BAGIAN 90
KEJUJURAN ITU MENYAKITKAN
“Jangan hanya diam saja, Dayu. Cepat katakan semuanya kepada Riri. Akui semua yang telah kamu rencanakan diam-diam selama ini!” Mami Yani memukul lengan Pak Dayu, membuat pria itu tersentak dari lamunannya. Atasanku itu terlihat gelagapan. Tampak takut-takut memperhatikan ke arahku.
“Riri … aku minta maaf,” ujar Pak Dayu pelan.
“Untuk?” sahutku kebingungan.
“Sebenarnya … selama ini ….”
“Jangan bertele-tele! Cepat katakan saja, Dayu! Kamu harus jujur dan mau mengakui niat jahatmu!” Perkataan Mami telak membuatku semakin kaget. Syok bercampur de
BAGIAN91MAMI, PAKDIR, DAN SEGALA MISTERI “Dayu, jangan teriak-teriak begitu! Bikin Mami kaget aja!” Mami Yani menatap anaknya dengan galak. Beliau lalu mengusap-usap dada, kemudian melempar pandangan lagi ke arahku. Matanya mengerjap penuh harap. “Gimana, Ri?” Mami bertanya lagi. Kali ini dia genggam erat jemariku. Senyumnya mengembang seperti seorang yang sedang menggantungkan asa. Aku tersenyum kecil. Tangan kiriku langsung mengusap pundak Mami. “Berproses, Mi,” ujarku lirih. Padahal, dalam hati aku rasanya ingin menjerit. No way! Aku benci pada Pak Dayu. Kalau bisa memilih, aku ingin menjauh dari pria licik itu. Jangankan menikah dengannya, untuk menatap wajahnya berlama-lama pun aku sudah ogah.&n
BAGIAN 92MAAF DARINYA “Ri … aku minta maaf. Beneran minta maaf,” ucap Eva dengan suara yang gemetar sekaligus serak. Aku hanya diam. Fokus menyetir meski hatiku terasa begitu pilu. Tak kusangka, Eva begitu orangnya. Seharusnya, jika ada apa-apa baiknya dia bicara langsung padaku. Mengapa harus menyembunyikannya? Jadi, maksudnya dia bekerjasama untuk mencelakaiku, begitu? “Pak Dayu mengancamku ….” “Oh, jadi kamu pengen menyelamatkan diri sendiri? Dengan cara menumbalkanku?” “Nggak, Ri. Demi Tuhan, aku nggak bermaksud begitu. Pak Dayu minta kepadaku supaya kamu bisa semakin dekat dengannya. Minta aku sup
BAGIAN93MUNCUL LAGI DAN LAGI Pukul 22.35 malam aku tiba di rumah Mama dalam kondisi yang lumayan ngantuk. Saat masuk ke kamar pun, ternyata Mama dan anakku sudah terlelap pulas di peraduan. Kini, tinggal aku sendirian dengan kagalauan yang masih bercokol di dada. Kuputuskan untuk rehat sejenak di ruang televisi. Duduk selonjoran di atas karpet seraya bersandar di dinding. Kubuka pasmina yang kukenakan dan seketika aku merasa lega luar biasa. Ternyata, aku masih belum terbiasa memakai hijab dalam waktu yang lama. Aku masih harus membiasakan diri, pikirku. Saat mengeluarkan ponsel dari dalam tas, aku setengah kaget melihat pesan masuk di layar. Ponsel memang tadinya kuatur ke mode senyap. Tak ada getar maupun dering sebagai tanda bahwa ada notifikasi.&nbs
BAGIAN94KEHADIRAN YANG TAK DISANGKA “Pertanyaanku konyol, ya?” Ungkapan itu malah membuatku semakin merasa geli pada Pak Dayu. Laki-laki tua ini kenapa, sih? “Eh, nggak, Pak. Aku nggak suka sama Chris,” jawabku to the point. Daripada jadi terlalu panjang pembahasannya. “Oke kalau begitu. Ya, sudah. Istirahat sana. Sudah terlalu larut.” Aku lega. Akhirnya, tiba juga waktu itu. Aku sudah tak sabaran lagi menanti kapan Pak Dayu memutuskan sambungan telepon. “Baik, Pak. Terima kasih,” ucapku lega. “Sama-sama. Besok Minggu mau ke mana?”
