Hari yang begitu berat bagi Queen, pertemuan dengan Laras sungguh menguras seluruh energi dan konsentrasinya. Hingga membuatnya tidak kembali ke kantor dan memilih untuk kembali ke apartemen untuk istirahat.Setelah tiba di apartemen, dengan langkah yang tertatih dan tergesa-gesa. Queen menuju ke wastafel. Karena perutnya terasa mual, Queen langsung mengeluarkan seluruh isi perutnya. Tiba-tiba tubuhnya lemah tak berdaya.Ada dorongan untuk menghubungi Ageng, tetapi Queen tidak ingin mengganggu pekerjaan Ageng. Setelah membersihkan mulutnya, Queen melangkah dengan perlahan menuju ke kamar.Di kamar, Queen hanya melepas sepatu sebelum akhirnya merebahkan tubuh di atas ranjang. Matanya terasa berat. Dia ingin terlelap barang sejenak dan berharap ketika bangun nanti, tubuhnya sudah sehat kembali.Sementara itu di tempat yang berbeda, di ruang kerjanya, Ageng terus terbayang akan keadaan Queen, hingga membuatnya tidak bisa fokus dalam bekerja. Berkas menumpuk yang seharusnya sudah dia tand
Dengan telaten dan penuh kasih sayang Ageng merawat Queen. Setelah minum obat dan kompres air hangat suhu tubuh Queen berangsur menurun. Tetapi Ageng belum bisa merasa tenang, benak Ageng dipenuhi dengan pertanyaan tentang pertemuan Queen dan Laras.Tatap mata Ageng tidak absen Queen, sementara tangannya memainkan ponsel. Ada keinginan di dalam hati untuk menghubungi sang mama, untuk mengetahui pembicaraan yang terjadi saat pertemuan Queen dengan sang mama.Akal sehat masih membimbing Ageng untuk tetap bersabar. Dia tahu jika dia menghubungi sang mama saat ini juga, bisa menimbulkan salah paham yang akan memperburuk hubungan antara Queen dengan sang mama.Ageng memutuskan untuk menghubungi Arum. Untuk saat ini Ageng merasa membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, dia berharap sang kakak akan memberi saran yang akan meringankan beban pikirannya.Tidak butuh waktu yang lama, panggilan dari Ageng mendapat jawaban dari sang kakak.“Halo Geng! Bagaimana keadaan Queen?” Dari seberang, ter
Kehangatan dan perhatian yang diberikan oleh Ageng mampu membuat Queen tertidur dengan pulas. Malam ini, Ageng tetap berjaga di sisi Queen, hingga dia memastikan jika istrinya mendapatkan istirahat yang cukup. Tetapi, tampaknya setelah hari berganti dan pagi menjelang segala upaya itu terasa sia-sia.Queen terbangun dengan perasaan mual yang tak tertahankan. Dia menggeliat di tempat tidur, merasakan perutnya yang bergejolak, sebelum akhirnya terbangun dan bergegas ke wastafel. Di sana, dia memuntahkan seluruh isi perutnya.Suara yang ditimbulkan memecah keheningan pagi, mengganggu tidur Ageng yang baru beberapa jam lalu terlelap. Ageng terbangun, merasakan dorongan kuat untuk segera membantu istrinya. Dia bergerak cepat dari tempat tidur, langkahnya mantap menuju sumber suara."Queen!" panggil Ageng dengan nada cemas, mendekati istrinya yang sedang berdiri lemah di depan wastafel. Dia mengumpulkan rambut Queen ke belakang agar tidak terkena muntahan, lalu penuh perhatian Ageng memijat
“Queen, ini ….”“Ya Om,” sahut Queen, setelah beberapa saat dan Surya Wijaya tidak segera melanjutkan ucapannya."Queen, saat ini kami sedang berada di rumah sakit ....” Terdengar hembusan napas secara kasar, tampaknya Surya Wijaya merasa kesulitan untuk menyampaikan kabar kepada Queen. “Hasil kemoterapi mamamu tidak seperti yang kita harapkan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada banyak perbaikan."Kata-kata itu menghantam Queen seperti pukulan keras. Dia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Kemoterapi adalah harapan bagi sang mama untuk bisa sembuh dari kanker yang dideritanya. Lalu langkah apa lagi yang harus mereka tempuh untuk penyembuhan Rania?"Bisakah kau datang hari ini?" Terdengar keraguan dari nada bicara Surya Wijaya yang harus kembali memohon kepada Queen. "Mamamu sangat ingin bertemu denganmu."Queen tahu dia tidak bisa menunda. Meskipun tubuhnya masih lemah dan mual, hatinya dipenuhi dengan rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang mendesak. Tanpa berp
