BAGIAN 83
POV PAK DAYU
MAAF ATAS RENCANAKU
“Mi, aku janji, secepat mungkin kita akan cangkok ginjal lagi. Mami harus semangat, ya.” Kugenggam tangan Mami dengan sangat erat. Wanita 68 tahun bertubuh kurus dengan rambut berpotongan bob yang helai demi helainya telah penuh dengan uban itu tersenyum kecil. Mami tak lagi segar bugar seperti dulu kala. Gagal ginjal kronis yang telah dia alami selama tujuh tahun belakangan sempurna mengubah hidupnya yang semula bergairah.
“Sudahlah, Dayu. Mami sudah hampir 70 tahun. Apa yang kamu harapkan dari lansia tidak berguna ini?” Tangan kanan kurusnya menyentuh pipiku. Kutatap dalam ke arah wajah Mami. Namun, yang muncul di bola mataku malah selang-selang yang terpasang di lengan kirinya. Selang-selang yang mengalirkan darah dari tubuh Mami ke mesin hemodialisa itu membuatku
BAGIAN 84PRIA ITU SANGAT MENCURIGAKAN Pukul sembilan pagi Chris menjemput ke rumah Mama. Pria perlente yang hari ini tumben-tumbennya mengenakan kaus putih berkerah dengan motif garis-garis biru navy di bagian dada plus celana jins ¾ itu tak hanya membawa tangan kosong. Banyak sekali oleh-oleh yang dia bawa. Chris membawakan sekotak bolen pisang cokelat, sekotak brownies panggang, dan sekotaknya lagi lapis roll Surabaya. Tiga jenis panganan manis itu kesemuanya masih teraba hangat olehku. Repot-repot sekali dia. “Kita ke rumah keluarganya Wahyu, seperti janji kemarin.” Begitu alasannya. Aku yang agak meragu terhadap Pak Dayu maupun Chris rasanya antara mau dan enggan menuruti keinginan pria blasteran tersebut. Ha
BAGIAN 85PANTI ASUHAN DAN WAJAH LEBAM Sepanjang sisa perjalanan, aku hanya sanggup bungkam. Tak ada lagi kalimat yang mampu kuucapkan. Tinggal tersisa sebuah kecemasan yang menyesakkan dada. Chris pun setali tiga uang. Melihatku termenung diam, dia tak sedikit pun memancing percakapan kembali. Derai tawanya lenyap ditelan permainan saxophone oleh Kenny G yang menemani perjalanan kami. Tibalah aku dan Chris di halaman rumah orangtua Wahyu. Terasnya tampak sepi. Pintu pun tertutup rapat. Jantungku jadi deg-degan sendiri kala harus turun dari mobil. Bersitegang yang sempat mewarnai perjumpaanku dengan Bu Laras tempo lalu, membuat begitu canggung apabila harus kembali bertemu.&nbs
BAGIAN 86DIA MERELAKAN SEGALANYA “Kedatangan kami ke sini, murni untuk silaturahmi dan meminta maaf atas kejadian yang telah membuat hubungan keluarga ini renggang.” Perkataan Chris sungguh membuat kedua pipiku panas sebab merasa malu. Aku hanya bisa tertunduk di hadapan Bu Laras dan Ridwan yang masih saja terlihat angkuh. Tangis penyesalah Pak Bidin yang sudah meledak sejak awal kedatangan kami ke sini pun, seolah tiada artinya buat mereka. “Sebaiknya kalian tidak perlu repot-repot begini. Kami tahu apa yang harus kami lakukan!” seru Ridwan dengan suara yang sengak. Pak Bidin yang duduk di sampingku hanya bisa tergugu. Beliau masih menangkupi wajah tuanya dengan telapak tangan. Sungguh, aku ta
