ternyata akan di adakan bulan depan."Tapi kak, Hana benar-benar gak sanggup keluar. Perut Hana kram nih, nyeri datang bulan.." Tiap kali jatah bulanannya datang, Hana selalu saja menderita dismenore.Nyeri menstruasi yang ia rasakan itu rasanya seperti ratusan tangan mengoyak habis perutnya sampai ia tak tahan untuk tidak menangis. Tapi syukurlah malam ini kram perutnya masih dalam tahap toleransi."Kakak ambilkan obat pereda nyeri ya..kram perutnya gak seberapa parah kan?" Keira tentunya tau seperti apa jika adiknya itu sudah datang bulan. Hana bisa saja terbaring lemas seharian di kasur denga
"Maaf pak, saya tidak bisa minum itu" Tolak Hana sopan. Anggur yang sudah difermentasi itu tak lagi halal untuk di minum. Hana melambaikan tangannya ke atas, memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita pun berjalan mendatangi meja, "Ada yang bisa saya bantu nona Hana?" Staf tersebut tentu mengenal Hana. Putri bungsu dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Putri konglomerat yang dikenal religius dan menarik diri dari publik. Seringkali gadis cantik itu datang ke restoran, mentraktir kedua sahabatnya makan di sana. Biar begitu Hana tetap tampil rendah hati dan tidak sombong. "Tolong, secangkir teh chamomile" Hana mengelus perut datarnya. Tidak tau kenapa nyeri menstruasinya menjadi lebih parah dari sebelumnya. Pelayan wanita itu sempat melihat keganjilan dari rona wajah cantik Hana yang tampak agak memucat. Ia awalnya ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Hanya merasakan aura dingin Pasha yang mendominasi sekitar, ia tak tahan untuk segera pergi meninggalkan meja. "Maaf p
"A-aku..""Ayo ke rumah sakit" Seperti kau memiliki barang yang berharga. Melihat ada kesalahan sedikit saja, kau tak tahan untuk segera membawa barang itu ke tempat perbaikan."Tidak perlu" Hana dengan cepat menggelengkan kepalanya menolak.Kesal karena melihat Hana yang tak menurut, tanpa basa-basi lebih jauh. Pasha langsung membopong gadis kecil itu ke atas pundaknya. Hana sontak meronta, apa-apaan pria ini?"Pak, apa yang anda lakukan? Anda bukan mahram saya" Jerit Hana histeris. Mengundang berbagai pasang mata tertuju kearah mereka."Cepat turunkan saya!" Hana dengan keras memberontak untuk turun. Tapi nyeri dalam perutnya, membuat Hana tak punya kekuatan yang besar untuk melakukannya.Pasha menolak menurunkan Hana, terus membopongnya keluar dan memasukkan gadis kecil itu kedalam mobilnya. Hana di dalam sana sudah menangis deras, tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Nyeri dalam perutnya sungguh sangat tidak tertolong.Mendeng
Hana membuka matanya ketika samar-samar sinar matahari pagi mendominasi wajahnya. Terdengar suara tarikan tirai yang di geser. Hana menoleh dan mendapati seorang perawat baru saja menyingkap tirai jendela. Hana rasanya seperti baru terjaga dari mimpi. Ia tidak akan pernah mengira ada hari dimana ia dilarikan ke rumah sakit hanya karena kram menstruasi. Mengingat kejadian semalam, rasanya Hana ingin menangis karena malu. "Pagi, anda sudah bangun?" Sapa perawat cantik itu ramah. "Pagi, Sus" Hana mengangguk sopan, "Ya, baru saja" "Ah, kakak lelaki anda baru saja pergi membeli sarapan. Ia berpesan pada saya jika anda bangun untuk meminta anda menunggunya" "Kakak lelaki?" Hana mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan ia punya kakak laki-laki? Ia hanya punya dua orang kakak perempuan. "Em" Perawat itu mengangguk dan tersenyum, "Kalau begitu saya permisi" Setelah kepergian perawat itu, Hana tanpa sengaja menoleh kearah sofa yang ada