“Kenalkan! Dia adalah kekasihku, dan kami berencana akan menikah dua tahun lagi.”Queen terdiam dengan mulut menganga seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ageng Jati Wardana, pria yang tadi malam resmi menjadi tunangannya itu dengan penuh percaya diri membawa wanita lain dan memperkenalkannya sebagai kekasih.“Maaf! Bisa diulang?” tanya Queen seraya meminta penjelasan lebih lanjut, meskipun sebenarnya dia sangat yakin jika telinganya tidak salah dengar.Queen mengalihkan pandangannya ke seisi ruangan private restaurant mewah, dengan kepala yang sedikit mendongak untuk menahan agar air mata tidak jatuh. Beberapa kali Queen menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya, dan setelahnya dia kembali memberanikan diri menatap Ageng dengan seulas senyum di bibirnya seolah ingin menunjukkan dirinya yang tegar.“Kau tidak salah dengar,” sahut Ageng seolah bisa membaca isi hati Queen. “Namanya Davianna, kami sudah menjalin hubungan selama tiga tahun terakhir. Da
Suara telapak tangan yang mendarat di pipi Queen terdengar begitu memekakkan telinga. Queen bergeming di posisinya, rasa panas dan kebas di pipinya tidak membuat Queen mundur atau meneteskan air mata.“Hidup mandiri sejak SMA, bisa kuliah dengan biaya sendiri … itu yang kau banggakan selama ini!” hardik Edi di hadapan Queen yang masih berdiri mematung di hadapannya dengan pipi memerah bekas telapak tangan.“Kamu tidak tahu siapa yang nyuapi kamu waktu masih bayi? Siapa yang cebokin kamu? Kamu pikir … kamu langsung besar dan apa-apa bisa sendiri?” cecar Edi yang masih tidak terima dengan keputusan sepihak Queen yang telah memutuskan pertunangannya dengan Ageng.“Saya tidak pernah minta untuk dilahirkan,” jawab Queen dengan suara yang bergetar karena menahan rasa sakit.“Benar-benar anak tidak tahu diuntung!” Edi tidak mampu mengendalikan amarahnya hingga kembali mengangkat tangan kanannya.“Sudah Pa!” Rey, kakak laki-laki Queen segera meraih tangan Edi agar tidak kembali menyakiti Quee
“Lima miliar? Kau ingin memerasku?” cecar Ageng dengan tatapan kesal tertuju kepada Queen yang duduk santai dan tanpa beban di hadapannya.“Tentu tidak, aku hanya ingin membuat perjanjian itu adil untuk kita.”“Adil? Adil dari mana?” Dengan keras Ageng meletakkan pen yang akan dia gunakan untuk tanda tangan. “Aku sudah memberimu tawaran dua setengah miliar, aku sudah memberi pinjaman kepada papamu sebagai modal perusahaannya yang hampir bangkrut, dan sekarang kau masih meminta lebih?” Emosi Ageng tampak mulai membumbung tinggi karena merasa dipermainkan.“Kalau kau tidak mau, tidak masalah bagiku,” ucap Queen dengan nada datar.Tidak ada beban sedikitpun di wajah Queen, karena sampai saat ini dia tidak menikmati sedikitpun uang dari Ageng. Apa pun yang dilakukan Queen saat ini bukan karena dia perempuan yang materialistis, dia hanya ingin bersikap realistis dan menjaga hak-haknya selama menjalani pernikahan dengan Ageng.“Pekerjaanku masih menumpuk, jadi aku hanya akan sekali memberik
Queen menjalani hari-hari yang melelahkan, di sela-sela kesibukan bekerja harus mempersiapkan pernikahannya yang super mewah bersama Ageng. Seperti saat ini dia harus fiting gaun pengantin yang akan dia gunakan untuk resepsi pernikahan nanti.Tatap mata nanar Queen tertuju pada bayangan diri sendiri di depan cermin. Kemewahan yang melekat di tubuhnya hanya untuk menyempurnakan sandiwara pernikahan. Meski tidak menggunakan uangnya, rasanya sayang harus membakar uang hanya untuk sesuatu yang hanya sementara saja.“Pinter juga Ageng cari istri,” ucap Laras, mama Ageng saat melihat penampilan Queen. Wanita paruh baya yang tetap terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi langsung berdiri untuk menyambut calon menantunya. “Geng, lihat calon istrimu!”Ageng melihat sekilas ke arah Queen menuruti perintah sang mama, lalu mengalihkan pandangan kembali ke ponsel. Sementara itu Laras tertawa lebar melihat tingkah lucu putranya.“Putraku sedang jaga pandangannya, karena tahu gadis cant