Setelah dua hari menunggu, akhirnya Jadwal endoskopi untuk Madya pun dilakukan. Marren menunggui di luar ruangan bersama Arsan. la idtak diizinkan masuk untuk melihat karena dikhawatirkan mengganggu jalannya proses penglihatan dalam lambung Madya.Selama hampir empat puluh lima menit berlalu, akhirnya Madya telah selesai endoskopi. Mereka diperbolehkan masuk ke ruangan untuk melihat hasil foto endoskopi tersebut dan mendengarkan hasil dari pemeriksaan itu. Dengan saksama serta penuh perhatian, Arsan dan Marren mendengarkan penjelasan dokter Hans sehubungan dengan apa yang dialami oleh Madya.Bahwa Madya menderita luka lambung yang cukup serius dan jika tidak segera di tangani dengan cepat akan mengakibatkan sakit komplikasi di lambung dan sekitar pencernaannya. Setelah perbincangan itu mereka kembali diantarkan ke ruang rawat inap. Marren dan Arsan yang terus mendampingi serta mendorong kursi roda Madya, terlihat lega sekaligus khawatir setelah mendengarkan hasil yang disampaikan
'Apa maksudnya? Apa maksud Arsan? Kenapa Arsan begitu meluap-luap seperti itu? Padahal itu adalah Arland, kakak kandungnya sendiri dan satu-satunya!' pekik Marren dalam benaknya. Marren mendekap mulutnya untuk menahan rasa terkejutnya. Dengan menahan gemetar di tubuhnya, ia mencoba untuk tetap tenang dan berpura-pura tidak mendengar apa pun. Walaupun kini otaknya bergerak dengan cepat mencoba merangkai semua yang ia dengar. Namun, Marren harus menyerah, karena ia tidak bisa menemukan relasinya dan hati kecilnya terus menolak untuk mencari tahu lebih jauh. Tiba-tiba terselip rasa takut yang terus melesak dan mendesaknya semakin kuat terlintas apa yang paling terburuk yang mungkin terjadi. "Aku tidak mengancammu, Arland. Kau yang memulai semuanya, aku hanya menjaga milikku dan seharusnya kau tahu batas!" Suara adzan mulai melunak walaupun begitu ia menggeram menandakan emosi yang terpendam. "Seingatku, sejak dulu aku tak pernah mengusikmu dalam hal sekecil apa pun. Lalu kenapa ka
Melihat langkah Arsan menjauhinya, Marren segera menghalangi pintu dan bersandar pada benda itu, "Jangan pergi seenaknya, pembicaraan kita belum selesai," ucap Marren dengan nada menantang. Marren berusaha mencairkan suasana dan menciptakan pengalihan pikiran Arsan tentang dirinya. Arsan bersedekap, "Apalagi? Bukankah semua sudah selesai? Dan bukankah Nyonya sedang sibuk mengurusi Mommy?" sindir Arsan mengangkat alisnya. "Hei, dengar ya, Tuan Muda, kamu sudah menuduh Saya seenaknya dan sekarang kamu mau pergi begitu saja? Enak saja! Kalau kamu ingin bukti saya berkencan dengan siapa, lihat sendiri dan buktikan Saya akan pergi ke mana dan berkencan dengan siapa!" ucap Marren dengan ketus seraya mendorong tubuh Arsan menjauh. Arsan menahan senyumnya, ''Jadi saya harus bagaimana untuk membuktikannya, Nyonya?" pancing Arsan menjebak Marren. "Ya... Tunggu saja, siapa yang akan menjemput Saya," elak Marren terlihat mulai panik, menjauh dari pintu dan menuju meja riasnya yang ada di t
Menjelang malam....Marren, Arsan dan Madya telah menyelesaikan makan malam bersama. Bertepatan kakek Ryzadrd datang bersama Arland dan beberapa pengawal yang berada di luar. Kakek Ryzadrd dan Arland menyapa dan berbincang-bincang dengan Madya yang terlihat makin sehat. Marren yang duduk bersebelahan dengan Madya dan diapit Arsan sangat senang tatkala Kakek Ryzasrd menyerahkan ponselnya yang sempat disita sebagai barang bukti. "Nah, Marren. Ini ponsel milikmu 'kan? Tadi Kakek mampir ke sana untuk mengambilnya," ucap Kakek Ryzadrd menyerahkan bungkusan yang berisi ponsel Marren. Marren menerima dengan senang, "Wah, akhirnya. Terima kasih, Kek," ucap Marren dengan senang. "Loh, Marren kenapa ponselmu ada pada Kakek?" tanya Madya yang spontan membuat suasana yang tadinya ramai dengan percakapan yang di selingi senda gurau itu langsung berubah hening. "Aaahh, itu...." Marren tergagap. "Ponsel Marren sempat rusak, Mom. Waktu itu terjatuh karena ada sedikit kecelakaan," sela Arsan s
