Evelin tertegun. Jujur ia tak menyangka kalau orang ini mengetahui tentang dirinya dan Lucius. Tapi sosoknya juga penasaran dari mana sang adik mendapatkan berita tentang laki-laki ini sebagai ladang informasi liar di Darkas.Terlebih perawakan yang mirip bangsawan gelap benar-benar mengusik perasaan gadis itu saat bertatapan dengannya.“Tentang kerajaan ini, apa pun itu aku butuh semua informasinya.”Permintaan Lucius pun membuat sang kakak mengernyitkan dahi. Tapi ekspresi berbeda dipamerkan orang di hadapan mereka. Dia tersenyum lalu mengulurkan tangannya.“Kalau begitu bagaimana jika kita berkenalan dulu? Namaku Drain.”Dua bersaudara itu terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian barulah Lucius membalas perkenalannya.“Lucius, dan ini kakakku Lucia.”Walau hanya sang pemuda yang membalas jabat tangan Drain, tapi sosok itu menatap lekat telapak tangannya. Menimbulkan lirikan aneh dari kakak beradik di depannya.“Ada apa?” bingung Lucia.Masih tak ada tanggapan. Walau pandangan si ram
“Kau!” pekik Evelin.Tapi terlambat. Pedang sudah diayunkan Fabina ke arah keduanya. Dengan cepat Lucius menarik kakaknya agar mereka menunduk menghindar.“Lihai juga,” seringai pengendali hewan itu. Bersamaan dengan gumamannya, berisik dari gagak di sekitar terasa kian menakutkan.Tanpa aba-aba hewan itu mulai berterbangan ke arah dua bersaudara Tenebris. Lucia dan Lucius pun terperangah sehingga tanpa pikir panjang mereka langsung lari dari sana.Berusaha keras menghindari amukan para pemakan daging yang menggila.“Sial! Kita harus melawannya!”Lucius yang mendengar ucapan itu menggeram. Memang benar perkataan Lucia, sampai kapan mereka bisa lari? Posisi yang memasuki hutan di belakang menara jam jelas tidak aman.Tanpa basa-basi ia tarik pedangnya. Senjata terselubung yang membuat Evelin berhenti di sampingnya.“Lucius!”“Larilah!”“Apa!”“Kembalilah ke istana dan katakan kalau Orion menyerang!”“Jangan gila! Aku tak mungkin meninggalkanmu!” hardik Evelin tak terima.Tapi sekejap m
Pertarungan sengit menghiasi dua sosok dengan usia yang terpaut tidak begitu jauh.Fabina dan Lucius.Begitu banyak helaian sayap gagak berguguran. Bahkan mayat hewan pemakan bangkai itu juga berserakan. Bunyi bilah pedang yang saling beradu melukiskan sesuatu.Arti dari keseimbangan kemampuan.Walau begitu, tak dapat dipungkiri kalau wajah Fabina terlihat tertekan. Bahkan jika goresan sama-sama menghiasi pipi kiri mereka, seringai lebar malah menyeruak ke permukaan. Milik Lucius yang tampak senang.“Kau gila!” sang pengendali hewan mengumpat. Bahkan di sela-sela adu kekuatan, pembunuh bayaran itu sempat-sempatnya menebas gagak yang tersisa. Dan memaksa darah di mata pedang agar terbang berceceran.Andai Fabina tak menghindar, maka itu akan menjadi senjata makan tuan. Di mana darah hewan yang dikendalikan hampir mengenai mata.Sayup-sayup tawa pelan mengalir ke pendengaran. Tak jelas apa yang lucu, tapi Lucius mulai mengambil jarak. Dahi berkerut karena penasaran menjadi jawaban dari
Seringai lebar membelah wajah pemuda itu. Sosok berusia 18 tahun, namun mampu menyudutkan musuhnya.Gemuruh di langit sana seolah mendukung sang pemuda, dan jangan lupakan sensasi menakutkan dari bilah aneh miliknya.Pedang hitam namun tak henti-hentinya memamerkan asap.‘’Kau, siapa kau sebenarnya?’’ Fabina bersuara. Sayangnya pertanyaan itu lolos begitu saja di pendengaran.Terlihat kalau sosok Lucius tidak berniat menjawabnya.‘’Pedang itu,’’ akhirnya Kaizer pun bersuara. Tatapan tajam yang ia miliki sukar menggertak lawan. Sungguh ia tak menyangka kalau sosok pembunuh bayaran yang ia buru ternyata sehebat ini. ‘’Aku ingat tentang kisah di masa lalu. Sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang terobsesi dengan kekuatan. Mereka memicu perperangan di balik layar, menumbalkan banyak nyawa demi senjata gila di sana.’’Fabina menatap tak percaya sang pangeran. Berbeda dengan Lucius yang memasang ekspresi datar. ‘’Apa mungkin kau keturunan mereka? Keturunan kerajaan iblis, Tenebris.’’Raha
