Share

8. Dua Kali Lipat Sakitnya

Tisu di mobil Javas hampir habis. Kavia terus menggunakan itu untuk menyeka pipinya yang terus saja basah. Setelah meninggalkan restoran, dadanya yang terasa sesak meledak. Dia tidak tahan dan menangis kencang di dalam mobil. Memaki dengan berbagai macam umpatan. Rasa sakit itu bukannya hilang malah bertambah parah.

"Sebenarnya apa yang kamu tangisi? Kamu sudah berhasil membuat mereka bungkam," ujar Javas sambil fokus ke jalan raya yang terpantau ramai lancar.

"Aku, aku cuma nggak nyangka aja. Ternyata orang yang selama ini kuanggap teman baik, menyimpan benci sebegitu dalam. Aku pikir selama ini dia tulus. Sumpah, ini sakit banget." Kembali air mata Kavia menderas. "Jadi semua yang dia tunjukkan selama ini palsu. Aku bingung, sebagai teman aku berusaha bersikap baik, tapi ternyata dia menilai lain."

Javas membelokkan kemudi memasuki sebuah gerbang kawasan perumahan elit dalam kota. Begitu melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh dua sekuriti, pemandangan sekitar berubah menjadi lebih asri. Wilayah asri dengan pedestrian itu adalah arah menuju rumah Javas.

"Itu hal yang lumrah."

"Lumrah bagaimana? Aku sama Jemma sudah berteman sejak kami masih duduk di bangku sekolah. Aku bisa bertahan dengannya karena kupikir pertemanan yang dia tawarkan itu tulus. Kalau aku terlahir punya segalanya, memang itu salahku? Kenapa dia bisa sebenci itu?"

Bukan seperti perumahan pada umumnya yang memiliki kavling berdempetan, di kawasan ini rumah-rumahnya berjarak. Bangunanya bahkan ada yang memiliki empat lantai. Javas membelokkan kemudi ke kiri sebelum akhirnya mobilnya berhenti di depan sebuah pintu gerbang besi yang tertutup rapat. Pintu itu terbuka otomatis ketika dia membunyikan klakson.

"Itu namanya iri, dengki. Dia pasti sering gibahin kamu di belakang. Kamu nggak perlu membuang air mata buat teman seperti itu. Air matamu terlalu berharga." Javas menghentikan mobilnya di carport sebuah modern house dengan dominan warna gelap dan cokelat serta turunannya. Begitu menekan tombol rem dan mematikan mesin mobil, dia menoleh. "Yuk, turun."

"Ini di mana?" tanya Kavia celingukan, dia tidak menyadari ke mana Javas membawanya pergi.

"My home," sahut Javas seraya membuka pintu mobil. Kavia pun melakukan hal sama.

Wanita berambut cokelat itu mengedarkan pandang ke sekitar begitu turun. Rapi. Taman di halaman rumah ini rapi untuk ukuran penghuni seorang pria. Javas mengajaknya memasuki rumah dengan pintu ganda minimalis itu. Tidak sebesar rumah papi, tapi Kavia akui rumah ini bagus. Mencerminkan penghuninya sekali.

"Welcome to my—uhm, Our home. Kamu akan tinggal di sini setelah kita menikah nanti."

Kavia menyeka sudut matanya yang masih menyisakan air mata agar bisa melihat interior rumah dengan jelas. Sempurna! Dia berseru dalam hati. "Kamu tinggal di sini sama siapa?"

"Selama ini sendiri." Javas bergerak menuju dapur yang letaknya di seberang family room. Dia membuka kulkas dua pintu side to side dan mengambil botol air mineral dari sana. Kavia yang mengikutinya beranjak duduk di kursi tinggi yang berbaris rapi di depan kitchen island. "Minum dulu. Di restoran tadi sepertinya minuman dan makanan kamu masih utuh." Javas menyerahkan botol air yang segelnya sudah dia buka.

"Ya, aku belum sempat menyentuh minuman, dan pelakor itu keburu datang."

Dari cara Kavia meneguk minuman itu Javas tahu wanita itu kehausan. Energinya pasti sudah terkuras habis. Setengah liter air itu tandas tak bersisa. Wow. Javas sedikit membungkuk dan menumpukkan dua tangannya ke kitchen island berhadapan dengan Kavia. "Setelah ini kamu akan merasa lebih baik."

Mata biru itu menatap Javas dan mengembuskan napas kasar. "Aku nggak yakin."

***

Acara pertunangan Fabby dan Jemma berlangsung di rumah orang tua Jemma. Seharian sebelum acara, Kavia terus uring-uringan di apartemen. Bahkan belum ada satu suap nasi pun yang masuk ke perutnya sejak pagi. Setegar-tegarnya dia, kalau sudah sendiri dan ingatan semua kenangan manis bersama Fabby bermunculan, air matanya akan meleleh dengan sendirinya.

Dia sadar sebentar lagi Javas akan datang menjemput, tapi dibandingkan siap-siap wanita itu lebih memilih meringkuk di atas sofa sambil meratapi nasib. Pesan dan panggilan dari Dian pun dia abaikan. Dia baru beranjak bangun ketika bel apartemen berbunyi. Dan saat membuka pintu sosok Javas yang sudah rapi muncul. Pria itu menaikkan sebelah alisnya ketika melihat penampilan Kavia yang acak-acakan.

"Aku nggak jadi datang ke acara pertunangan mereka," ujar wanita itu sebelum Javas protes dengan penampilannya yang acakadut.

