Bagian 29
Ada perasaan takut yang menyala dalam dada. Namun, sesaat aku berusaha keras untuk mengontrol diri. Demi membuat Dinda tak meletakkan curiga sedikit pun. Kutatap kini sosok perempuan bermata bengkak itu dengan tajam.
“Ini, maksudmu?” Aku meraih gelas beling besar berisikan cairan kental warna hijau dengan aroma pisang yang segar tersebut. Kuacungkan gelas itu ke depan wajah Dinda, seolah tak ada apa-apa di dalamnya kecuali sayur dan buah yang penuh manfaat.
“Minum!” Pekikkan Dinda lagi-lagi sempat membuatku goyah. Namun, rasa takut itu kutepis. Percayalah, Mira. Kamu tak bakal mati jika hanya meminum jus dengan tambahan tiga butir pencahar ini.
Maka, aku pun
Bagian 30 Mas Yazid kemudian keluar dari mobil. Tak lupa lelaki itu membukakan pintu bagiku dan menyambut diri ini. Perhatian sekali suamiku itu. Tumben. Bukankah kemarin dia begitu cuek hingga menoleh saja enggan. Apa yang dipikirkannya saat ini? Apakah aku Cuma sekadar pelarian? Berjalan kami beriringan. Bahkan Mas Yazid tak mau melepaskan rangkulannya sampai kami tiba di depan resepsionis. Seorang perempuan berseragam batik dengan rambut yang dicepol bagai pramugari itu menyambut dengan sangat ramah. Tanpa banyak berbasa basi, suamiku langsung memesan sebuah kamar paling mahal dengan harga sewa jutaan untuk per malamnya. Jangan ditanya betapa melongonya diriku. Sejak kapan seorang Mas Yazid senang menghamburkan uang hanya untuk menumpang tidur? Walaupun kaya, selama tujuh tahun menikah, Mas Yazid memang jarang mengajakku rekreasi, ber
Bagian 31 “Bukan begitu, Mas. Anu ... Azka ingin membantuku berbisnis kue. Dia ikut memasarkan di kampusnya. Kan, kemarin dulu Mas bilang kita pelan-pelan belajar mandiri. Supaya bisa lepas dari belenggu Ummi dan Abi.” Semoga alasan yang kuberikan bisa diterima oleh Mas Yazid. Walaupun wajah lelaki itu masih tegang memerah, tetapi aku terus berusaha untuk meluluhkan hatinya. “Mir,” ucap Mas Yazid sembari menatapku dalam. “Jangan pernah bermain di belakangku.” Ini jelas sebuah ancaman. Bahkan rahang Mas Yazid yang kokoh tampak mengeras. “T-tidak Mas. Dia saudara kita.” “Kamu mengerti dengan konsekuensinya kan?” Mata Mas Yazid menyipit
Bagian 32 Usai makan bersama, Mas Yazid menyuruhku untuk duduk sembari menonton televisi saja. Semua sisa bungkusan dia yang membereskan. Beberapa makanan yang belum dibuka sama sekali turut dirapikan jua olehnya. Mas Yazid benar-benar berlaku manis hari ini. Entah setan apa yang kini tengah merasuki. Yang jelas, sesaat aku merasakan betapa nikmatnya hidup dilayani. Hal yang sama sekali tak pernah kucecap selama tujuh tahun mendirikan bangunan rumah tangga bersama sosok yang telah berpoligami tersebut. Mas Yazid kini menarik tanganku pelan. Membuat tubuhku bangkit dan segera ditariknya pinggang ini agar mendekap dadanya. Perasaanku sudah tak enak. Lelaki itu berulang kali mengusap rambutku yang masih lembab. Aku tak mau jika untuk kesekian kalinya dia mengajak tempur. Selain lelah, aku tak lagi berhasrat. Hanya ingin kembali ke rumah, me
