Pria paruh baya itu menganggukkan kepala dan menghela napas dalam-dalam. "Kita tidak tahu seberapa tingginya langit dan seberapa tebalnya bumi. Namun, kita pasti mampu mengukur hebatnya kekuatan musuh!" sahut Junada menanggapi pertanyaan dari Panglima Serta Madya. "Kau memang benar, Panglima," timpal Panglima Amerya tersenyum lebar menatap wajah Junada. "Janganlah kau panggil aku panglima!" hardik Junada. Dia memang enggan dipanggil sebagai panglima oleh siapa pun, meskipun dirinya sudah didaulat langsung oleh sang pangeran untuk menjadi pemimpin dalam misi tersebut. Itu merupakan sikap rendah hati yang dimilikinya. "Baiklah, maafkan aku, Ki." Panglima Amerya menjura hormat kepada Junada. Junada merasa tidak nyaman jika harus dipanggil sebagai panglima. Karena, ia beranggapan bahwa julukan tersebut sangat membatasi dirinya untuk berinteraksi dengan para prajurit biasa. Mereka akan segan dengan jabatan tersebut. Sehingga, Junada tidak mau hal itu terjadi. "Kepandaian manusia di d
Ketika pagi mulai membayangi wilayah kademangan Hoda Buana Timur, pasukan kerajaan Sanggabuana dan pasukan pemberontak yang tengah bersiaga di daerah-daerah penting yang ada di wilayah tersebut. Tiba-tiba saja, mereka dikejutkan dengan kemunculan ratusan prajurit kerajaan Sirnabaya yang bergabung dengan pasukan kerajaan Turana. Mereka langsung menyerang dengan sangat brutal, kademangan Hoda Buana seketika menjadi genting. Penduduk di wilayah tersebut menyongsong pagi dengan menyaksikan pertempuran yang teramat sengit. Panglima Amerya dan Junada sudah berada di arena pertempuran. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Panglima Lomaya tengah bertempur melawan pasukan kerajaan Turana di wilayah Hoda Buana Timur, dan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Serta Madya sudah bertempur di wilayah Hoda Buana Utara bersama ratusan penduduk dan juga prajurit tambahan dari pasukan kerajaan Sanggabuana. "Tambahkan pasukan untuk segera bergerak ke Hoda Buana Utara!" perintah Panglima
Junada tampak geram sekali ketika melihat kekejian yang dilakukan oleh Panglima Suta Wira terhadap Panglima Amerya. Dengan serta-merta, Junada menghunus pedangnya dan langsung menyerang Panglima Suta Wira dengan ganasnya. Pertarungan antara Junada dan Panglima Suta Wira berlangsung dengan begitu sengitnya. Sementara itu, para prajurit langsung mengevakuasi Panglima Amerya yang sudah dalam kondisi parah. Luka di leher dan kepala sang panglima membuat dirinya kritis. Para prajurit itu berusaha untuk menyelamatkan nyawa panglima mereka. "Bertahanlah, Panglima! Kami akan menyelamatkanmu," kata prajurit itu. "Aku sudah tidak mungkin bisa tertolong lagi. Sebaiknya kalian tinggalkan aku, kembalilah bertarung!" ucap pria paruh baya itu dengan suara parau. "Tidak, Panglima. Kau jangan berkata seperti itu!" Dua orang prajurit langsung mengangkat tubuh sang panglima hendak dinaikkan ke atas kereta kuda untuk segera di bawa ke perkemahan. Namun, usaha mereka sia-sia. Panglima Amerya sudah t
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Panglima Suta Wira, Saketi tersenyum lebar. Lalu berkata, "Jangan tanya siapa diriku! Jika kau hendak mencelakai Paman Junada, maka kau akan aku binasakan!" bentak Saketi penuh ancaman. "Persetan dengan ancamanmu!" Panglima Suta Wira mengangkat pedangnya hendak menghujamkan ke arah Saketi. Dengan sigap, Saketi langsung menghindari serangan tersebut. Tanpa banyak basa-basi lagi, ia meraih sebongkah batu padas, dan langsung melemparkan batu tersebut ke arah Panglima Suta Wira, tepat mengenai wajahnya. Hanya dengan satu serangan saja, Saketi berhasil melumpuhkan lawannya yang bersikap jemawa dan keras kepala itu. "Bangkitlah! Katakan kepada rakyat Hoda Buana, bahwa kau ini seorang kesatria tangguh yang dapat menguasai wilayah ini!" bentak Saketi menatap tajam wajah pemimpin prajurit Sirnabaya. "Siapakah kau, Anak muda? Kehebatanmu sungguh luar biasa. Aku menyerah, Anak muda." Panglima Suta Wira berkata sambil meringis-ringis menahan rasa sak
