"Kalau sudah seperti ini, apa Mas masih ingin mempertahankan mantan kekasihmu itu di perusahaan?"Nada suara Ayuna terdengar dingin. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa marah dan kesal sekaligus setelah mendengar cerita dari suaminya. Ternyata ancaman Airin tidak main-main. Wanita itu nekat melakukan cara kotor demi menjerat Sadewa agar menjadi miliknya."Tentu saja tidak. Besok Mas akan memecatnya." Sadewa mengeratkan pelukan pada tubuh sang istri. Merasa bersalah sebab tidak mendengar peringatan Ayuna ketika mengatakan bahwa Airin bisa melakukan apa saja untuk membuatnya kembali pada pelukan wanita itu. "Baru sadar, heh? Kemarin ke mana saja? Masih belum tega berpisah dari mantan?""Sayang ...."Sadewa memelas. Sindiran sang istri sangat membuatnya tidak nyaman. "Memang bener, kan? Padahal aku sudah ngasih peringatan, tapi gak didengar juga." Ayuna mencebik. "Maaf. Mas memang terlalu naif. Tapi Mas janji akan segera menyelesaikan semuanya." Sadewa bersungguh-sungguh. Ayuna tersen
"Kamu gila, Bar! Kenapa kamu sampai nekat seperti ini?"Dua sahabat itu masih berdiri berhadapan dengan mata yang sama-sama menatap nyalang. Tangan Raga mengepal di kedua sisi tubuh. Mantan kekasih Ayuna tersebut tidak pernah menyangka bahwa Bara, sahabat yang ia kenal sangat baik, bisa berbuat hina hanya karena obsesi ingin memiliki Ayuna. Kecurigaan Raga bermula ketika pria itu tak sengaja melihat Ayuna dan Bara sama-sama memasuki Resto. Entah dorongan dari mana sebab Raga ingin sekali membuntuti keduanya. Pria itu duduk di meja tidak jauh dari tempat mereka dan berpura-pura makan siang di sana juga. Raga dibuat makin curiga saat melihat Bara memasukkan sesuatu pada minuman Ayuna. Hampir saja ia mendekat saat melihat Ayuna hampir limbung, tetapi pergerakannya terhenti karena Bara lebih dulu menahan tubuh mantan kekasihnya itu. Raga tidak bisa untuk berhenti berpikiran buruk kala melihat Bara membawa Ayuna ke dalam mobil milik sahabatnya tersebut, apalagi tujuan Bara ternyata bukan
"Mas ....""Hei, Sayang. Sudah bangun?"Sadewa mendekat ke arah Ayuna yang baru saja terjaga. Digenggamnya tangan sang istri dan mengecupnya lama. "Butuh sesuatu?" Ayuna memperhatikan sekitar. Ruangan itu terasa asing untuknya. "Aku di mana?""Kamu di rumah sakit.""Kok bisa?" Ayuna terperangah. Ingin bangkit dari posisi tidur, tetapi Sadewa menahan bahunya. "Jangan dulu banyak bergerak. Rebahan lagi," titahnya lembut. Ayuna menurut karena memang tubuhnya terasa tidak enak. Ia berusaha mengingat apa yang dialaminya hingga bisa berada di tempat itu. Bara. Ya. Ayuna ingat tadi dirinya sedang bersama Bara sebelum kesadarannya benar-benar menghilang. Namun entah di mana pria itu sekarang, sebab Ayuna tidak mengingat kejadian selanjutnya. Apakah Bara yang membawanya ke rumah sakit dan menghubungi suaminya?"Katakan, Mas. Kenapa aku bisa berada di tempat ini? Seingatku tadi, aku makan siang sama Mas Bara." Ayuna tidak bisa menahan rasa penasaran. Sadewa menghela napas panjang. Sedik
"Mas yakin ikhlas nganter aku ke sini?" Ayuna ingin memastikan Sadewa tidak keberatan mengantarnya menemui Raga di rumah pria itu. Bukan tanpa alasan, sebab Ayuna melihat suaminya seperti tengah memikirkan sesuatu. Di sepanjang perjalanan, Sadewa hanya diam, tidak seperti biasanya yang selalu cerewet dan mengajaknya becanda. "Kenapa bertanya seperti itu? Mas sudah pasti ikhlas mengantarmu ke sini.""Tapi ... Mas Dewa dari tadi diam saja. Aku gak nyaman sama sikap Mas yang seperti itu. Apa karena kejadian kemarin?" lirih Ayuna dengan menunduk. Ia mengira, Sadewa masih kecewa padanya karena tidak meminta izin saat memutuskan untuk menerima ajakan Bara. "Enggak, Sayang. Mas hanya merasa bersalah sama Raga. Mas sempat berburuk sangka padanya, padahal dia sampai babak belur karena menolongmu. Jujur saja, Mas malu ketemu dia."Ayuna menarik napas lega mendengar jawaban suaminya. Tenyata dugaannya salah. Sadewa tidak sedang marah padanya. "Makanya sekarang kita minta maaf sekalian menguc