Bagian 33 “Sebaiknya kamu pulang sekarang, Mir. Sebelum kemarahanku meledak.” Suara Mas Yazid begitu dingin. Aku takut-takut menoleh padanya. Lelaki yang berada di belakangku itu mengepalkan dua belah tangannya. Sementara wajah tampan itu kian memerah akibat menahan emosi. “Sempat kamu mengulanginya lagi, Ummi tidak akan segan untuk mengusir kamu, Mira!” Ucapan Ummi semakin membuatku bergidik. Hancur sudah pertahanan dan kekuatan yang kubangun selama ini. Runtuh menyisakan puing-puing segala angan. Kandas cita-citaku sebelum tumbuh berkembang. Terima kasih takdir. Sesakit ini kau hantamkan palu godam tepat pada tempurung kepala. Kini yang dapat kupikirkan hanya bagaimana cara lari dari mereka. Aku jujur sudah muak dan tak tahan. “B-bai
Bagian 34 Di malam yang begitu terang cahaya rembulan, kami berdua resmi meninggalkan rumah. Tak memperdulikan kejadian buruk apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bagiku, meninggalkan segala kemewahan yang telah tersedia, bukan suatu sulit yang mesti kutakuti seperti dulu lagi. Langkah ini telah mantap. Tak mau kutoleh lagi ke belakang. Percaya diri, aku dan Azka berjalan beriringan, keluar dari pagar rumah mewah yang selama tujuh tahun ini menaungi dari terik panas dan badai hujan. Sembari memanggul ransel hitamnya, lelaki itu tak memberikan diriku untuk menggeret koper. Dengan sigap dia kerahkan tenaganya untuk menyeret benda berwarna hitam dengan ukuran sebesar 28 inci tersebut. Tak kusangka, Mas Yazid pun ternyata sama sekali tak mencegah diri ini untuk pergi. Kukira dia hanya menggertak saja. Namun, lelaki itu benar-benar telah m
Bagian 35 Kring! Suara ponsel yang sedang kugenggam erat akibat rasa grogi menghadapi pertanyaan Lubna, malah berbunyi keras membuat diri ini kaget setengah mati. Kuperhatikan layar. Kaget luar biasa. Panggilan masuk dari Ummi. “Una, aku keluar sebentar, ya. Ada telepon penting.” Aku langsung bangkit dan berjalan ke luar kamar, tanpa memusingkan ekspresi wajah Lubna yang terlihat begitu penuh tanya. Aku memilih untuk turun tangga, duduk di ruang tamu yang telah disediakan sofa. Tak ada orang lain. Situasi kost pun sedang sepi tanpa ada yang lalu lalang. Panggilan telepon dari Ummi terus berlangsung meski aku lama mengangkat. Kupersiapkan hati ini. Apa pun yang akan dia ucapkan mel
Bagian 36PoV Ummi “Ummi lihatkan sendiri, seperti apa kelakuan menantu kesayangan Ummi!” Dinda berkata dengan geram. Walaupun sedang sakit, anak ini masih tak berhenti berbicara juga. Aku sebagai orang yang paling punya kuasa di rumah ini, jenuh lama-lama melihat sikap Dinda. Namun, mengingat kelakuan Almira yang sangat di luar nalar, membuatku pelan-pelan bisa mengerti mengapa Dinda bisa segeram ini. “Sudah, Din. Kan kamu lihat Ummi barusan memarahi dia. Kamu sekarang tenang. Istirahat dulu.” Aku mendekat padanya. Berusaha untuk meredam kemarahan keponakanku yang sifatnya sangat berbanding terbalik dengan almarhum adikku yang lembut serta baik hati. Tak kusangka juga sifat asli Dinda begitu emosional, pembangkang, dan sulitu dikendalikan. Kalau tahu begini, untuk apa aku menyuruhnya menikah dengan Yazid?
Bagian 37Pov Ummi Makan malam kami usai. Namun, gilanya Azka dan Yazid tak kunjung datang. Sudah hampir jatuh terlelap bagai Putri Salju aku di meja makan ini. Apa yang mereka lakukan di rumah depan sana? Antre bantuan pemerintah atau latihan tawaf mengelilingi Kakbah? “Faraz, kita nonton tivi saja, yuk.” Abi membawa cucu keponakannya pergi menuju ruang tengah. “Bi, Ummi tinggal sendiri di sini?” Aku sudah merah telinga. Enak saja Abi meninggalkanku di meja makan sendirian seperti orang yang tengah jaga lilin pesugihan babi ngepet. “Ya, ayo!” Abi menoleh dengan muka kesal. &ld