"Marcia," gumam Damar. Ia terpaku melihat Marcia ada di depan matanya. "Eh, Damar! Aku duluan ya," sahut Marcia. Ia segera meninggalkan kasir itu, sepertinya ia tampak buru-buru. Damar memandangi kepergian Marcia, ternyata di kejauhan ada Alvin yang sudah menunggunya. Alvin juga melihat ke arah Damar, ia tampak tersenyum sinis kepada Damar."Silahkan, Pak," kata seorang kasir yang sudah menunggu Damar melakukan pembayaran."Mas," kata Jihan sambil menyenggol tangan Damar, membuat Damar sangat kaget."Eh, iya!" Damar pun segera mengeluarkan dompet untuk mengambil uang dan melakukan pembayaran.Jihan yang dari tadi mengamati Damar, tampak sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi."Mas, siapa perempuan hamil tadi?" tanya Jihan ketika mereka sedang berada di dalam mobil."Perempuan hamil?" Damar mengernyitkan dahi."Iya, perempuan yang di depan Mas waktu di kasir tadi.""Memangnya dia hamil ya?" tanya Damar."Iya, lah! Perutnya kelihatan membesar." Jihan jadi kesal sendiri me
"Saya yakin kalau Pak Satria itu mampu secara finansial. Tapi ini masalah hati," sahut Viona."Masalah hati? Apa masalahnya? Apa Dek Viona tidak mencintai saya?" tanya Satria."Kalau masalah cinta, saya yakin, dengan berjalannya waktu, pasti Dek Viona akan mencintai saya," lanjut Satria dengan tersenyum."Huh! Ini orang kok nggak bisa menerima penolakan, sih! Lama-lama bikin aku muak!" dengus Viona dalam hati.Satria memandang Viona dengan penuh cinta. Ketika tanpa sengaja pandangan kata Viona dan Satria bertemu, Viona merasa malu. Sedangkan Satria tampak tersenyum bahagia."Kamu belum tahu bagaimana pesonaku, Viona. Aku yakin kalau kamu akan bertekuk lutut padaku. Kamu itu masih malu-malu tapi mau," kata Satria dalam hati. Ia merasa sudah diatas awan, hanya tinggal menunggu waktu saja.Fira memandang ke arah Satria, ia tampak kesal melihat Satria tersenyum manis pada Viona. Senyum itu yang dulu membuatnya tega meninggalkan suami dan anak. Tapi senyum itu sekarang sangat menyakitkan.
"Bu, Mas Damar ingin bertemu dengan Arka. Apa yang harus Viona lakukan?" tanya Viona pada ibunya. Bu Paramita yang sedang asyik menonton berita artis di televisi segera menoleh ke arah Viona."Apa Damar menghubungimu?"Viona hanya mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan ibunya.Tadi Damar sudah menghubunginya kalau ingin bertemu dengan Arka. "Damar sering menghubungimu?" tanya Bu Paramita lagi."Enggak sering, sih. Beberapa kali ia memberitahu kalau sudah mentransfer uang untuk keperluan Arka.""Syukurlah kalau Damar sudah terbuka hatinya untuk memberi nafkah pada anaknya. Kamu bagaimana? Mengizinkan, nggak?" Bu Paramita malah bertanya balik."Viona kan minta pendapat Ibu, kok malah Ibu nanya balik, sih.""Tanya pada hati kecilmu! Kalau menurut Ibu, kamu tidak boleh menghalangi seorang ayah menemui anaknya. Yang jadi masalah, kamu siap nggak jika nanti harus sering bertemu dengan Damar.""Cepat atau lambat, semua itu akan terjadi, Bu! Bagaimanapun juga Mas Damar itu ayahnya Arka. Viona
"Jadi bagaimana baiknya?" tanya Pak Baskoro pada Rusman."Kita hadapi saja, Mas. Kalau menghindar malah akan membuat Satria penasaran." Rusman memberi saran."Kalau Satria datang bersama keluarganya, ya kita sambut dengan baik. Biar keluarga besarnya tahu kalau Viona memang menolak lamaran Satria. Dia itu sudah tidak mempan diberi saran. Kalau Satria masih saja memaksa Viona menerima lamarannya, lebih baik Viona menjauh dan pergi dari sini," lanjut Rusman."Iya, Viona sudah aku ajak pulang kampung. Tapi ia tidak mau, katanya nanti malah jadi bahan gunjingan di sana." Bu Paramita ikut berkomentar.Mereka sedang berdiskusi tentang masalah yang sedang dihadapi. Rusman datang bersama dengan Yunita. Terdengar suara seseorang mengucapkan salam."Biar aku yang buka," kata Yunita seraya beranjak dari duduknya dan kemudian berjalan menuju ke pintu."Edi? Ada apa?" tanya Yunita pada seorang laki-laki yang berada di depan pintu rumah Yunita.Laki-laki yang dipanggil Edi itu tampak terkejut melih
