BAGIAN 67
PESAN DARI CHRIS
“Ri ….” Mbak Sherly meremas jemariku. Dia memanggilku lagi dengan suara seraknya.
Kutarik napas dalam-dalam. Sebisa mungkin mencoba untuk menenangkan diri. Aku tak boleh asal bicara pada Mbak Sherly. Salah-salah, emosinya bakal labil dan masalah jadi tambah keruh.
“Mbak,” ucapku hati-hati. “Apa tidak coba kita pikirkan dulu?” Kutatap dalam bola mata wanita tersebut. Sendu kelopaknya membuat hatiku makin terenyuh. Kasihan sekali Mbak Sherly. Nasibnya persis sepertiku.
Mbak Sherly mengerling. Ekspresinya seakan telah muak dengan hubungan pernikahan yang memasuki usia ke-16 tersebut. Muak dengan pengkhianatan, tentu saja.
BAGIAN68PEMBAHASAN PENUH LUKA “Hush!” kataku kepada Mbak Sherly seraya manyun. Aku yang agak deg-degan sebab pesan dari Chris tersebut kini kembali dibuat tak habis pikir. Terlonjak kaget diriku ketika ponsel yang ada digenggaman bergetar lagi. Kali ini getarannya panjang. Tampak di layar, Chris melakukan panggilan suara. “Tuh, Ri. Dia nelepon. Angkat, gih,” ucap Mbak Sherly. Perempuan itu menyikutku pelan. Aku gelagapan. Agak kurang percaya diri. Apa-apaan sih si Chris. Magrib-magrib begini malah menelepon. Mau tak mau aku pun mengangkat telepon tersebut. Kuredam gemuruh dalam dada. Lagian, aku ini kenapa coba. Ditelepon sama pengac
BAGIAN 69MBAK SHERLY SAYANG, MBAK SHERLY MALANG “Assalamualaikum.” Pembicaraan yang tengah panas-panasnya tiba-tiba terinterupsi oleh suara salam dari arah belakang. Aku, Mama, dan Mbak Sherly sontak menoleh. Ternyata Bang Tama. Pria besar tinggi yang mengenakan kaus polo berkerah warna putih dengan lis hitam itu berjalan ke arah kami. Wajahnya tampak tenang. Tak terlihat raut gusar seperti Subuh tadi. Bahkan, kakak pertamaku itu masih sempat menyunggingkan senyuman ke arah kami. “Waalaikumsalam.” Kami bertiga kompak menjawab. Mama pun langsung bangkit dari kursinya dan menghambur ke arah Bang Tama yang sudah dekat sekali dengan meja makan. “Tama, bagaimana? Kamu sudah memulangkan istrimu
BAGIAN 70POV NADIADINGINNYA LANTAI PENJARA “Eh, anak baru! Jangan nangis aja lu! Berisik!” Plak! Sebuah tamparan mendarat ke kepalaku. Jangan tanya rasanya. Sudah pasti sakit sekali. Telingaku sampai berdenging. “Tolong! Tolong! Keluarkan aku dari sini!” Aku menjerit keras. Menggoyang-goyangkan jeruji besi sel yang hanya berukuran 3 x 2,5 meter tersebut. Namun, tak ada satu pun petugas rutan yang datang untuk menolong. Perundungan yang dilakukan oleh salah satu senior sel yang galaknya minta ampun itu pun kembali menderaku. Tak hanya tamparan, kini dia menjambakku. “Hei, lonte! Jangan teriak-teriak! Berisik kataku! Kamu ini tuli atau bagaimana?” Perempuan bertubuh kekar deng
BAGIAN 71NAHAS Gamblang terpampang di depan mataku, sosok Bang Edo yang hanya mengenakan kaus dalam singlet dan celana pendek warna cokelat tua itu sedang bersanding di sebelah perempuan muda nan cantik jelita. Gadis itu tinggi semampai, bahkan lebih tinggi daripada abangku yang memang agak pendek tersebut. Rambutnya pendek seleher dan diikat ke belakang. Mereka berdua menatap kami dari ambang pintu dengan wajah yang masing-masing muak. Astaga, santai sekali keduanya? Siapa yang salah, siapa yang ngamuk? “Bang Edo! Berani-beraninya kamu membawa perempuan itu ke rumahku!” Mbak Sherly kalap. Dia berteriak dan berusaha untuk meringsek maju, tapi sayangnya kedua tangan kurus milik wanita itu dicengkeram erat oleh Bang Tama. “Edo! Apa-apaan kamu, Nak? Ya Allah, kena