Marren terlihat sangat bersemangat, apalagi rencananya telah berhasil dengan mengatakan Wira akan datang berkunjung. Dengan begitu Arsan berangkat lebih pagi dari biasanya, walau pun Marren tahu ada gelagat Arsan tidak ingin pergi ke kantor karena ia merasa kurang beristirahat.Marren melambaikan tangannya kepada Arsan yang melewatinya dan balas melambai dari dalam mobil mewahnya. la di temani sopir kantornya. Sementara Jack, sopir pribadi di rumah sekaligus merangkap keamanan saat itu menutup gerbang dan tersenyum pada Marren yang berjalan mendekat padanya. "Selamat pagi Pak, saya ingin sedikit berbicara dengan Pak Jack, apa kita bisa ke taman sebentar?" tanya Marren kepada Jack setelah ia menelisik letak CCTV rumah itu. Marren berpikir dengan berbicara di sekitar taman, Arsan tidak akan mencurigai arah pembicaraan mereka. Dengan mengangguk setuju Jack mengikuti ke mana langkah Marren. Lalu mereka berhenti di depan sebuah pot bunga yang mencoba di geser oleh Marren, yang akhirny
"lya, tidak. Oh, Saya bingung harus menjawab yang mana yang lebih dulu," keluh Marren yang terlihat lelah. ""Iya rencananya begitu, tapi sepertinya ia ada acara, makanya ia tidak jadi datang," lanjut Marren sembari menghempaskan dirinya ke sofa."Apa yang kamu lakukan, Marren? Suamimu baru pulang kerja, kenapa kau malah duduk di sini?" tegur Madya yang membuat Marren menepuk keningnya seraya mengernyit menandakan ia lupa. Marren bergegas bangkit dan menyusul langkah Arsan yang terburu-buru menuju kamar. Mau tidak mau Marren harus memulai bersikap baik pada Arsan. Marren bergelayut di lengan Arsan dan mengambil tas jinjing di tangan Arsan yang seraya mereka memasuki kamar. Marren mengecup pipi Arsan, "Selamat datang," ucapnya tersipu malu lalu bergegas meletakkan tas jinjing Arsan di atas meja lalu bergegas ke kamar mandi untuk menyiapkan air untuk Arsan mandi. Setelah memastikan semua siap, Marren kembali ke kamar dan betapa terkejutnya ia saat mendapati Arsan telah melepaskan se
Marren menahan isak tangisnya agar tidak berkepanjangan, apalagi saat mendengar suara pintu yang diketuk seseorang dari luar. Marren segera membersihkan luluhan air mata di kedua pipinya. "Siapa?" tanyanya dengan cepat, la mencoba setenang mungkin dengan berdeham berkali-kali. "Saya, Nyonya, Naura." jawab Naura dengan setengah bertenak. "Masuklah, Nau," ucap Marren bergegas merapikan nasan wajahnya di cermin. Kedatangan Naura membuatnya tertegun, karena gadis itu membawa nampan yang berisi makanan dan minuman untuk dirinya. "Loh, Naura....?" tanya Marren dengan ucapan menggantung. Marren membelalak terkejut. "Ini, Nyonya. Tuan Muda menyuruh saya membawakan makan malam Nyonya ke kamar. Tadi kata Tuan Muda, Nyonya sedang ingin makan di kamar saja dan tidak ingin di ganggu karena kurang enak badan. Jadi kata Tuan Muda, Nyonya di suruh istirahat saja di kamar saja," ujar Naura seraya meletakkan nampan penuh makanan i
"Arsan, ini cantik sekali? Antingnya juga cantik sekali Arsan, terima kasih, Sayang," ungkap Marren menatap dirinya yang telah mengenakan pemberian Arsan di depan cermin. Arsan mengecup lembut leher Marren yang telah berhiaskan sebuah kalung berlian dan sepasang anting dengan hiasan berlian sebagai mata perhiasan yang di balut ukiran bunga yang cantik."Happy Birthday, Sayang. Terima kasih telah terlahir ke dunia lan hadir dalam hidup Saya," bisik Arsan seraya memeluk pinggang Marren dari belakang dan mengecup pundak Marren dengan sayang. Marren memalingkan wajahnya seraya membelai wajah Arsan yang rebah di pundaknya. "I love you, Arsan," bisik Marren pada Arsan yang menatapnya dalam sebelum akhirnya membenamkan bibirnya pada bibir candu Marren. Mereka menatap pantulan keduanya di cermin, "Kamu sangat cantik, sayang," desah Arsan dengan lembut. Marren berbalik dan menatap Arsan, "Jadi selama ini Saya tidak cantik?" tanya Marren dengan wajah berpura pura sedih. "Kamu sangat tahu