Pagi sekali aku mendatangi kamar Lisa dengan membawakan sarapan seperti biasa. Roti dan susu ditata dalam nampan yang sudah kuletakan di atas nakas. Gorden dibuka agar cahaya bisa masuk dengan leluasa, Lisa kududukkan dengan bersandar pada bantal. Perlahan goresan sisir ini mengusap rambut Lisa yang panjang dan hitam. Sesekali bibirku mengulum senyum, merasa bahagia bisa sedekat ini dengannya. "Putri Ibu sudah dewasa, pasti di sekolah sudah ada cowok yang naksir. Cerita sama Ibu ... Ibu, kan, ingin tahu siapa laki-laki yang beruntung itu," ucapku sembari menyisir rambut gadis manis ini. "Eh, sebentar lagi Ayah ulang tahun, 'kan? Mau kasih kado apa buat Ayah? Atau kita kasih kejutan saja?" "Emmm ... Ibu siap mengatur semuanya pokoknya, nanti kita hias rumah ini bersama-sama. Terus, pas Ayah datang kita nyanyikan lagi selamat ulang tahun." Aku mengoceh sendiri dengan berteman sunyi. Tidak ada jawaban atau respons sedikit pun dari Lisa. Sudut bibir ini berganti menjadi menekuk ke bawa
Sambil menggenggam tangan Fahmi, aku melangkah dengan santai menuju rumah milik Mas Suryo. Terlihat beberapa orang tampak mengobrol di teras rumahnya. Mungkin ada beberapa tetangga yang datang menjenguk. Mbak Nuri kemarin sudah bercerita tentang keadaan suaminya yang sedang sakit, sakit yang menurutnya aneh. Saat aku bertanya perihal kedatangannya mengapa harus mencariku, dia bermaksud untuk bermusyawarah masalah biaya. Manusia tidak tahu malu, tidak punya otak. Mereka sudah meludah, tapi ludah itu dilap kembali dengan perilaku polos seolah teraniaya. Tidak pernahkah mereka berpikir perasaan yang dulu, perasaan yang pernah mereka sakiti tanpa ada kata maaf yang terucap. "Mbak ... baru datang?" sapa salah seorang pria yang duduk di bangku teras rumah. "Iya, Mas. Baru punya waktu, mari ...," jawabku ramah. Aku memasuki rumah itu dan terlihat beberapa Ibu-Ibu yang sedang menjenguk. Mereka berpamitan untuk pulang, beberapa di antaranya tersenyum ramah padaku. Aku semakin penasaran deng
Kini kepalaku sangat pusing, dan isi perut seperti keluar semua. Kehamilan ini menginjak usia 5 bulan. Namun, mual-mual masih belum reda. Berbeda saat kehamilan Lisa dan Fahmi yang tidak mengalami apa-apa. Mungkin benar kata orang, jika kehamilan ketiga kadang sedikit manja. Aku memutuskan untuk istirahat. Urusan rumah dan anak-anak ditangani oleh Mas Darman, dia juga mulai terbiasa melakukan ini semua. Aku berbaring di ranjang, sedikit memijit bagian kening yang terasa berat. Mata pun sudah mulai sayu dan sulit dibuka. Mataku mulai terpejam, tapi pikiranku masih dalam keadaan sadar. Waktu tidur menjadi harapan untuk membantu mengurangi pusing dan mual. Namun, baru saja mata tertutup beberapa detik, aku merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di tepi ranjang tepat di ujung kaki, gelitikannya sangat terasa. Refleks kaki hanya kugeser, tapi masih mengacuhkannya dan enggan membuka mata. Semakin lama indra penciumanku merasakan sesuatu yang begitu busuk, bau apa itu? Kubuka mata ini
Hari ini perasaanku begitu gelisah. Entah mengapa hatiku selalu mencemaskan Lisa. Aku sudah berjanji untuk menyelamatkannya, tapi Bapak dan Ibu terlanjur mencegah karena mereka tak ingin melihat anaknya masuk terlalu jauh di kehidupan Pak Darman. Katanya itu terlalu berbahaya. Belum lagi kemarin kehidupanku sedikit terusik oleh sosok yang berusaha mengganggu. Entah dalam keadaan tidur, bahkan Shalat sekalipun. Sampai Bapak memanggil Kyai Ilham karena melihatku tidak sadarkan diri dan meracau tidak jelas. Saat itu aku seperti dibawa pada tempat yang begitu asing dan gelap, bukan tempat Lisa yang pernah kutemui. Namun, tempat berbeda seperti genangan lumpur di tengah hutan belantara. Untung saja bacaan ayat suci Al-Quran dari Ibu, Bapak dan Kyai Ilham bisa memberikan setitik cahaya hingga aku bisa kembali. Sejak saat itulah orang tua melarang untuk menemui keluarga Pak Darman, terutama Ibu yang terlihat menangis saat aku bangun. Aku hanya bisa menarik napas berat, mengingat kejadian