BAGIAN 87PERTEMUAN DENGAN MAMI “Riri! Ini kamu?” Eva bersorak heboh. Matanya membelalak lebar saat menjumpaiku di depan ambang pintu rumahnya. Cewek 31 tahun yang tubuhnya makin tambun itu menatapku dengan ekspresi yang tak percaya. “Lebay, ih!” ucapku sambil menerobos masuk. Buru-buru aku duduk di sofa ruang tamunya. Celingak-celinguk mencari keberadaan Tante Rina, mamanya Eva. Beliau paling heboh kalau aku bertandang ke sini. Baru di depan pintu saja biasanya sudah menawarkan brownies atau bolu kukus buatannya. Tumben sekali keadaan rumah Eva yang cukup besar ini lengang. “Mana Tante?” tanyaku seraya melempar pandang ke Eva.&
BAGIAN 88MENCEKAM “Selamat datang.” Senyum pria gemuk dengan kepala depan yang semakin terlihat botak itu terulas lebar. Wajahnya tenang. Pembawaannya kalem. Dia sendiri yang membukakan kami pintu. Tak ada tanda-tanda bahwa pria itu akan menyeringai garang sebab marah. Namun, aku masih saja deg-degan luar biasa. “M-maaf, kami terlambat, Pak.” Suara Eva terdengar gemetar. Wanita itu yang maju menjadi tameng. Sementara itu, aku hanya bisa mematung di sampingnya. Sedikit bersembunyi di balik tubuh tambun milik Eva yang sekilas terlihat gemetar. Jangan bilang kalau aku tak takut sepertinya. Sama! Bahkan degupan jantung ini sudah seperti tabuhan genderang perang yang bertalu-talu. Semoga aku tak pingsan di sini, benakku. “Santai saja. Silakan masuk. Lang
BAGIAN 89TETES AIR MATA Salat Magrib kali ini begitu berkesan bagiku. Untuk kali pertamanya, aku melaksanakan salat berjamaah dengan Pak Dayu sebagai imam. Keteganganku perlahan luruh tatkala suara merdu duda dengan satu anak itu melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Bacaannya bukan sekadar surat-surat pendek seperti Alikhlas, Alfalaq, atau Annas. Beliau membaca surat Albaqarah ayat 1-10 di rakaat pertama dan surat Almulk ayat 1-30 di rakaat kedua. Yang membuatku semakin tenang di sini adalah kehadiran Mami Yani yang turut salat berjamaah meskipun harus duduk di atas kursi rodanya. Beliau terlihat sangat saleh sekaligus baik hati. Rasa-rasanya, seperti tak mungkin apabila lansia ini memiliki sebuah niat jahat kepadaku. Selesai salat, Pak Dayu lagi yang memimpin doa. Pria yang semp
BAGIAN 90KEJUJURAN ITU MENYAKITKAN “Jangan hanya diam saja, Dayu. Cepat katakan semuanya kepada Riri. Akui semua yang telah kamu rencanakan diam-diam selama ini!” Mami Yani memukul lengan Pak Dayu, membuat pria itu tersentak dari lamunannya. Atasanku itu terlihat gelagapan. Tampak takut-takut memperhatikan ke arahku. “Riri … aku minta maaf,” ujar Pak Dayu pelan. “Untuk?” sahutku kebingungan. “Sebenarnya … selama ini ….” “Jangan bertele-tele! Cepat katakan saja, Dayu! Kamu harus jujur dan mau mengakui niat jahatmu!” Perkataan Mami telak membuatku semakin kaget. Syok bercampur de
BAGIAN91MAMI, PAKDIR, DAN SEGALA MISTERI “Dayu, jangan teriak-teriak begitu! Bikin Mami kaget aja!” Mami Yani menatap anaknya dengan galak. Beliau lalu mengusap-usap dada, kemudian melempar pandangan lagi ke arahku. Matanya mengerjap penuh harap. “Gimana, Ri?” Mami bertanya lagi. Kali ini dia genggam erat jemariku. Senyumnya mengembang seperti seorang yang sedang menggantungkan asa. Aku tersenyum kecil. Tangan kiriku langsung mengusap pundak Mami. “Berproses, Mi,” ujarku lirih. Padahal, dalam hati aku rasanya ingin menjerit. No way! Aku benci pada Pak Dayu. Kalau bisa memilih, aku ingin menjauh dari pria licik itu. Jangankan menikah dengannya, untuk menatap wajahnya berlama-lama pun aku sudah ogah.&n