“Mbakyu! Mbakyu!” Aku mengerutkan kening. Ardhan masih terlihat dipenuhi amarah, tapi kenapa dia memanggil Mbakyu. Tangannya kembali menyentuh pipi, bukan membelai seperti tadi, malah menepuk-nepuk pelan. “Mbakyu! Mbakyu!” Nggak beres nih si Ardhan. “MBAKYU!” Teriakan kencang memekakkan telinga. Aku tersentak, lalu terguling ke lantai. Kening terasa berdenyut-denyut, sepertinya benjol lagi. “Aduh, Mbakyu, maafkan aku.” Kenapa suara Ardhan jadi terdengar feminim? Aku mendongak, lalu terbelalak. Bawang Putih tengah memelukku dengan mata berkaca-kaca. Hal paling mengejutkan adalah pakaian serba hitam yang dikenakannya, persis ninja di film-film, lengkap dengan busur dan anak panah di punggung. Sementara parang terselip di pinggang. Tunggu dulu! Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana Ardhan yang marah-marah tadi pergi? Kenapa Bawang Putih malah di sini? Bukankah ini malam pengantinnya? Apakah kasus keracunan Putri Sekar Ayu menyibukkan Pangeran Arya? “Mbakyu baik-baik saja, ‘kan?”
Darah segar mengucur dari betis Ibu. Saat kami menembus semak belukar, kaki beliau terbelit putri malu. Durinya merobek celana dan menggores kulit. Bawang Putih dengan sigap menyingkirkan tumbuhan itu, lalu mengucurkan air dari kantung minum untuk membersihkan luka. Aku mengedarkan pandangan. Sedikit kesulitan karena hanya bergantung cahaya obor kecil. Syukurlah, ada daun bandotan tak jauh dari kami. Tumbuhan itu telah teruji pada hewan percobaan memiliki khasiat sebagai anti bakteri dan anti peradangan. Tak ingin membuang waktu, aku segera mengambil beberapa lembar, mencuci dan mengunyahnya sambil menahan napas karena sangat berbau. Selanjutnya, daun bandotan tadi ditempelkan ke luka Ibu. Langkah terakhir, kaki dibalut dengan kain. Bawang Putih menyobek ujung bajunya dengan belati. “Sudah bisa jalan lagi, Bu?” tanya Bawang Putih setelah kami istirahat lumayan lama. Ibu mengangguk. Kami pun meneruskan perjalanan semakin masuk ke hutan. Kini, aku yang tengah memapah Ibu berjalan le
Saat membuka mata, tubuh mengambang di udara. Aneh, sebelumnya, aku masih berada dalam pelukan arus sungai. Aroma melati semerbak menelusuk hidung. Raka? Apakah ini perbuatannya? Tebakanku tidak salah. Tak lama hingga wajah tampan Raka tertangkap pandangan. Penampilannya tidak sederhana seperti biasa. Jika setiap kami bertemu, dia hanya mengenakan selembar kain sutra putih yang dibelit, kali ini ditaburi juga serbuk emas. Mahkota dengan permata biru bertahta di kepalanya. Lengan kokoh terulur. Jemari Raka mengusap wajahku. Rasa bersalah terpancar dari sinar matanya. “Maaf, aku datang terlambat. Banyak sekali yang harus diselesaikan.” “Tidak apa, Raka. Mungkin ini sudah pengaturan ceritanya. Bawang Merah akan berakhir dengan hukuman.” “Ini salahku yang membuatmu menjadi Bawang Merah.” Aku berusaha keras untuk tersenyum. Mungkin dia sudah berbuat seenaknya membawa orang lain ke dalam cerita. Namun, jauh di lubuk hati, ada rasa syukur pernah menjadi Bawang Merah. Bisa memiliki adik
Kami bertiga refleks mengalihkan pandangan. Ibu terperangah. Wajah Rosa berubah dongkol. Ya, Ardhan berdiri di sana dengan sorot mata memelas. Dia mendekat dan menggenggam tangan Ibu dengan erat. “Bu, saya yang akan menikahi Aleeya dan menjaganya seumur hidup.” Tidak, Bu! Jangan mau! “Enak saja!” Suara hatiku terwakili sosok yang baru keluar dari ruang ICU. Ghaida ternyata menguping pembicaraan. Wajahnya merah padam, mendelik tajam pada mantanku itu. Tangan Ardhan dilepas paksa. “Aku tidak akan membiarkan buaya seperti kamu menikahi kakak!” tegasnya lagi. Sebenarnya, Ardhan tidak pas juga kalau disebut buaya. Dia memang menjadikanku taruhan, tapi tidak pernah sekalipun menduakan. Kalau diingat-ingat, Ardhan bahkan selalu menempel seperti perangko dan memiliki rasa cemburu yang besar. Entah jika itu semua hanya sandiwara. “Dik, kumohon, meskipun dulu pernah menjadikannya taruhan, aku benar-benar mencintai Aleeya.” “Tidak! Aku yang akan mengurus Kak Aleeya.” “Kamu akan punya ke
