Bryan berdiri di tepi tempat tidur, merapikan jasnya dengan teliti. Ponsel di meja samping ranjang terus berdering, namun Victoria hanya menggeliatkan badan, enggan bangun dan menjawabnya."Sejak tadi ponselmu berdering," ucap Bryan sambil memeriksa dirinya di cermin besar di sudut ruangan. "Tampaknya sangat penting sampai-sampai cinta pertamamu menghubungimu berulang-ulang."Victoria hanya tersenyum malas, menutupi wajahnya dengan bantal, seolah tidak peduli dengan panggilan itu.Bryan mendekat, senyum menggoda terukir di wajahnya. "Hubungi balik pacarmu. Nanti aku antar kau pulang. Aku tidak ingin ada salah paham."Victoria membuka mata dan menatap Bryan, bibirnya membentuk senyuman menantang. "Kamu cemburu?"Bryan menatap gadis itu dengan senyum menyeringai, lalu duduk di tepi ranjang. Dengan lembut, ia merapikan rambut Victoria yang acak-acakan.Bryan memang terkenal seorang playboy yang sering gonta ganti pasangan, tetapi dia selalu memilih perempuan dewasa yang sudah bisa bertan
Queen tertegun, tak menyangka akan bertemu dengan Laras dan Arya Suta di saat seperti ini. Mereka berdiri di depan pintu keluar rumah sakit, wajah mereka menampilkan campuran kekecewaan dan kemarahan. Perut Queen terasa bergejolak lebih dari sebelumnya, tetapi bukan karena mual, melainkan karena kecemasan yang tiba-tiba menyeruak.“Ma! Pa!” Queen terlihat gugup, tidak tahu harus bagaimana menghadapi kedua mertuanya tersebut.Laras menatapnya dengan tajam, tidak ada belas kasihan di matanya. “Jadi ini yang kamu lakukan di belakang Ageng?”“Ma!” Queen menggelengkan kepala, air mata mulai menetes. “Bukan seperti itu, Ma.”Laras tidak memperdulikan tangisannya. “Aku selalu tahu kamu tidak bisa dipercaya. Ageng telah mengorbankan banyak hal untukmu, dan ini balasanmu?”Queen merasakan darahnya mendidih. Dia tahu Laras tidak pernah sepenuhnya menerimanya sebagai menantu, dan sekarang dia harus menghadapi tuduhan yang tidak berdasar. Dia ingin membela diri, tetapi kata-kata seakan tersangkut
Dengan tangan yang gemetar, Ageng menyalakan mesin mobilnya dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Jalanan terasa seperti labirin yang tak berujung, tetapi dia memaksa dirinya tetap fokus.Pikiran Ageng dipenuhi bayangan Queen yang pingsan, sendirian di rumah sakit. Apakah ini akibat dari penyakitnya? Apakah dia terlalu lelah atau stres? Perasaan bersalah mulai merayap masuk, menyadari bahwa dia tidak ada di sana untuk mendukungnya.Setiap lampu merah terasa seperti penghalang yang kejam. Setiap detik berlalu terlalu lambat. Ageng berusaha keras menahan emosinya, tetapi cemas dan khawatir semakin mengguncang hatinya.Akhirnya, rumah sakit terlihat di kejauhan. Ageng mempercepat laju mobilnya, mencari tempat parkir terdekat. Setelah menemukan tempat parkir, dia berlari masuk ke dalam gedung, melewati lorong-lorong yang terasa begitu panjang.“Pa! Ma!” Ageng segera menghampiri Arya Suta dan Laras berdiri di luar ruang gawat darurat.Wajah mereka terlihat serius dan penuh kekha
Kehamilan Queen adalah kabar yang sangat dinantikan oleh Ageng. Tetapi saat kabar baik itu menggetarkan gendang telinganya, sulit bagi Ageng untuk mempercayai hal tersebut."Istri saya hamil?" tanyanya dengan mata membelalak.Dokter mengangguk. "Ya, hamil. Ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab kelelahan dan stresnya Ibu Queen. Masa-masa awal kehamilan bisa sangat berat bagi beberapa wanita, terutama jika mereka sudah mengalami kelelahan dan stres sebelumnya.""Tapi Dok! Bagaimana mungkin istri saya bisa hamil?" Ageng bertanya lagi, kebingungan tampak jelas di wajahnya.Dokter yang memeriksa Queen pun terpengaruh dengan pertanyaan yang baru saja Ageng lontarkan. Biasanya seorang suami akan sangat bahagia saat mendengar jika istrinya sedang hamil. Hingga hal tersebut membuat sang dokter mengangkat kedua alisnya."Selama ini istri saya menggunakan IUD, jadi bagaimana mungkin dia bisa hamil?" lanjut Ageng, suaranya mengandung nada putus asa."IUD?" tanya balik sang dokter, lalu dia
