Sore hari tiba, Ansel bersiap-siap menuju gedung tempat penjualan berlian, tetapi sebuah chat masuk sebelum dia sempat meninggalkan rumah. [Mari bertemu di apartemen, ada hal yang ingin aku bicarakan.] Pesan singkat ini membuat Ansel mengerutkan dahi sangat heran. ‘Aku tidak mengenali nomor ini. Apa Evan?’[Siapa?] Balas singkat Ansel.[Kenapa kamu tidak menghubungiku, padahal aku sudah memberikan nomor handphoneku padamu.] Kalimat ini segera menyadarkan Ansel. ‘Apa dia wanita yang semalam. Dari mana dia tahu nomorku?’ Ansel tidak ingin mengambil resiko di dalam masalahnya yang tidak pernah selesai. Maka segera wanita itu diabaikan. Pria ini bergegas menuju tempatnya bekerja. “Aku tidak bisa ke rumah sakit karena mungkin seseorang mengintaiku. Kakak minta maaf ....” Kalimatnya tertuju pada Aisha yang masih setia menemani Adhitia. Namun, rupanya seseorang di seberang sana tidak suka diabaikan. Maka, panggilan segera mengudara pada nomor ponsel milik Ansel. “Keras kepala sekali orang
Alea sudah berada di rumah Rina, tetapi saat ini chat dari wanita itu tidak mendapatkan tanggapan dari Ansel. “Mungkin suamimu sedang bekerja. Simpan saja barangnya, tapi jangan dibuka dulu. Tapi itu hanya usulan dari ibu,” kekeh lembut Rina.Entah kenapa raut wajah dan sikap hangat Rina selalu membuat Alea merasa nyaman, seolah sedang melihat sosok ibu yang tidak pernah dilihatnya. “Iya, Alea akan menyimpannya.” Senyuman melengkapi. Cukup lama Alea mengunjungi kediaman Rina untuk membicarakan hal-hal kecil sebagaimana dengan seorang tetangga, terlebih di daerah ini hanya Rina yang bersedia berbaik hati pada keluarga kecil Ansel.Di sisi lain, akhirnya Adhitia mendapatkan izin pulang tetapi tidak sore ini. Dokter menahan pria itu hingga besok. “Kondisi tuan Adhitia sudah membaik dan bisa melanjutkan perawatan di rumah.” Cara penyampaiannya sangat santun.“Syukurlah ....” Senyuman Aisha merekah ke arah Adhitia.“Tetapi saya sarankan tuan Adhitia menjalani terapi. Bukankah kondisi tuan
Ansel tidak mendukung keputusan Deon, dia tetap bergerak saat rekannya memilih bersembunyi di dalam ruangan karyawan. Namun, ternyata malam ini memang bukan Naima yang datang, tetapi sekelompok mafia yang berhasil menjarah satu etalase berlian. Salah seorang penjaga keamanan menjadi sandera maka semua penjaga keamanan lainnya tidak dapar bergerak dengan gegabah, pun jumlah mereka lebih dari lima orang. Jadi, pada pagi harinya semua penjaga keamanan diberikan sanksi yaitu pemotongan gaji. Setiap bulan mereka harus mengganti berlian yang hilang. “Sial!” Ansel adalah orang yang paling keberatan karena hidupnya sudah di bawah rata-rata, maka dengan pemotongan gaji itu artinya kehidupannya dengan Alea akan semakin rumit bahkan mungkin semakin sekarat. “50% gaji kalian tidak akan dibayarkan hingga semua kerugian tertutupi. Satu hal lagi yang perlu kalian ingat, kami tidak menerima resign!” ucap supervisor sangat tegas di hadapan semua karyawannya tidak terkecuali. Maka, upah Ansel menjadi
Sopir memberikan laporan tentang Adhitia dan Aisha, tetapi selain itu dia juga mengatakan jika Ansel bersama mereka, tetapi Evan menanggapinya dengan santai toh dia sudah berhasil memaikan iparnya semalam. Adhitia menyukai tempat barunya ini karena selain bisa terbebas dari pengapnya perbuatan Evan, dia juga dapat mengenang masa bahagianya ketika anak-anaknya masih sangat kecil. Dulu Ansel dan Aisha dibesarkan di sini oleh tangan lembut sang istri. Begitupun dengan Ansel dan Aisha, keduanya seakan bernostalgia. “Sejak pindah ke rumah, jarang sekali kita mengunjungi rumah pertama,” ucap pria ini pada adiknya. “Iya, karena Aisha merasa lebih nyaman di sana.” Senyuman bahagianya, tetapi diakhiri dengan senyuman sendu karena sekarang tempat yang dianggap lebih nyaman sudah berubah menjadi tempat penyiksaan. Lagi, Ansel harus mencoba menekan kesedihan yang dirasakan adiknya. “Sampai berapa lama papa dan adikku di sini, hm ...,” godanya bersama tawa kecil hingga Aisha ikut ke dalam suas