"Aku iri sama Mbak Yuna."Langkah Raga terhenti mendengar ucapan Anggia. Pria itu tidak menoleh, tetapi masih menunggu apa yang akan istrinya ucapkan kemudian. Setelah Ayuna dan Sadewa berpamitan, keduanya terjebak dalam kebisuan hingga Raga memutuskan kembali ke kamar dan meninggalkan istrinya sendirian. Namun, rupanya Anggia tidak membiarkannya pergi begitu saja. Wanita itu melontarkan kalimat yang memuat Raga mendesah lelah. "Mbak Yuna punya suami yang sangat mencintainya. Dia juga sekarang sudah hamil. Makin lengkaplah kebahagiaannya," lirih Anggia dengan mengusap air mata yang mulai keluar. "Berbeda denganku yang justru tidak kamu pedulikan. Kamu mendatangiku sekedar menunaikan kewajiban dan setelahnya kita bak dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah." Anggia menghela napas berat. "Apakah ini bentuk hukuman untukku, Mas? Aku telah menyakiti kakakku sendiri dengan merebut kekasihnya. Dan sekarang aku harus merasakan sakitnya diabaikan. Mungkin benar kata orang kalau karma
"Bu Salma!"Salma menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Pria berstelan jas rapi berlari kecil ke arahnya. "Pak Prabu?"Pria itu tersenyum setelah sampai di depan Salma. "Bu Salma habis belanja?" Salma mengangguk dan membalas senyuman Prabu. "Iya. Biasa, belanja bulanan. Bapak sendiri?""Saya tadi ngantar si bungsu yang katanya butuh alat sekolah. Tapi dia ketemu temannya dan malah pulang sama mereka." Pandu terkekeh. "Anak muda memang seperti itu. Oh ya, kalau begitu saya duluan ya, Pak. Saya harus balik ke Butik." Salma berpamitan. Tidak nyaman berbicara berdua dengan pria selain suaminya, apalagi ia dan Prabu pernah dekat di masa lalu. Prabu sebenarnya masih ingin berbicara dengan Salma. Namun, ia paham Salma adalah wanita yang sangat menjaga diri, apalagi dengan statusnya yang sudah bersuami. Prabu hanya bisa mempersilakan meski dengan kecewa. Tadinya ia berharap bisa mengajak wanita itu makan siang bersama dan berbincang banyak hal. Perasaan kagum terhadap Salma makin ber
Anggia kewalahan menenangkan Prita yang histeris. Ia memanggil perawat untuk membantunya agar sang Mama bisa tenang kembali. Kondisi Prita yang seperti itu pasti membuatnya sangat terpukul. Kehilangan satu kaki mengakibatkan Prita cacat seumur hidup."Kembalikan sebelah kakiku." Racauan Prita masih terdengar sebelum kesadarannya benar-benar menghilang. Perawat terpaksa menyuntikkan obat penenang agar Prita tidak histeris lagi. Anggia terduduk lemas di sofa setelah memastikan mamanya tenang. Istri Raga tersebut memijat pelipis yang terasa pening sebab semalaman menjaga sang Mama. Ah ... di saat seperti ini, entah pada siapa ia harus berkeluh kesah. Raga memang kerap kali menenangkan dan menguatkannya, tetapi Anggia tahu bahwa pria itu hanya kasihan padanya. Salma dan Ayuna pun sering mengunjungi kamar Prita untuk melihat kondisi wanita itu. Anggia merasa malu pada mereka yang masih bisa bersikap baik, padahal ia dan mamanya sudah begitu jahat pada keduanya. Pintu ruang rawat Prita
Airin meletakkan makanan pesanan Sadewa dengan tangan yang sedikit gemetar. Bertemu kembali dengan mantan kekasih yang telah dijebaknya adalah hal yang paling ia hindari. Namun, rupanya semesta sedang tidak berpihak padanya. Tuhan mempertemukan mereka kembali agar ia bisa mengakui kesalahan dan meminta maaf. Akan tetapi Airin belum siap, apalagi di tempat itu sedang ramai pengunjung. Airin membutuhkan tempat yang agak sepi untuk berbicara pada sepasang suami istri yang sejak tadi diam saja, tetapi mata mereka tak lepas dari setiap gerak geriknya. Sedangkan Sadewa berusaha mati-matian menahan emosi. Ingin sekali ia mencecar wanita yang nampak gugup itu dengan kata-kata kasar, tetapi ia masih berpikir waras untuk tidak mempermalukan dirinya sendiri di hadapan banyak orang dengan memarahi seorang pelayan. "Silakan dinikmati hidangannya." Airin berucap lirih, kemudian bergegas beranjak dari hadapan Sadewa dan Ayuna. Berkali-kali ia menghela napas panjang untuk menghilangkan rasa gugup