POV RafiAku seorang pria biasa yang hidup sederhana, bersama Mama, dan dua orang kakak perempuan. Ayahku telah lama tiada karena sakit jantung yang menyerangnya kala itu. Aku acapkali dijodohkan oleh keluargaku dengan wanita pilihan Mama dan kedua kakakku. Namun aku bersikeras menolak, karena tak ada satupun yang kurasakan cocok denganku.Tak ingin menjadi pemuda beban keluarga, ku putuskan untuk bekerja. Aku melamar kerja di sebuah perusahaan bonafit. Disana hanya sepuluh orang saja yang lulus dari ratusan pelamar. Kebetulan bagian yang aku kuasai dan paling handal adalah bidang promosi, mungkin karena itulah aku terpilih. Karena aku sangat menguasai bidang promosi barang dan jasa.Di perusahaan itu, aku mengenal sosok wanita cantik, ramah dan baik. Tentu pula cerdas. Ia mempunyai keahlian dibidang analisa produk, keuangan dan lain-lain. Wajar saja ia mendapat posisi yang bagus pula di perusahaan tempat kami sama-sama bekerja. Wanita itu bernama Fi
“Halo, Raf! kamu dimana sih? Kok gak datang-datang! Ini Mama kamu marah-marahin aku di ruangan kerja! Kamu kesini deh, beresin Mama kamu ini! Buruan! Halo? Halo!” Klik. Kuakhiri panggilannya.“Dek, panggilan dari siapa?” Bang Rafi tiba-tiba sudah berdiri depan pintu kamar tamu.“Dari kantormu,” kuletakkan kembali gawai suamiku itu diatas nakas.Aku lalu kembali ke ruang kerjaku. Entah apa yang akan kulakukan aku tak tahu. Hanya ingin menghindari Bang Rafi mengajak bicara.Tampak sesekali Bang Rafi menoleh kearah ruang kerjaku. Ia terlihat panik sambil memegang benda pipih itu. Terlihat olehku pula, ia sedang megirim pesan dengan tergesa-gesa. Lalu pergi kekamar mandi. Sudah kupastikan pasti ia tak nyaman dengan panggilan yang kuterima dari Atika barusan.Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk kegawaiku. Kuperiksa segera mana tahu dari Sisil soal kerjaan kemarin.“Fiza, setelah Rafi berangkat kerja, kamu ikut
KEMELUT HATI FIZASetelah sekian lama aku selalu sabar dan tak sekalipun melawan pada keluarga Bang Rafi yang suka seenaknya berbuat padaku dahulu, kali ini aku harus bisa bersikap. Bukan terhadap Mba Zara ataupun Mba Tia yang dulu aku lakukan, tetapi kepada Bang Rafi. Suamiku.Aku masih belum memahami secara utuh apa yang ada dalam hatiku. Sakit? Tentu. Hati istri mana yang tak sakit melihat suaminya bermain api di belakangnya? Berubah menjadi orang yang berbeda dari biasanya. Bang Rafi yang dulu tak pernah bermain-main api dibelakangku, kini ia sudah mulai berani menunjukkan sikapnya itu.Memang belum ada bukti valid akan dugaanku itu. Walau hanya sekedar sebatas rekan kerja, aku tau persis Atika itu pasti bakal berbuat macam-macam terhadap suamiku. “Kalau dulu kita jadi menikah, mungkin ceritanya tidak begini ya, Raf?”Kalimat Atika saat itu terngiang dibenakku. Apa benar, disaat seperti sekarang ini wanita itu mulai menyukai Ba
POV Mama MertuaSebagai orangtua, aku bisa dikatakan kurang mampu mendidik ketiga anak-anakku. Terutama Zara dan Tia. Mereka berdua ini, entahlah dari mana bisa berkelakuan sangat buruk. Aku sampai-sampai ikut arus dengan mereka berdua yang selalu mengatakan Fiza, mantuku, adalah sosok mantu yang tak mandiri. Bahkan kata Tia, Fiza hanya bisa menghabiskan uang anakku saja, yaitu Rafi.Jika untuk urusan makan anak istri, tak apalah Rafi harus mengeluarkan uang. Tapi jika meminta uang untuk berobat Putra cucuku yang sakit, hingga mencapai puluhan juta, aku tak terima. Karena kata Zara, Fiza hendak meminjam uangnya yang akan dipakai untuk acara ulang tahun cucuku Kiya. Makanya aku ikut tak menyukai Fiza saat itu. Bahkan sering tak kuanggap sebagai bagian dari keluarga.Ternyata aku salah, semua yang Zara dan Tia bilang adalah kepalsuan belaka. Aku baru tersadarkan ketika kedua anak perempuanku itu tak ada yang mau merawatku yang sering sakit-sakitan.
