"Jadi, apa itu?" Evan sudah tak sabaran."Kamu menikah dengan gadis itu, tapi tinggalkan semua kekayaan dan kemewahan yang Ayah berikan. Termasuk jabatanmu di Lucio Group. Namun, jika kamu lebih memilih semua harta yang kelak hanya akan diwariskan padamu, maka tinggalkan gadis itu!" jelas Alex yang merasa percaya diri jika Evan akan lebih memilih dirinya.Evan tersenyum, seolah tak ada keraguan di hatinya. Hal itu membuat Alex semakin yakin, jika anaknya itu tidak akan mungkin berbuat bodoh."Tentu saja aku memilih Alana, aku rela meninggalkan semua itu demi dia!" jawab Evan.Alex dan Jeni seketika tercengang, ia benar-benar tak menyangka jika anaknya akan memilih sesuatu yang menurut mereka tak masuk akal."Bodoh! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum memilih?" bentak Jeni."Evanders, kamu pikir Ayah main-main?" Alex menggebrak meja."Bukankah Ayah sendiri yang barusan memberiku pilihan? Mengapa sekarang malah memarahiku saat aku telah memilih?" timpal Evan.Bagai senjata makan tuan,
Evan keluar dari rumah orang tuanya dengan dipenuhi perasaan kesal. Ia benar-benar sudah muak melihat Natasha, si perempuan licik itu."Aku benar-benar tak ingin kembali ke rumah ini sebelum memastikan kebenaran ucapan Ayah dan Ibu," gerutu Evan sambil melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.Dengan tak tahu malunya, Natasha malah meneriaki Evan. "Hati-hati di jalan! Sampai ketemu lagi, Evanders," ucapnya.Evan mengendarai motor dengan perasaan dongkol. Ia merasa bersalah telah meninggalkan Alana hanya demi kebohongan yang Ibunya lakukan. Apalagi, dari caranya, sang Ibu masih menaruh harapan pada Natasha.Karena rasa bersalahnya, Evan memutuskan untuk membeli beberapa cemilan kesukaan Alana. Ia berharap bisa segera kembali ke rumah dan melihat senyum manis sang istri sebagai penyembuh rasa kesalnya.Sesampainya di rumah, lampu teras masih belum menyala, menandakan Alana sedang tak berada di rumah."Kemana Alana pergi?" gumamnya sambil melihat jam yang kini menunjukan pukul 20.15.E
"Alana!" teriak Danu, yang masih berusaha mengalihkan perhatian Alana.Alana pun menoleh, di saat yang sama, Evan sudah berdiri di dekat istrinya itu. Ia merasa kaget saat mendengar Danu meneriaki nama sang istri. Dan lebih kaget lagi saat melihat Alana ada dihadapannya."Ada apa, Pak Danu?" tanya Alana, berjalan menghampiri Danu.Melihat Alana sudah menjauh, Evan bergegas keluar dari ruang rapat dan berbaur dengan para Investor yang akan pergi ke lobi."I-itu, kamu tidak perlu mencari Office Boy lagi," ucap Danu."Tapi, wajah Anda sudah sangat pucat dan berkeringat. Sepertinya, Bapak harus segera diperiksa," sahut Alana yang merasa sedikit khawatir melihat kondisi Danu."Aku tidak apa-apa, hanya butuh istirahat sebentar saja," sanggah Danu, meski tubuhnya kini terasa lemas."Apa perlu saya bantu?" Alana tak tega melihat Danu."Tidak perlu, aku bisa jalan sendiri. Kembalilah bekerja, Robi pasti mencarimu," titah Danu yang kemudian berjalan sedikit sempoyongan.Alana teringat jika ia m
"A-apa? Aku, Presdir? Kata siapa?" tanya Evan yang mulai bercucuran keringat dingin."Kenapa kamu terlihat gugup begitu?" tanya Alana, heran."Aku tidak gugup," jawab Evan berusaha untuk terlihat lebih tenang."Aku hanya bercanda." Alana menepuk bahu Evan. "Tadi ada rumor jika istri Presdir adalah seorang karyawan baru. Entah kenapa aku tiba-tiba teringat dengan film yang pernah aku tonton," jelas Alana.Evan akhirnya bisa bernapas lega. Jantungnya yang semula berdebar kencang kini mulai berdetak normal. Ia pikir jika kebohongannya selama ini pada akhirnya akan terungkap, tapi ternyata Alana hanya bercanda. Benar-benar hampir membuat jantung copot saja."Memang film seperti apa yang kamu tonton?" tanya Evan yang masih berusaha untuk tetap tenang."Tentang seorang suami yang berpura-pura miskin, ternyata dia adalah seorang CEO di perusahaan Internasional," jawab Alana, sambil membayangkan artis idolanya yang memerankan film tersebut."Hahaha, mana mungkin ada yang seperti itu di dunia