BAGIAN 72RENCANA BANG TAMA “Riri, kamu udah sadar?” Sebuah suara membuat kelopakku perlahan semakin membuka lebar. Samar-samar kutatap perempuan tua yang mengenakan jilbab kaus warna hitam yang senada dengan daster lengan panjangnya. Mama. Sosok itu tampak begitu cemas memandangiku. Entah di mana aku sekarang. Saat kulihat ke sekeliling, kamar ini sangat asing di mata. “I-iya … mana Mbak Sherly?” desahku lirih pada Mama. Wanita yang duduk di sampingku itu kini menggenggam jemariku. Erat. Matanya berkaca-kaca. Ekspresinya sedih luar biasa. Aku masih bertanya-tanya. Ada apakah gerangan? Masihkah keributan itu terjadi? “Mer
BAGIAN 73CHRIS DAN IDE-IDENYA “Serahkan semuanya padaku, Ri. Urusan kalian bertiga kupastikan berjalan dengan lancar. Sesuai keinginan.” Chris mengedipkan sebelah kelopaknya. Pria beriris cokelat itu lalu melengkungkan senyuman elegan khasnya. Aku yang memandang seketika larut dalam sebuah euforia. Astaga, apa aku sudah terlalu berlebihan? Sempat-sempatnya di saat seperti ini masih saja bisa tersipu gara-gara melihat Chris senyum. “Makasih, Chris. Aku nggak tahu harus membalas kebaikanmu dengan apa.” Aku berucap dengan perasaan yang buncah. Betapa tidak. Chris tak hanya bersedia untuk membereskan masalahku, tetapi juga urusan Bang Tama dan Mbak Sherly. Dia bersama tim menyanggupi untuk menjadi kuasa hukum kami bertiga sekaligus. Awalnya, Chris tak ingin d
BAGIAN 74KRITIK PEDAS “Terima kasih ya, Chris. Jasa-jasamu tidak akan bisa kulupakan,” ucapku pada Chris. Aku tanpa sengaja telah mengulaskan sebuah senyuman manis. Entah mengapa, wajah putih milik Chris malah berubah kemerahan. Bola mata cokelatnya pun mengerling, menjauh dari menatapku. Aku tiba-tiba terkesiap. Apakah sikapku barusan telah membuatnya malu-malu? Argh, sial, sekarang malahan aku yang balik malu sekaligus deg-degan luar biasa. Please, jangan GR, Ri. Ingat, statusmu masih istri sah Mas Hendra! “Umm, kalian mau tambah minuman lagi?” tanya Chris mengalihkan pembicaraan. “Nggak usah,” jawabku cepat. “Sudah cukup,” timpal Mbak Sherly.
BAGIAN 75TANGISAN MISTERIUS Saat tiba di mobil, aku masih saja diam membisu. Kata-kata Mbak Sherly benar-benar sanggup menusuk jantungku. Serasa aku telah dipermalukan olehnya. Padahal, apa yang terjadi juga bukan keinginanku. Hanya sebuah reflek. Kalau diraba ke relung hati pun, aku juga tak yakin apakah aku benar menaruh hati padanya atau tidak. Mungkin, sikapku kepada Chris bisa begitu hanya karena buah dari hati yang selama ini tandus sebab sikap Mas Hendra. Lelaki itu memang sibuk luar biasa. Yang bikin makin kecewa hingga sekarang adalah pengkhianatan-pengkhianatan yang diam-diam dia lakukan padaku. “Ri, kamu kenapa diam saja?” tegur Mbak Sherly saat aku menyalakan mesin. “Nggak.” Kujawab singkat. Tanpa sadar, nadaku terdengar agak ketus di telinga