“Kenalkan! Dia adalah kekasihku, dan kami berencana akan menikah dua tahun lagi.”Queen terdiam dengan mulut menganga seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ageng Jati Wardana, pria yang tadi malam resmi menjadi tunangannya itu dengan penuh percaya diri membawa wanita lain dan memperkenalkannya sebagai kekasih.“Maaf! Bisa diulang?” tanya Queen seraya meminta penjelasan lebih lanjut, meskipun sebenarnya dia sangat yakin jika telinganya tidak salah dengar.Queen mengalihkan pandangannya ke seisi ruangan private restaurant mewah, dengan kepala yang sedikit mendongak untuk menahan agar air mata tidak jatuh. Beberapa kali Queen menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya, dan setelahnya dia kembali memberanikan diri menatap Ageng dengan seulas senyum di bibirnya seolah ingin menunjukkan dirinya yang tegar.“Kau tidak salah dengar,” sahut Ageng seolah bisa membaca isi hati Queen. “Namanya Davianna, kami sudah menjalin hubungan selama tiga tahun terakhir. Da
Suara telapak tangan yang mendarat di pipi Queen terdengar begitu memekakkan telinga. Queen bergeming di posisinya, rasa panas dan kebas di pipinya tidak membuat Queen mundur atau meneteskan air mata.“Hidup mandiri sejak SMA, bisa kuliah dengan biaya sendiri … itu yang kau banggakan selama ini!” hardik Edi di hadapan Queen yang masih berdiri mematung di hadapannya dengan pipi memerah bekas telapak tangan.“Kamu tidak tahu siapa yang nyuapi kamu waktu masih bayi? Siapa yang cebokin kamu? Kamu pikir … kamu langsung besar dan apa-apa bisa sendiri?” cecar Edi yang masih tidak terima dengan keputusan sepihak Queen yang telah memutuskan pertunangannya dengan Ageng.“Saya tidak pernah minta untuk dilahirkan,” jawab Queen dengan suara yang bergetar karena menahan rasa sakit.“Benar-benar anak tidak tahu diuntung!” Edi tidak mampu mengendalikan amarahnya hingga kembali mengangkat tangan kanannya.“Sudah Pa!” Rey, kakak laki-laki Queen segera meraih tangan Edi agar tidak kembali menyakiti Quee
“Lima miliar? Kau ingin memerasku?” cecar Ageng dengan tatapan kesal tertuju kepada Queen yang duduk santai dan tanpa beban di hadapannya.“Tentu tidak, aku hanya ingin membuat perjanjian itu adil untuk kita.”“Adil? Adil dari mana?” Dengan keras Ageng meletakkan pen yang akan dia gunakan untuk tanda tangan. “Aku sudah memberimu tawaran dua setengah miliar, aku sudah memberi pinjaman kepada papamu sebagai modal perusahaannya yang hampir bangkrut, dan sekarang kau masih meminta lebih?” Emosi Ageng tampak mulai membumbung tinggi karena merasa dipermainkan.“Kalau kau tidak mau, tidak masalah bagiku,” ucap Queen dengan nada datar.Tidak ada beban sedikitpun di wajah Queen, karena sampai saat ini dia tidak menikmati sedikitpun uang dari Ageng. Apa pun yang dilakukan Queen saat ini bukan karena dia perempuan yang materialistis, dia hanya ingin bersikap realistis dan menjaga hak-haknya selama menjalani pernikahan dengan Ageng.“Pekerjaanku masih menumpuk, jadi aku hanya akan sekali memberik
Queen menjalani hari-hari yang melelahkan, di sela-sela kesibukan bekerja harus mempersiapkan pernikahannya yang super mewah bersama Ageng. Seperti saat ini dia harus fiting gaun pengantin yang akan dia gunakan untuk resepsi pernikahan nanti.Tatap mata nanar Queen tertuju pada bayangan diri sendiri di depan cermin. Kemewahan yang melekat di tubuhnya hanya untuk menyempurnakan sandiwara pernikahan. Meski tidak menggunakan uangnya, rasanya sayang harus membakar uang hanya untuk sesuatu yang hanya sementara saja.“Pinter juga Ageng cari istri,” ucap Laras, mama Ageng saat melihat penampilan Queen. Wanita paruh baya yang tetap terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi langsung berdiri untuk menyambut calon menantunya. “Geng, lihat calon istrimu!”Ageng melihat sekilas ke arah Queen menuruti perintah sang mama, lalu mengalihkan pandangan kembali ke ponsel. Sementara itu Laras tertawa lebar melihat tingkah lucu putranya.“Putraku sedang jaga pandangannya, karena tahu gadis cant