Aku tahu jika Bang Rafi pastinya kebingungan dengan sikapku, yang meminta ia untuk memilih. Aku melakukan itu adalah untuk memastikan semuanya memang tidak ada apa-apa. Tapi itu jika Bang Rafinya mau jujur dan terbuka padaku.Ketika ia memilih jujur untuk hal-hal aneh yang ia sembunyikan dariku, kurasa aku bisa legowo apapun kejadiannya. Namun jika Bang Rafi hanya memilih bungkam, itu artinya memang ada sesuatu yang tak ingin aku ketahui darinya.Aku memilih pergi dari sini bukan karena aku tak mencintai suamiku, justru itu adalah cara agar ia dengan hati lapang bercerita semuanya. Tapi jika malah ia tak melarangku pula pergi dari sini, hanya karena bisnis yang ia rintis baru seumur jagung, itu artinya suamiku itu rasa egonya memang masih tinggi.Tak mengapa, aku ingin lihat sejauh mana dia tanpaku. Bukannya aku sombong. Tapi setidaknya ia menghargai semua yang kulakukan selama ini bukan untuk saling tinggi-tinggian ego, tapi karena kami pasangan suam
“Oh … jadi, semua ini rencana kamu, Bang? Sengaja gitu, suruh kakak kamu tinggal disini tanpa sepengetahuan ku?” “Halah, sudahlah Fiza. Jangan tanyain soalan itu lagi! Pokoknya, Mba Tia seminggu disini, seminggu disitu, titik!”“Maaf Bang, kau tau sendiri kan kalau Mba Tia itu tak suka padaku? Jadi sebaiknya dia ikut Abang, bukan bersamaku!”Tut! Langsung aku matikan panggilan Bang Rafi. Benar-benar egois! Aku sudah tak bisa menolerir kemauan suamiku itu. Mengapa Bang Rafi jadi begini, sih? Apa yang dia inginkan sebenarnya?*** Hari ini aku akan ngantor. Karena Sisil sudah mulai menyuruhku untuk aktif kembali. Waktu tetap fleksibel, jadi anak-anak masih bisa aku jemput selepas pulang dari bekerja, atau Pak Didin yang menjemput jika aku ada kerjaan yang menyita waktu.“Welcome home!” Sisil menyambutku dengan pelukan hangat.“Makasih …” Aku tersenyum bahagia menyambut pelukan Sisil yang begitu hangat.
[Aneh kamu itu, Raf! Suka hati Mba, lah, mau kasih siapa aja. Bener kata Tia, jangan ngeribetin orang yang mau kirim makanan!] tulis Mba Zara pula, menanggapi.Memang secara tak langsung, chat Mba Tia ada benarnya. Mengapa juga harus menghalangi Mba Zara? Ini! Ini, yang menurutku aneh. Tapi Bang Rafi tak ingin dibilang dia itu ada masalah penyakit hati apa denganku jika minum kopi? Ah, sudahlah. Mungkin benar kata Sisil, suamiku itu kena syndrome paranoid kopi berlebihan.[Ya udah, Mba. Kirim ya? Kopi yang kayak Fiza ama cemilan! Oke Mba, aku tunggu!] balas Mba Tia yang benar-benar mengharapkan pemberian Mba Zara.[Kalo yang kayak Fiza ya gak bisa, Tia. Kedainya hanya ada disini. Kejauhan ngirim kesana. Aku kirim kopi yang lain, pesen yang dekat dengan rumah sana. Sekalian makanan buat Mama juga. Udah ya, jangan protes,] tulis Mba Zara lagi.[Makanya Mba Tia kerja lah! Biar bisa beli sendiri kalau mau apa-apa. Bikin repot kakak dan adeknya aj
“Mana liat sini potonya sih? Aku makin penasaran deh!” kataku lagi dengan sedikit memaksa, sambil mengguncang lengan Sisil.“Kau tak kan kenal sama dia, Sist. Dia itu jarang pulang ke Indonesia. Hanya adiknya saja yang udah pulang ke tanah air dalam tahun ini.”“Kok bisa? Jangan bilang gak cinta tanah air ya! Mana sini, coba liat potonya, warga pribumi gak mau balik itu tampangnya kek gimana sih!” cecarku makin penasaran.“Bentar. Dih nih anak kayak dia aja yang mau nikah! Aku aja biasa-biasa saja ngeliatnya. Cuma karena kata Mamaku, anaknya ini memang mau nyari orang Indo juga, baru deh balik tanah air. Dan Papanya langsung nawarin ke Papaku. Oke sih anaknya, baik, tapi usianya lebih tua dia empat tahun.”“Udah ah, mana sini liat potonya!” desakku lagi pada Sisil, yang pada akhirnya ia buka juga gallery di gawainya itu.Sisil memperlihatkan poto calon suaminya itu, aku memperhatikannya dengan seksama. Cakep, dan wajahnya sangat ber