"Aku beneran hamil, Mas?"Anggia menitikkan air mata. Akhirnya apa yang ia dambakan selama ini telah Tuhan percayakan untuknya. Mengandung anak Raga adalah salah satu keinginan terbesar Anggia setelah menikah dengan pria itu. Tidak peduli Raga akan menerimanya atau tidak, bagi Anggia yang terpenting adalah, ia memiliki buah cinta dari pria yang selama ini dicintainya. "Ya. Usianya baru 5 Minggu." Raga memaksakan senyum. Entah kabar ini menjadi kabar bahagia atau justru sedih, sebab terlalu banyak resiko yang harus sang istri hadapi jika tetap mempertahankan kandungannya. Raga mengingat kembali percakapannya dengan Dokter Nurma, Dokter spesialis Obgyn yang bekerja di rumah sakit itu juga. Kehamilan pada penderita PGK sangat beresiko untuk ibu dan janin yang sedang dikandung. Resiko mengalami pre-eklampsia bagi si ibu sangat besar, pun dengan janin yang kemungkinan akan lahir prematur. Raga menghela napas berat. Seharusnya ia tidak menuruti keinginan Anggia untuk hamil. Seharusnya ra
Aku mencintai Mas Bara, Yun. Sudah lama aku memendam perasaan ini untuknya."Ayuna menatap sahabatnya tak percaya. Pengakuan Olivia hari ini membuatnya benar-benar terkejut dan tidak habis pikir. Jika memang Olivia menyukai Bara sejak dulu, mengapa sahabatnya itu baru bercerita sekarang? Bukankah mereka sudah sepakat untuk saling terbuka satu sama lain tentang apa pun?Ayuna menggenggam tangan Olivia. Menatap lekat mata sahabatnya yang nampak sembab. "Kenapa baru cerita sekarang? Apa dia tahu kalau kamu mencintainya?"Olivia menggeleng lemah dengan isakan yang makin kencang. "Aku tidak berani mengutarakan isi hatiku karena aku tahu dia menyukaimu. Aku sadar diri, Yas. Aku tidak sepadan dengannya," ungkapnya. Ayuna memeluk sang sahabat. Ia bisa merasakan bagaimana jika berada di posisi Olivia yang hanya bisa menyimpan perasaan tanpa bisa mengungkapkan. Oh ... Ayuna baru menyadari sesuatu. Pantas saja Olivia melarangnya menerima tawaran Bara ketika pria itu menawarkan diri menjadi pas
Prita menatap kertas di tangannya dengan tangan gemetar. Wanita yang kini hanya bisa duduk di kursi roda itu menitikkan air mata mengingat kini dirinya dan Bram sudah benar-benar resmi bercerai secara hukum. Ingatannya melayang pada setiap kejadian ketika dirinya masih menjadi istri kedua Bram. Kesombongan dirinya yang merasa lebih segalanya dari Salma, ia yang mempengaruhi dan membujuk Bram agar menjadikannya prioritas, dan ia yang tidak terima dikalahkan oleh Salma.Prita menghela napas berat. Ternyata dirinya memang sejahat dan se-egois itu, padahal Salma sama sekali tidak pernah mengusiknya. Bahkan ketika Anggia merebut Raga dari Ayuna, Salma tidak pernah satu kalipun menyalahkan putrinya tersebut. Kini, Prita hanya bisa menyesali semuanya. Berandai-andai jika saja dirinya tidak egois dan bisa menghormati Salma sebagai istri pertama Bram, dan tidak selingkuh dengan pria lain hanya karena merasa kesepian, sudah pasti saat ini statusnya masih menjadi Nyonya Bramantyo Tanujaya."Ma
"Kedatanganku ke sini adalah untuk ... meminta maaf pada Mbak Salma."Prita memberanikan diri memulai pembicaraan. Tatapan Salma yang lekat, juga Bram yang menatapnya dengan raut tak bersahabat, membuatnya sedikit gugup dan was-was. Ia menoleh pada Anggia yang menggenggam tangannya. Sang putri mengangguk dan tersenyum seolah berkata semuanya akan baik-baik saja. "Mungkin sudah sangat terlambat untuk aku mengucapkan kata itu. Aku sudah terlalu sering menyakiti Mbak Salma. Tapi ... aku hanya ingin hidup tenang di sisa usiaku yang entah berapa lama lagi. Mungkin setelah meminta maaf, andai Tuhan mengambil nyawaku pun, aku sudah siap."Salma menghela napas panjang. Jujur saja, melihat kondisi Prita yang sekarang telah membangkitkan rasa iba untuk mantan madunya tersebut. Namun, ia bukan malaikat yang bisa dengan mudah memaafkan perbuatan orang yang bertahun-tahun telah menyakitinya. Rasa sakit itu tetap ada, dan Salma belum bisa melupakan apa yang telah Prita lakukan padanya. "Mbak ....