"Why?"

Kavia tidak menjawab dan memilih berbalik masuk. Javas mengikutinya.

"Oh My God. Jangan bilang kamu habis nangis lagi dan galau seharian?" Javas menggeleng seraya menyentuh dahinya sendiri.

Mendengar itu Kavia menghentikan laju kakinya. Dia sudah berhasil menahan diri untuk tidak menangis lagi. Tapi keberadaan orang di dekatnya malah membuat hatinya kembali lemah. Rasa sakit itu menyeruak dan tangisnya pecah lagi. Bahunya terguncang hebat. Dia menyentuh dadanya yang terasa sangat sesak. Harusnya dia lebih bisa menahan diri. Memalukan. Sudah ketiga kalinya dia menangis seperti ini di depan Javas. Dia baru saja akan mengusap pipinya ketika dari belakang sepasang lengan merengkuhnya.

"Silakan kamu menangis sekarang, tapi di depan mereka jangan," ujar Javas pelan, membuat Kavia tertegun selama beberapa saat. Seolah tengah menemukan sandaran, wanita itu menangis kian parah. Dan dengan baik hati Javas membiarkan Kavia menumpahkan semua kepedihannya.

"Kamu cinta banget sama dia ya?" tanya pria itu. Dalam dekapannya, Kavia mengangguk. "Tidak apa-apa. Lukamu masih baru. Waktu yang akan menyembuhkan luka itu."

Setelah membiarkan wanita itu menangis di pelukannya, dan memastikan Kavia sudah kembali tenang, Javas meyakinkan wanita itu untuk datang ke acara pertunangan itu meskipun hanya sebentar. "Setidaknya kamu harus menunjukkan pada mereka bahwa kamu baik-baik saja meskipun sebentar. Kamu ingat tujuan kita kan?"

Padahal Kavia sudah memutuskan tidak akan datang, tapi mendengar kata-kata Gyan, jiwa dendamnya muncul lagi. Dia tidak boleh terus lemah. Javas benar.

Pria itu pun tersenyum saat akhirnya Kavia mengangguk. "Good."

Dan tidak berapa lama tiga orang pria menyusul masuk ke apartemennya. Kavia agak terkejut dengan kemunculan mereka. Satu di antaranya yang mengenakan setelan jas hitam Kavia mengenalnya sebagai asisten pribadi Javas. Namun dua orang pria lain yang mengiringi terlihat asing, tapi dari penampilan keduanya Kavia sepertinya tahu mereka siapa.

"Aduh, Nek. Kamu berantakan banget."

Kavia terkejut saat dua orang pria asing dengan gaya gemulai itu menggaet dua lengannya tiab-tiba. "Kalian—"

"Kami makeup artist dan fashion stylist yang akan mendendongi yey dari bebek burik jadi angsa cantik," jawab mereka kompak dan sangat berisik.

Sontak Kavia mengerutkan alis sembari menahan senyum dengan mata tertuju ke Javas. Pria itu cuma melambaikan tangan dan menyuruh dua pria setengah mateng itu membawa Kavia pergi.

Dan setelah beberapa lama menunggu akhirnya mereka berhasil mendandani Kavia sesuai keinginan Javas.

"Hai, Tampan! Liat ke sini, eike belum pernah mendendongi pere secantik calon istri yey!" seru salah satu pria gemulai itu sambil menenteng Kavia keluar kamar dengan penampilan yang jauh lebih fresh.

Javas yang duduk di sofa ditemani Phil, menoleh. Senyumnya perlahan mengembang melihat Kavia kembali menjadi wanita cantik lagi. Demi Tuhan! Saat Javas datang tadi, wanita itu sangat berantakan. Rambut awut-awutan, mata bengkak, wajah kusam, dan entah pakaian kumal dari mana yang wanita itu pakai.

Namun sekarang? Javas yakin daripada si pemilik acara, Kavia akan lebih terlihat menonjol di sana nanti.

"Good, Marly. Aku puas."

Pria yang dipanggil Marly menyentak kepala ke belakang, merasa bangga. "Seneng deh bisa muasin yey, Tampan," sahutnya genit.

Melihat itu Kavia menahan tawa. Dua pria gemulai itu begitu genit di depan Javas.

"Karena yey cantik banget, kita rela deh si tampan jadi suami yey, tapi kalau yey bosen, tolong kasih lepehannya ke kite," ujar pria yang berperan menjadi fashion stiylist Kavia malam ini.

"Sebaikanya kamu diam, Tince, kalau nggak mau mulutmu kujahit," gertak Javas, membuat pria yang disebut Tince itu sontak mingkem.

"Calon laki lo sadis," bisik Tince kepada Kavia. "Untung ganteng."

Kavia tidak tahan lagi. Tawanya lantas pecah melihat Tince dan Marly bersungut-sungut saat Javas mengusir mereka keluar.

"Nah, begitu. Kamu lebih cocok tertawa, daripada terus bersedih." Javas mengulurkan lengannya, dan membiarkan Kavia menyambutnya.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Michael Wirajaya
author semangat ya nulis cerita nya, jgn bikin pembaca menunggu
goodnovel comment avatar
Anies
yakin banget aku mereka bakal cepet saling jatuh cinta'nya, di tunggu kelanjutan ceritanya ya author sayang.. makasih udah Up dan semangat selalu
goodnovel comment avatar
Mahendra Sari Anwar
seru...kavia jd ketawA
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status