Aku terbangun dan merasakan nyeri di bagian leher. Mata ini menerobos seisi ruangan, ternyata sudah berada di kamarku sendiri. Terlihat Mas Darman yang duduk termenung di ujung ranjang. Tunggu, kenapa sudah berada di sini? Andi, percobaan pembunuhan Andi itu ternyata gagal. Sial! "Mas," panggilku berusaha bangkit dari tempat tidur. Dia menoleh ke arahku dan kembali membuang wajahnya seolah enggan untuk menatap. Sementara tangan ini memegangi leher yang terasa pegal dan sakit. Heran, Mas Darman tidak menyapaku sama sekali. Bahkan dia tidak bertanya mengapa istrinya pulang dalam keadaan seperti ini? Aku turun dari ranjang untuk bergegas pergi ke dapur. Tenggorokan ini terasa begitu kering. Mungkin biarkan saja Mas Darman seperti itu dulu, sepertinya ada hal yang sedang ia pikirkan. Saat keluar dari daun pintu, netra ini disuguhkan dengan mainan Fahmi yang begitu berantakan. Hanya mainannya saja, tapi ke mana anak itu? "Dek, Dedek di mana?" panggilku dengan mengarahkan pandangan ke
Aku berjalan ke dalam rumah dengan gontai. Langkah kakiku rasanya sudah tak pantas untuk menginjak tanah. Dalam pikiran hanya menari-nari sebuah kesalahan yang membuat keluargaku hancur. Anak laki-laki yang paling kusayangi harus menjadi korban keegoisan dan ketamakan kami. "Pak, Bu, saya izin pulang, jika kalian butuh bantuan segera hubungi saya," ucap Andi yang membuatku menoleh ke arahnya. "Masuk dulu! Saya ingin membicarakan sesuatu," kataku dengan nada lesu. Dari tatapan itu, sepertinya Andi tidak tega melihat keadaanku seperti ini. Hampa, kosong, tanpa arah dan tujuan hidup. Semuanya seolah sirna dengan kepergian Fahmi. "Baik, Pak. Saya akan temani Bapak mengobrol sebentar." Aku tersenyum lemah mendengar jawaban itu. Aku menganggukkan kepala memberi tanda agar pria itu mengikuti langkahku untuk duduk di ruang tamu. Sementara Marni terlihat tidak peduli pada keadaan suaminya sendiri. Raut kesedihan pun dengan cepat menghilang dari wajahnya, bahkan dia memilih untuk pergi ke a
Aku memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, begitu pun dengan milik Lisa. Semua ini terpaksa dilakukan untuk mengakhiri kehidupan kelam keluarga ini. Rencana ini harus berjalan dengan baik. Ya, semua harus diakhiri sebelum terlambat. Rasa ragu dan takut kemarin sudah kutepis dengan keyakinan bahwa diri ini harus mati dalam keadaan keluarga yang utuh, serta kembali ke jalan yang benar. Mata ini memandang Marni yang sudah tidur dengan nyenyak. Obat tidur tadi sepertinya sudah bereaksi. Aku segera mengambil tas ransel dan berlari ke luar rumah, menghampiri mobil hitam yang sudah bersiap di depan gerbang sana. "Tunggu sebentar!" ucapku pada Andi yang berdiri di depan mobilnya.Langkah kaki ini dipercepat menuju kamar Lisa. Segera kuambil tas yang sudah dipersiapkan dan membopong tubuh Lisa, dan membawanya ke arah mobil untuk pergi dari rumah ini. Ya, semua ini untuk menyelamatkannya, tak akan kubiarkan anakku menjadi korban kembali. Segera kumasukkan tubuhnya ke mobil untuk dibaringk
Aku terperanjat saat kaki Pak Darman ditarik oleh sebuah tangan untuk masuk ke dalam rawa yang lebih gelap. Dengan sigap tanganku menarik tubuhnya sekuat tenaga. "Pak ucapkan asma Allah dan tetap istigfar!" teriakku masih menarik tubuhnya. Kekuatan yang begitu dahsyat seolah tak bisa kuhentikan. Tarikan urat di leher ini membuktikan jika saat ini aku sedang tidak bermain-main dengan ilmu biasa. Pak Darman terlihat meronta menyeimbangi tarikan itu. Dengan tekad dan keyakinan yang kuat, aku meneriakkan kalimat takbir sampai tangan itu bisa terlepas dari kaki Pak Darman. Kami segera berdiri, masih dengan mengatur nafas masing-masing. Wajah Pak Darman terlihat begitu pucat. Aku yakin jika beliau dalam keadaan takut. Bibir ini mencoba tersenyum ke arahnya sebagai tanda semua akan baik-baik saja, meskipun dalam hati ada kekhawatiran akan hal yang akan terjadi kembali. "Bapak baik-baik saja?" tanyaku memegang bahunya yang masih bergetar hebat. Wajahnya menoleh ke arah putri yang begitu di