Aroma karbol perlahan raib digantikan harumnya melati. Kasur juga menjadi lebih empuk. Saat membuka mata, dinding kamar dengan pahatan intan tertangkap pandangan. Berarti, perpindahan antar dimensi berhasil dan aku sudah berada di istana Raka. Baru saja mencoba duduk, terdengar bunyi pintu dibuka. “Syukurlah, kamu sudah sadar, Aleeya.” Suara indah Raka yang khas membuatku menoleh ke kiri. “Kyaaa!” Aku refleks menutup muka dengan telapak tangan. Pipi terasa panas, malu, dan kesal bercampur aduk. Sementara dada malah berdebar kencang. Pemuda jadi-jadian itu memang keterlaluan. Dia seenaknya masuk hanya dengan kain melingkar di pinggang. “Kamu baik-baik saja, Aleeya?” “Pakai baju dulu, Raka!” “Ehem, sepertinya ada yang terpesona dengan keindahanku. Yah, mau bagaimana lagi, beginilah kami para keturunan bidadari, selalu menawan dan memabukkan.” “Keindahan gundulmu! Cepat pakai baju, dasar memalukan!” “Oke, oke, Sayang. Apa pun permintaanmu.” Kalau menabok putra bidadari, bakal k
Aku hanya bisa mengerutkan kening. Perkataan Danar benar-benar menimbulkan banyak tanda tanya. Zaman ini jelas tidak ada CCTV. Jadi, bagaimana caranya membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Dharma selaku sang saksi mata juga ditahan di ruangannya. Para dayang dan ibu susu Putri Sekar Ayu sudah jelas memberikan kesaksian yang memberatkan. Danar menghampiri salah seorang pengawal. “Panggilkan Ganendra! Bawakan cangkir berisi jamu yang kusuruh dia untuk menjaganya!” perintahnya. Tak lama kemudian, Ganendra datang membawa nampan berisi cangkir terisi setengah. Dia berhenti di depan Danar. Si pengawal rese mengambil cangkir dan menyodorkannya kepadaku dengan wajah datar. “Minumlah, Tabib. Jika kamu memang meracuni Tuan Putri, maka ini akan menjadi hukuman mati untukmu!” Aku tersentak. Ada senyuman samar di sudut bibir Danar. Sekarang, semua kelakuan anehnya dalam menyikapi fitnah ini bisa dimengerti. Ternyata, dia sangat cerdas. Meskipun sering emosian, saat situasi darurat Danar malah
Putri Sekar Ayu tiba-tiba menjerit dan menangis histeris. “Kangmas Danar, jangan sakiti Mbok Asih! Aku tidak keracunan. Aku berbohong untuk menjebak tabib itu.” “Tidak, itu tidak benar! Bunuh saja saya!” jerit si ibu susu. Putri Sekar Ayu menggeleng. Dia menghambur ke pelukan Mbok Asih. Mereka pun bertangis-tangisan. Danar menyarungkan kembali pedangnya. Sementara Raka hampir meledak lagi. Aku menggenggam tangannya untuk menenangkan. Untunglah, perhatian semua orang tengah terfokus pada sang putri dan ibu susu. Aku tidak akan dipandang aneh karena menggenggam udara. Raja cepat mengangkat tangan untuk menenangkan para warga. Kejadian ini memang bisa menurunkan kepercayaan rakyat jika tidak diselesaikan dengan baik dan adil. “Putriku, kamu sudah mencoreng nama kerajaan kita.” “Maafkan Ananda, Ayahnada.” Putri Sekar Ayu tertunduk pasrah. “Ini semua salah saya, tolong jangan hukum Tuan Putri,” sergah Mbok Asih. “Mbok Asih. Aku sudah berjanji untuk bertindak adil. Oleh karena itu,
Erangan Mbok Asih terdengar semakin menyayat. Aku tersentak. Wanita paruh baya itu, kan, aktingnya cukup buruk. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya saat ini, sakit yang dirasa tampak sangat nyata. Dia tidak mungkin bisa bersandiwara sebagus ini. Apa mungkin dia kena penyakit mag? Bisa jadi, mengingat tingkat stres si ibu susu pasti sedang tinggi-tingginya karena hukuman Putri Sekar Ayu. Jika dia juga tidak menjaga pola makan, tidak menutup kemungkinan lambungnya mengalami peradangan. Aku memang tidak boleh memberikan diagnosa seenaknya. Namun, tidak ada jalan lain, kecuali coba-coba pada zaman serba terbatas ini. Seandainya, Dharma ada di sini mungkin lebih baik. Dia telah menjadi tabib jauh lebih lama, pasti sudah memiliki banyak pengalaman. Putri Sekar Ayu memeluk tubuh Mbok Asih dan berseru panik, “Mbok, Mbok kenapa?” “Sudah tidak ada gunanya kalian bersandiwara,” cetus Danar sinis. Aduh, nih orang kejam benar, sih! “Kami tidak bersandiwara, Kangmas. Mbok Asih benar-benar sa