“Apa maksudmu?” pertanyaan itu terdengar lantang. Tangan terkepal menghiasi sosok Lucia, dan jangan lupakan tatapan tajam yang terpatri di wajah.Hanya saja, Bharicgos memamerkan ekspresi tak berminat. Sekejap mata dirinya muncul di depan Lucia, menguarkan aroma seperti cendana dari balik tubuhnya.Ia tersenyum, tangannya perlahan terulur, menyentuh dengan lembut pipi sang putri. Membuat gadis itu bergidik ngeri.“Ingin kuceritakan sesuatu?”Sementara suasana berbeda terlukis di ruangan itu. Tempat di mana tuan putri Tenebris terlelap dalam tidurnya. Dan kehadiran sang adik dengan luka yang menganga ditatap datar oleh pangeran kerajaan Darkas.“Ingin kucarikan tabib?”Lucius mengabaikan, memilih mendekat pada sang kakak. Perlahan digenggamnya tangan Lucia, dan aksi selanjutnya benar-benar membungkam Siez yang menyaksikan.Taring, terlihat nyata. Seperti siluman dengan warna kedua mata yang berbeda. Tanpa aba-aba gigi runcing itu ditancapkan ke lengan sang gadis muda, memancarkan aroma
Mendingin, begitulah ekspresi Lucius.Seakan dinginnya malam mendukung tekanan sang pemuda, sang kakak pun dipaksa meneguk ludah kasar. Cengkeraman di lengannya cukup menyakitkan, namun dirinya enggan menyela.“Kakakku?”“Benar.”Tiba-tiba Lucius menarik Lucia agar berdiri di belakangnya.“Kau menginginkan kakakku?”“Apa kalimatku barusan kurang jelas?” pandangan pun perlahan diedarkan. Siez melangkah menuju balkon yang terbuka, menyaksikan hamparan di sekitar dengan mata sayunya.“Apa kau menyukai kakakku?”Evelin terperangah. Tak menyangka, adik sang raga akan bertanya terang-terangan. Tatapannya pun teralihkan pada sosok di seberang, di mana laki-laki itu menatapnya sempurna.Mengusik masa lalu akan lirikan milik sang bos yang agak dibencinya.“Mungkin, aku lebih tertarik pada kakakmu.”Lucius tak lagi mengatakan apa-apa. Dirinya memilih melonggarkan cengkeraman pada lengan kakaknya. “Kakakku,” ia pun menoleh pada Lucia. “Terlalu berharga untuk disandingkan denganmu.”“Hm?” Siez pu
Kastil Erabiel. Bagi rakyat Orion, kediaman kuno itu tak lebih dari sekadar sarang singa. Mengingat banyaknya calon prajurit baik bangsawan atau jelata dikirim untuk dilatih di sana. Tak terhitung pula yang melarikan diri atau tinggal nama, mengingat pelatihan keras dan gila mampu melumpuhkan mental mereka. Memaksa angan juga harapan untuk menjadi ksatria harum pangkatnya berakhir sia-sia. Dan sekarang di sinilah Kaizer. Bersama Fabina sang pengendali hewan yang tersohor julukannya, menapaki lorong di dalam kastil menuju lantai dua. Penerangan bermodal cahaya obor menemani mereka. Sesekali kepakkan sayap kelelawar di atas kepala tak mengganggu pandangan. Atau dinginnya udara malam nan merembes melalui jendela tanpa kaca tak meruntuhkan langkah tegap keduanya. Sampai akhirnya salah satu dari mereka berhenti tiba-tiba. Perlahan, tangan pucat itu menyentuh dinding dari batu hitam di sampingnya, mengusapnya pelan sambil diiringi seringai tipis di bibir. "Ada apa?" sosok berambut p
"Kau-" ucap Lucia akhirnya. Bahkan pelukan dilepas secara tergesa-gesa. "Siapa kau?! Berani-beraninya kau bersikap kurang ajar padaku!" Sosok itu tertawa remeh. Pandangannya menyapu Lucia, seakan ada yang salah dengan penampilannya. "Bukankah kita sudah bertemu? Di istana agung Tenebris." Gadis itu terkesiap. Pikirannya melalang buana pada ingatan sebelumnya. Anehnya ia mendadak lupa. Dan begitu tangan kokoh sang lelaki menyentuh pipinya, dirinya tersadar seketika. Akan pertemuan yang dimaksudkan. "K-kau-" "Bharicgos Vez Ignatius. Leluhurmu, sayang." Lucia pun memandang jijik padanya. Tak habis pikir dengan sifat orang di depan mata. "Kenapa kau bisa ada di sini?" "Memangnya kenapa?" "Bukankah kau-" kalimat tak lagi dilanjutkan. Ia menengadah karena gemuruh di atas sana kembali berteriak. Menyampaikan insting yang berbahaya akan suasana sekitarnya. Tiba-tiba Bharicgos menunjuk keningnya. "Trucar en absència (memanggil dalam ketiadaan)" selesai mengatakan itu, penutup mata Lu