"Rujuk? Mungkinkan aku bisa rujuk dengan Viona? Apakah Viona mau rujuk? Terus bagaimana dengan Jihan?" kata Damar dalam hati.Pikirkan Damar dipenuhi dengan kata-kata rujuk. Memang kemungkinan itu bisa saja terjadi, tapi yang menjadi masalah, Damar sudah melamar Jihan. Tentu saja dua keluarga berharap sampai ke jenjang pernikahan. Walaupun sebenarnya hanya keluarganya Jihan yang berharap seperti itu.Sepanjang perjalanan Damar memikirkan Viona dan Arka, karena memang tujuan perjalanan ini untuk bertemu dengan Arka. Dan otomatis nanti bakal bertemu dengan Viona. Damar mengingat kembali bagaimana rumah tangga yang ia jalani dengan Viona. Ada rasa nyeri di hatinya, ia baru bisa merasakan apa yang Viona rasakan selama ini. Pak Yuda dari tadi hanya mengamati Damar yang diam seribu bahasa. Damar duduk di depan bersama dengan Danish yang mengemudi mobil. Pak Yuda duduk di tengah bersama dengan istrinya yang sudah tertidur sejak kendaraan mulai berjalan. "Mas." Danish memanggil Damar, tapi
Viona sangat syok ketika melihat siapa yang datang. Mama Laras dengan wajah yang sumringah mendekati Viona."Halo Sayang, apa kabar?" Mama Laras langsung cipika-cipiki dengan Viona."Alhamdulillah, kabar baik, Ma.""Eh ada tamu ya?" tanya Mama Laras ketika menyadari ada orang lain di ruangan itu. Ia tersenyum ke arah Satria dan Edi.Satria dan Edi pun ikut tersenyum.Tak lama kemudian muncul Pak Yuda dan anak-anaknya. Viona semakin syok melihat Damar datang bersama mereka. Dengan gugup Viona pun menyalami mereka. Jantungnya berdetak dengan kencang ketika tangannya menyalami tangan Damar. Damar tersenyum merasakan tangan Viona yang dingin, Viona pun tersenyum untuk menutupi kegugupannya.Viona mempersilahkan keluarga Damar untuk duduk di sofa ruang tamu. Kemudian Viona masuk ke dalam."Bu, opanya Arka datang," kata Viona pada ibunya yang ada di ruang keluarga. Ia tampak cemas dengan situasi ini."Siapa?" tanya Pak Baskoro yang muncul sambil menggendong Arka."Opanya Arka datang!" sahut
"Jadi maksud Pak Satria, saya harus menyerahkan Arka pada ayahnya? Tidak akan pernah saya lakukan. Arka masih dibawah umur, harus ikut saya." Viona dengan tegas menjawab ucapan Satria."Bu-bukan seperti itu," jawab Satria dengan gugup."Maaf Pak Satria, saya bisa mengurus Arka sendirian." "Maksud saya, nggak ada salahnya sekali-kali ia ikut ayahnya. Mungkin sebulan atau dua bulan, nggak mungkin juga ayahnya akan menelantarkan Arka."Terdengar suara ponsel Satria berdering, Satria tampak kesal, kemudian membuka ponsel itu. Langsung ia matikan lagi.Ponsel Satria berdering lagi, tapi Satria masih mengabaikannya. "Maaf, Pak. Ada pesan dari Bu Fira. Bu Firda sekarang ada di rumah sakit," kata Edi sambil menunjukkan ponselnya pada Satria.Satria mengambil ponsel itu dan membaca pesan dari Fira. Ia berdecak kesal karena merasa terganggu.Ponsel Satria berdering lagi."Ada apa?" kata Satria begitu menerima panggilan itu.Suara diseberang menjelaskan sesuatu."Kamu ceroboh sekali, apa sih k
"Mama senang melihat kalian berdua bersama dengan Arka. Seperti keluarga yang utuh. Sebenarnya Mama berharap kalau kamu bisa rujuk dengan Damar. Melupakan yang telah terjadi dan memulai hidup bersama lagi." Mama Laras berbincang dari hati ke hati bersama Viona. Hanya mereka berdua, sambil duduk santai di teras samping.Ucapan Mama Laras tentu saja membuat Viona kaget. Ia tidak menyangka jika omanya Arka akan berkata tentang rujuk. Sesuatu hal yang tidak pernah ia pikirkan. Karena ia tahu kalau Damar sudah punya calon istri. Perempuan itu adalah pilihan Damar sendiri, tentu saja Damar sudah yakin dengan pilihannya itu. "Kenapa Mama bilang seperti itu. Walaupun kami tidak bersama lagi, tapi kami akan tetap bersama mengasuh Arka. Mungkin kami bukan pasangan yang baik dalam rumah tangga, tapi kami pasangan yang baik dalam membesarkan Arka.""Maaf kalau Mama lancang." Mama Laras merasa bersalah."Mama enggak lancang kok. Hanya saja tidak enak kalau sampai di dengar Mas Damar. Bukankah Mas