Tindakannya itu, diikuti pula oleh puluhan prajurit lainnya. Mereka yang merasa memiliki darah Hoda Buana beramai-ramai menyerahkan diri, dan menyatakan dengan tegas bahwa mereka akan mendukung berdirinya kerajaan Hoda Buana yang mandiri. Meskipun demikian, tidak sedikit dari para prajurit tersebut yang berlari meninggalkan tempat itu. Mereka yang masih setia dengan pihak istana tetap bersikeras untuk tidak tunduk kepada seruan Saketi, dan mereka lebih memilih untuk kabur dari wilayah Hoda Buana kembali ke istana kerajaan Sirnabaya. "Bawa segera jasad kawan-kawan kalian yang sudah tewas, dan rawat kawan-kawan kalian yang terluka!" seru Panglima Lomaya kepada para prajuritnya. "Baik, Panglima," sahut para prajurit itu, langsung melaksanakan tugas dari Panglima mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh para prajurit pemberontak pro kemerdekaan, mereka secara bersama-sama turut membantu mengevakuasi jasad para para prajurit kerajaan Sanggabuana, dan juga jasad kawan-kawan mereka untuk
Saketi memandangi wajah Panglima Serta Madya. Ia sangat kagum dengan sikap bijaksana pria paruh baya itu, yang berani melakukan tindakan tegas keluar dari barisan prajurit kerajaan Sirnabaya, demi mewujudkan sebuah perjuangan untuk kemerdekaan wilayah Hoda Buana. “Kadang seseorang berjuang dengan maksud yang tidak baik, memanfaatkan situasi konflik demi kepentingan pribadi. Tapi itu tidak ada dalam diri Panglima, aku kagum sekali dengan sikap, Panglima," kata Saketi menanggapi perkataan dari Panglima Serta Madya. Panglima Serta Madya tersenyum, dan menjura kepada sang pangeran. Lantas berkata lagi, "Mereka yang seperti itu hanya mengambil keuntungan saja dari kemelut yang terjadi, tanpa menghiraukan banyaknya korban yang berjatuhan karena konflik tersebut. Semoga saja kita yang ada di tempat ini termasuk barisan orang-orang yang tidak seperti itu." "Semua karena ambisi!" tandas Saketi. "Seperti apa yang dilakukan oleh pihak kerajaan Turana. Mereka mendukung kejahatan pihak kerajaan
Menjelang matahari terbit, Junada dan Abdullah yang baru saja selesai menjalankan Salat Subuh, langsung berkemas. Karena pagi itu, mereka akan menemui Patih Akilang di istana kepatihan bersama Saketi dan Sami Aji. "Apakah semua barang-barang bawaan kita sudah dikemas?" tanya Saketi kepada Abdullah. "Sudah, Pangeran. Kita tinggal berangkat saja," jawab Abdullah lirih. "Baiklah, kita pamit dulu kepada Panglima Lomaya dan para prajurit di sini!" Saketi langsung melangkah menghampiri Sami Aji yang sudah berada di beranda barak bersama Panglima Lomaya dan para prajurit senior. Demikian pula dengan Junada dan Abdullah, setelah menaikan barang-barang bawaan di atas punggung kuda. Mereka langsung mengikuti langkah Saketi untuk berpamitan kepada semua yang ada di barak tersebut. Bagaimana pun juga Saketi harus memastikan kesiagaan di barak tersebut, karena dirinya akan segera meninggalkan tempat itu. “Aku tidak akan turut campur lagi terhadap semua urusan yang ada di barak ini. Karena, a
Di samping istana, tampak seorang gadis cantik berkulit putih tengah duduk sendirian sambil memperhatikan kesibukan para pelayan istana. Tiba-tiba saja, ada seorang pemuda di antara kesibukan para pelayan memanggil gadis cantik itu, "Yunada!" Mendengar teriakan tersebut, Yunada mengangkat wajahnya, lalu melambaikan tangan ke arah pemuda itu. "Ke sinilah, Kakang. Temani aku!" teriak Yunada. "Kau saja yang ke sini, aku sedang sibuk!" jawab pemuda itu. Dia adalah Anggareksa—Putra Patih Anggadita. Anggareksa turut pula mengatur persiapan jelang pesta hari lahir Rangkuti—putra angkat Prabu Erlangga, meskipun pemuda itu masih tetap berpakaian seperti seorang bangsawan pada umumnya. Dengan demikian, Yunada pun bangkit dan langsung melangkah menghampiri Anggareksa. "Kenapa kau hanya duduk-duduk saja? Bantu sini!" kata Anggareksa kepada Yunada yang sudah berdiri di hadapannya. "Aku sedang malas Kakang," sahut Yunada dengan entengnya. Anggareksa tersenyum lebar menatap wajah cantik gadis