BAGIAN 77
MIMPI BURUK
“E-eh, m-mau kok, Pak,” jawabku buru-buru. Aku sampai harus tahan napas segala tadi. Baru bisa kuembuskan dengan agak berat setelah selesai mengucap kalimat barusan. Huhft, mengapa aku jadi segugup ini?
“Nah, gitu, dong.” Terdengar suara dengan nada bahagia di ujung sana. Aku bahkan sampai bisa membayangkan seperti apa raut wajah Pak Dayu yang tengah semringah. Ya ampun, kenapa bulu kudukku jadi merinding? Bukan senang, aku malah takut sendiri.
“M-maaf, Pak. Kira-kira, tujuannya untuk apa?” tanyaku hati-hati. Degupan jantungku sangat keras, bersamaan dengan luruhnya keringat di pelipis. Aku luar biasa deg-degan. Otak sudah bekerja sekeras mungkin. Memikirkan kira-kira apa tujuan Pak Dayu mempertemukanku dengan sang mami. M
BAGIAN 78SENGIT “Ri.” Suara panggilan itu datang bersamaan dengan tepukan di pundak. Aku yang baru saja mengakhiri percakapan dengan Pak Dayu, tentu terkejut. Sontak kulihat ke belakang. Mbak Sherly bersama dua buah tas di pundak lalu menatapku heran. “Kenapa mukamu cemberut begitu?” tanyanya. “Nggak apa-apa.” Kujawab dengan tak berselera. Hatiku masih panas. Tadi saat menutup telepon pun, amarah yang tertahan ini rasanya masih saja bergejolak hebat di dada. Kurang ajar memang kata-kata Pak Dayu. Kalimat tajam bin pedas miliknya sangat berhasil menghancurkan mood-ku siang ini. “Lama banget teleponan sama Nadia?” Sorot mata Mbak Sherly menyelidik. Tatapan itu seperti ingi
BAGIAN 79MENGUAK FAKTA “Maksudmu apa? Begini cara ibumu mendidik?” Sambungan telepon langsung dimatikan. Dasar anak nakal! Sekurang ajar itu dia pada tantenya sendiri. Kuliah jauh-jauh sampai ke kota pelajar sana, nyatanya tak sama sekali membuat Dimas jadi terpelajar. Awas saja, pikirku. Akan kuadukan semua tingkah lakunya siang ini pada Bang Tama. Lihat saja. “Dimas memang kurang ajar!” makiku seraya meremas ponsel. “Kenapa lagi, sih, Ri? Kayanya hari ini yang nelepon kamu orangnya pada nggak beres semua!” “Aku juga heran, Mbak. Ini Dimas malah tiba-tiba telepon. Nanyain ayahnya segala. Malah aku dibilang ngintili
BAGIAN 80AZAB “Dimas, Dito, setelah melihat semuanya dengan mata kepala kalian sendiri, masih juga mau menyalahkan Tante Riri dan Oma?” Bang Tama bertanya dengan suara yang dingin. Kalimat itu seperti ujung mata pisau yang tajam. Bukan ditujukan padaku, tapi bisa kurasakan betapa tajam dan menusuknya. Namun, anak-anak Bang Tama malah semakin bungkam. Tak ada sepatah kata pun meluncur dari bibir yang semula begitu sinis menari di hadapanku. Mereka seolah bertransformasi menjadi batu yang tak memiliki nyawa. Mematung diam dengan kepala yang masih tertunduk dalam. Mereka pasti merasa malu luar biasa. Dikiranya, aku hanya diam saja atas perlakuan mereka padaku? Maaf, Dimas dan Dito, meski aku tante kalian, tapi aku juga berhak untuk mengadukan sikap nakal tersebut kepada Bang Tama!&
BAGIAN 81KELUARGA YANG HANCUR “H-halo, ini Dimas? Dim, gimana, Nak perjalanannya?” Indri malah terdengar membelokkan percakapan. Perempuan tidak waras, pikirku. Bisa-bisanya dia belaga pilon setelah suara lelaki asing itu menyeruak sampai sini. “Bu, jawab pertanyaanku tadi! Siapa yang barusan ngomong?” “Apaan sih, Dim? Kalian hanya salah dengar! Ibu sendirian di dapur nenekmu. Nggak ada siapa-siapa!” Indri malah terdengar berang di seberang sana. Dia tampaknya tak ingin disalahkan. Sinting! Sudah tertangkap basah, masih saja menghindar. Dia kira, kedua anak lelakinya itu idiot. Mereka pasti sudah berpikir bahwa lelaki yang tadi berbicara lirih adalah simpanan ibunya. Mampus kamu, In! 