Alea duduk di kursi taman yang mengarah pada jalanan. “Kita tunggu papa di sini.” Senyuman diarahkan pada Ocean yang baru pertama kali dibawa melihat suasana siang hari. Keduanya duduk di pinggir jalanan daerah maka tidak terlalu ramai kendaraan, tetapi banyak tetangga berlalu-lalang maka akhirnya Alea memiliki beberapa teman ngobrol. Untungnya orang-orang yang dia temui sebaya dengan dirinya maka tidak ada orang yang merendahkan keluarga Ansel karena mereka memiliki pemikiran sejalan, berbeda dengan para ibu-ibu.Tidak lama Alea di sana, hanya sekitar satu jam karena sinar matahari semakin mengguyur bumi. Saat di perjalanan pulang, wanita ini sempat mengunjungi toko untuk membeli susu formula, di sinilah pergunjingan dimulai. “Ibu dengar suaminya Neng Alea belum pulang. Kenapa tidak bekerja lagi untuk membantu ekonomi di rumah, kasihan loh suaminya Neng Alea bekerja sampai sekeras ini.” Tatapannya dipenuhi cibiran padahal Alea sering berbelanja di tokonya. Senyuman kecil dibentuk Al
Evan mengunjungi apartemen setelah jam operasionalnya berakhir. Bukan tanpa maksud karena tentu saja dia memiliki banyak maksud terselubung yang salah satunya memastikan Aisha hidup dengan menderita hingga membuat istrinya tidak nyaman berada di sana berlama-lama. “Sayang, aku akan mengirim satu pembantu kesini. Apa cukup?” Tatapan teduhnya seolah sedang memberikan perhatian pada istrinya yang duduk di sisinya.“Iya, cukup.” Anggukan kecil Aisha dengan wajah datar.Kini, Evan menyodorkan kartu ATM milik Aisha yang sempat ditahan olehnya. “Di dalamnya terdapat uang belanja, tapi kamu harus berhemat ya. Lagipula kalian hanya tinggal bertiga, kebutuhan dapur jika dibagi dua maka akan menghabiskan uang lebih banyak.” Dagu Aisha dielus lembut. “Iya, aku akan mengatur pengeluaran. Tapi kamu harus memberi uang lebih andai papa membutuhkan pemeriksaan. Kamu juga harus tetap memberiku uang untuk membeli obat papa!” Kalimat Aisha dibumbui banyak ketegasan karena sejak penyakit menggerogoti Adh
Ansel memang belum bisa kembali, pria ini masih berkumpul dengan kawan-kawannya di ruangan karyawan. “Apa kita harus tetap di sini sampai supervisor datang?” Tatapan Deon mengarah pada semua kawannya termasuk Ansel.“Kita harus memastikannya!” Kalimat tegas salah satu pria, kemudian mengarahkan tatapannya pada Ansel sekalian berbicara pada semua orang di dalam ruangan. “Semalam Ansel sudah mencoba bicara, jadi aku rasa kita memiliki harapan.”“Syukurlah.” Semua orang melukis wajah sumringah, tetapi berbeda dengan Ansel karena justru dirinya tidak dapat menjanjikan apapun. Segera, Ansel mengungkapkan kenyataan yang harus diterima kawan-kawannya, “Jangan banyak berharap. Kita lihat saja nanti.” Tatapannya membaur seiring memerhatikan perubahan ekspresi semua orang, kemudian melanjutkan, “Lagipula supervisor membutuhkan waktu untuk berbicara dengan suplier. Aku rasa andaipun ada kabar baik, beliau tidak akan menyampaikannya secepat keinginan kita.”Beberapa pria ini saling memandang sat
Saat Evan sedang bersenang-senang dengan semua harta kekayaan milik Adhitia dan keluarganya, justru Ansel sedang bersusah payah hingga setiap tetesan keringatnya adalah bentuk dari kerasnya kehidupan. “Silakan Bu, pakaian bayi tersedia di sini. Mulai dari new born sampai anak berusia satu tahun.” Selalu, kalimat ini diucapkan setiap kali lapaknya dilewati para pengunjung pasar kaget hingga membuat kebanyakan orang melirik. Ansel adalah si ahli berbisnis, maka dirinya memiliki strategi marketing yang sangat sempurna hingga mampu menarik konsumen dengan beberapa kalimat saja. Setiap kali pengunjung bertanya satu hal, maka Ansel akan memberikan jawaban dengan terperinci hingga akhirnya produknya menarik hati custamer. Pengalamannya dalam berbinis memang sangat berguna untuk saat ini walaupun di bidang berbeda, hanya saja kali ini Ansel harus menggunakan usaha lebih dan tentu saja harus rela terkena sinar matahari serta debu jalanan, padahal seharusnya dirinya adalah pria berdasi yang b