"Bagaimana dengan calon anak kita, Mas? Dia baik-baik saja, kan?" Anggia memegang perutnya yang masih rata. Saat tersadar bahwa dirinya berada di rumah sakit, Anggia langsung panik sebab teringat kejadian tadi siang setelah ia pulang dari rumah Bram. Perutnya tiba-tiba saja terasa sakit. Anggia mencoba menahan rasa sakit itu dengan merebahkan diri di atas tempat tidur, tetapi sia-sia. Rasa nyeri makin hebat dan akhirnya ia tidak sadarkan diri. "Dia baik-baik saja." Raga menjawab seraya menggenggam jemari sang istri. " Untuk sementara waktu kamu harus bedrest. Jangan banyak pikiran dan jangan terlalu lelah," ujarnya, menyampaikan apa yang Dokter Nurma katakan padanya. "Mama bilang, kamu habis mengantarnya menemui Tante Salma. Apa itu benar?" Anggia mengangguk lemah. "Ya. Aku mengantar Mama ke sana untuk meminta maaf. Tapi sepertinya Tante Salma masih belum bisa memaafkan Mama. Aku sedih melihat Mama yang nampak kecewa. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Tante Salma karena aku pun
Bram menatap lekat sang istri yang dengan telaten menyuapinya. Wajah ayu itu seakan menghipnotis hingga ia enggan berpaling. Bram tidak pernah menduga Salma akan datang untuk menjenguk, apalagi membawakan makanan kesukaannya. Kebahagiaan Bram bertambah berkali lipat karena sang putri juga datang karena mengkhawatirkannya. "Obatnya diminum dulu." Salma mengambil bungkusan obat di atas nakas setelah makanan yang ia bawa habis tak bersisa. Namun, pergerakannya terhenti ketika Bram memegang lengannya."Terima kasih," lirihnya dengan menatap sayu. "Terima kasih untuk apa?" Salma balas menatap suaminya. "Mama sudah bersedia menjenguk Papa dan membawakan makanan. Rasanya Papa langsung sehat," jawabnya dengan sedikit berkelakar. "Sama-sama. Aku, kan masih istri Mas. Masih mempunyai kewajiban untuk mengurus Mas Bram."Bram tahu istrinya ini memang wanita yang sangat baik. Salma masih mau merawatnya, padahal mereka sedang dalam proses cerai. Ingin sekali Bram membujuk sang istri untuk memba
Bram menggandeng lengan Salma memasuki tempat acara. Seperti halnya Sadewa, ia pun mendapat undangan dari rekan bisnis yang malam ini mengadakan resepsi pernikahan putrinya. Senyum Bram tak pernah surut. Ia menggandeng tangan Salma sambil menyapa beberapa kolega bisnis yang juga hadir di sana. Penampilan sang istri malam ini nampak memukau. Membuatnya bangga berdampingan dengan Salma yang juga dikenal sebagai pengusaha Butik ternama. Ah ... Bram kembali menyesali diri yang sempat mengabaikan istri sesempurna Salma. Padahal jika dipikir ulang, Prita tidak ada seujung kuku pun jika dibandingkan dengan sang istri, baik dalam hal penampilan apalagi attitude. Salma adalah sosok anggun dan berkelas yang bisa membawa diri, sedangkan Prita lebih sering berpenampilan berlebihan dan terkadang tidak bisa mengimbanginya ketika berinteraksi dengan beberapa rekan bisnis. Seperti halnya sekarang, Salma sedang berbincang dengan istri dari pemilik perusahaan tekstil di kota itu. Pembawaan sang ist
"Sabar, Yang. Kita doakan semoga Anggia segera sadar." Sadewa mengelus rambut sang istri yang bersandar di bahunya. Mereka sedang berada di rumah sakit setelah mendengar kabar bahwa Anggia koma. "Aku takut dia kenapa-napa, Mas. Bagaimana dengan bayinya kalau sampai Anggia tidak bisa bertahan? Bayi itu pasti membutuhkan sosok seorang ibu. Dan kalau Anggia--"Tangis Ayuna pecah. Tidak kuasa melanjutkan ucapan mengingat betapa mirisnya nasib sang adik. Seharusnya kini Anggia sedang berbahagia atas kelahiran bayi cantiknya, tetapi justru masih harus berjuang di antara hidup dan mati karena kondisinya. "Hei, jangan bicara seperti itu. Kita memang belum tahu apa yang akan terjadi pada Anggia nanti. Tapi kita harus tetap optimis kalau dia pasti sembuh. Ingat, Yang. Kamu juga sedang hamil. Mas tidak ingin berpengaruh pada bayi kita kalau kamu terus-terusan bersedih."Ayuna mengangguk dalam pelukan Sadewa. Isakannya mulai mereda, tetapi air mata tak kunjung surut. Walau bagaimanapun Anggia a