BAGIAN 82EVA “Riri, gimana kabarmu? Hari ini kamu nggak ngasih kabar ke aku.” Bawel celoteh Eva terngiang di telinga. Membuat santai malamku di teras depan semakin terasa hidup. Aku yang sedang menyeruput segelas kopi panas bikinan Mbak Sherly, tentu saja langsung tambah bahagia kala sahabat kentalku itu menelepon. Aku rasanya juga sudah sangat kangen pada Eva. Tak sabar hari Senin nanti bertemu dengannya di kantor. “Baik. Kamu sendiri gimana, Va? Sorry, hari ini lagi-lagi jadwalku padat. Ngurus berkas ke pengadilan agama, terus jemput keponakan-keponakanku di bandara. Kamu pasti mau ngegosip, ya?” Pancingku. Untungnya, aku sedang sendirian di teras depan sini. Sasya dan Carissa sudah tidur di kamar Mama. Sedang Mbak Sherly dan Mama sendiri ada di ruang televisi. Bang Tama dan kedua orang anaknya kini di rumah sebel
BAGIAN 83POV PAK DAYUMAAF ATAS RENCANAKU “Mi, aku janji, secepat mungkin kita akan cangkok ginjal lagi. Mami harus semangat, ya.” Kugenggam tangan Mami dengan sangat erat. Wanita 68 tahun bertubuh kurus dengan rambut berpotongan bob yang helai demi helainya telah penuh dengan uban itu tersenyum kecil. Mami tak lagi segar bugar seperti dulu kala. Gagal ginjal kronis yang telah dia alami selama tujuh tahun belakangan sempurna mengubah hidupnya yang semula bergairah. “Sudahlah, Dayu. Mami sudah hampir 70 tahun. Apa yang kamu harapkan dari lansia tidak berguna ini?” Tangan kanan kurusnya menyentuh pipiku. Kutatap dalam ke arah wajah Mami. Namun, yang muncul di bola mataku malah selang-selang yang terpasang di lengan kirinya. Selang-selang yang mengalirkan darah dari tubuh Mami ke mesin hemodialisa itu membuatku
BAGIAN 84PRIA ITU SANGAT MENCURIGAKAN Pukul sembilan pagi Chris menjemput ke rumah Mama. Pria perlente yang hari ini tumben-tumbennya mengenakan kaus putih berkerah dengan motif garis-garis biru navy di bagian dada plus celana jins ¾ itu tak hanya membawa tangan kosong. Banyak sekali oleh-oleh yang dia bawa. Chris membawakan sekotak bolen pisang cokelat, sekotak brownies panggang, dan sekotaknya lagi lapis roll Surabaya. Tiga jenis panganan manis itu kesemuanya masih teraba hangat olehku. Repot-repot sekali dia. “Kita ke rumah keluarganya Wahyu, seperti janji kemarin.” Begitu alasannya. Aku yang agak meragu terhadap Pak Dayu maupun Chris rasanya antara mau dan enggan menuruti keinginan pria blasteran tersebut. Ha
BAGIAN 85PANTI ASUHAN DAN WAJAH LEBAM Sepanjang sisa perjalanan, aku hanya sanggup bungkam. Tak ada lagi kalimat yang mampu kuucapkan. Tinggal tersisa sebuah kecemasan yang menyesakkan dada. Chris pun setali tiga uang. Melihatku termenung diam, dia tak sedikit pun memancing percakapan kembali. Derai tawanya lenyap ditelan permainan saxophone oleh Kenny G yang menemani perjalanan kami. Tibalah aku dan Chris di halaman rumah orangtua Wahyu. Terasnya tampak sepi. Pintu pun tertutup rapat. Jantungku jadi deg-degan sendiri kala harus turun dari mobil. Bersitegang yang sempat mewarnai perjumpaanku dengan Bu Laras tempo lalu, membuat begitu canggung apabila harus kembali bertemu.&nbs