Risa yang sudah berkeringat dingin pun langsung berusaha menelepon Danu."Ayo, angkatlah Om. Situasi begini kenapa lama sekali mengangkatnya," gerutu Risa, sambil mondar-mandir depan restoran.Risa terus memandangi dari luar, ia melihat Alana semakin dekat dengan tempat Evan duduk. Hingga, tiba-tiba pria itu buru-buru pergi ke arah toilet.Disisi lain, saat baru saja masuk restoran, sepulangnya dari membeli bakso, Danu sekilas melihat Alana dan Risa. Ia terus mengawasi sambil berharap jika Alana tak menoleh ke arah restoran. Namun, apa yang ditakutkan terjadi. Alana malah melihat ke arah Evan dan berusaha menghampirinya.Danu pun buru-buru menelepon Evan."Ada apa?" tanya Evan merasa terganggu."Istri Anda sedang berjalan mendekat, cepat pergi dari situ," bisik Danu.Evan seketika menoleh dan melihat jika Alana sedang berjalan ke arahnya."Gawat, kenapa baru memberitahu sekarang," gumam Evan, yang kemudian berlari ke arah toilet.Melihat pria yang ia curigai sebagai Evan telah berlari
Saat pintu dibuka, ternyata yang keluar dari ruangan itu adalah pria yang Alana sangka adalah Evan saat di restoran tadi."Ah, ternyata aku terlalu berprasangka buruk pada suami sendiri," gumam Alana yang kemudian pergi meninggalkan tempat itu."Direktur, Istri Anda sudah pergi," bisik Ella melalui telepon."Oke," jawab Evan, singkat.Setelah situasi aman, Evan segera berlalu melalui jalan khusus yang langsung menuju parkiran. Ia takut jika Alana terlalu lama menunggu dan curiga lagi padanya.Beruntung ternyata Alana baru saja keluar dari gedung."Sayang, tumben sekali datang lebih awal?" tanya Alana menatap Evan sambil tersenyum."Aku tak mau kamu terlalu lama menunggu," jawab Evan, "kenapa senyum-senyum begitu?" sambungnya, heran."Tidak ada. Ayo pulang," ajak Alana.Sepanjang perjalanan, Alana terus memeluk suaminya itu. Ia merasa senang karena dugaannya tentang Evan yang telah berbohong ternyata salah."Ada apa? Dari tadi kamu terus memelukku dengan erat," tanya Evan."Aku hanya me
Alana tercengang saat melihat Brian sedang keluar dari restoran dengan teman-temannya. Kebahagiaan yang semula tersirat di wajah Alana, kini berubah menjadi raut kekecewaan. Perempuan itu merasa sedih dengan sikap sang adik yang sangat tak tahu malu."Sayang, jangan khawatir. Aku akan mengejar Brian keluar," ujar Evan yang sudah beranjak.Alana memegangi tangan Evan, berusaha menahannya agar tak mengejar Brian. "Sudahlah, percuma saja. Dia pasti tak memiliki uang. Ujung-ujungnya aku juga yang bayar." Suara Alana bergetar menahan tangis. Niat hati datang ke restoran ingin menyenangkan Evan, tapi malah diperas oleh adiknya sendiri yang bahkan sampai mentraktir teman-temannya."Adikmu sudah sangat keterlaluan! Dia semakin seenaknya pada kita. Kalau tak punya uang kenapa harus sampai mentraktir banyak teman segala!" gerutu Evan yang sudah sangat muak dengan adik iparnya itu.Alana sudah tak bisa berkata lagi, ia masih berusaha menahan tangisnya agar tak pecah di depan sang suami."Suda
Alana hanya diam, ia sangat yakin jika keluarganya datang untuk meminta jatah dari gajinya."Sayang, jangan terlalu menuruti semua yang mereka minta. Kamu juga berhak bahagia," bisik Evan."Aku takut Ibu meminta semua gajiku," sahut Alana, gelisah."Jangan berikan! Itu uangmu!" timpal Evan.Keduanya pun perlahan memasuki halaman rumah.Brian dan kedua orang tua Alana pun buru-buru beranjak dari duduknya."Heh, Alana! Apa-apaan kamu? Kenapa tega sekali mempermalukan adik sendiri di restoran?" bentak Desy, sambil menolak pinggang.Padahal Evan dan Alana saja belum turun dari motor."Alana, kamu semakin kurang ajar! Pasti laki-laki miskin ini kan yang menghasutmu!" seru Rudi, menunjuk-nunjuk Evan.Emosi Evan sudah bergejolak, hanya saja, ia masih berusaha menahannya demi Alana."Ayah… Ibu… kenapa kalian terus menyalahkan Evan? Lihatlah, siapa yang baru saja memerasku? Anak kesayangan kalian ini sudah mentraktir teman-temannya dan melimpahkan tagihan padaku, apa Ayah dan Ibu tahu berapa j