BAGIAN95AZAB UNTUK LELAKI IBLIS Kehadiran Chris di tengah-tengah keluarga besarku membuat aku sedikit banyak merasa risih. Bukan apa-apa. Para ibu-ibu yang tak lain adalah keluarga dekat Mama maupun Papa yang mulai berdatangan untuk ikut serta mempersiapkan acara besok, mulai meledek-ledek. Kupingku panas mendengarnya. Meski hanya sekadar olok-olok, tapi membuatku rada takut. Bukankah ini bakal menjadi gosip di luaran sana? Huh, sungguh menyebalkan! “Ri, orangnya ganteng banget. Itu kamu nemu di mana?” Bulek Lasmi mulai berkomentar. Perempuan 56 tahun itu mengerling sambil senyum-senyum. Tangan keriputnya memang lincah mengupas berkilo-kilo bawang putih, tetapi semangatnya untuk berghibah tetap jalan terus. Aku yang sed
BAGIAN96KUTUKAN “Mas Hendra!” Aku memekik keras kala menyibak tirai bilik di mana suamiku terbaring lemah. Pria yang memakai selang oksigen dan alat pendeteksi oksigen dalam darah yang dijepit pada jempol kanannya tersebut terlihat memejamkan mata. Tangan kanan dan kirinya sama-sama terpasang infuse. Aku sampai dibuat kaget karena bagiku ini adalah pemandangan yang tak biasa. “Bagaimana kondisinya, Dok?” tanyaku pada seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa Mas Hendra. Pria bertubuh sedang dengan kulit sawo matang itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. “Kondisi Pak Hendra masih belum stabil. Demamnya sudah turun, tetapi infusnya masih harus dipasang dua jalur. Apakah Ibu istrinya?” Pria berjas putih dengan k
BAGIAN97TERNYATA …. “Mas, kamu udah sadar?” tanyaku dengan ekspresi agak terkejut saat melihat Mas Hendra yang terkulai di atas tempat tidur ruangan ICU, mulai membuka kelopak matanya. Pria yang dipasang alat bantu napas berupa selang dengan aliran oksigen murni tersebut menatap lemah ke arahku. Kulitnya kelihatan pucat. Tubuhnya begitu kurus kering, padahal belum seminggu dia meringkuk dalam penjara. “R-ri ….” Pria yang berbaring di tempat tidur paling pojok sebelah kanan di mana ada empat tempat tidur lainnya berjejer di sebelah kiriku sana, mulai memanggil namaku dengan terbata. Sejuknya ruang ICU ditambah mencekamnya suara-suara alat bantu kehidupan itu sempurna membuat bulu tengkuk merinding. Terlebih, saat suara lirih Mas Hendra terdengar menyayat pilu telingaku.&n
BAGIAN98SIMALAKAMA “Bagaimana hasilnya?” Chris cukup membuatku terkejut. Pria itu tiba-tiba saja muncul di depan pintu ICU saat aku baru saja melangkahkan kaki keluar. Wajahnya kelihatan sangat penasaran. Kutak sangka, ternyata dia begitu penasaran dengan kabar mengenai hasil lab Mas Hendra. Aku tak langsung menjawab. Kupilih buat menutup pintu ICU terlebih dahulu, lalu berjalan mendahului Chris. Pria itu cepat mengejar langkahku yang agak terburu. “Cepet banget jalannya,” keluh Chris. “Biar cepat pulang,” desisku. Aku sudah ngebet ingin sampai rumah rasanya. Selain lelah, tak enak juga meninggalkan keluargaku begitu saja. Mama pastinya selain menanti, juga mengkhawatirkan keadaanku