Sementara itu, Ruby yang jadi sumber kegelisahan dua pria tadi, kini merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar.
Dia tengah kembali mengingat semua yang sudah dilakukannya tadi malam bersama Luois.
Louis begitu memikat sampai-sampai dia lupa betapa mengenaskannya kisah cintanya yang sudah berakhir. Untung saja, ini akhir pekan jadi dia bisa menghindari berondongan pertanyaan yang pasti akan diajukan teman-teman kerjanya.Namun, semalam itu merupakan malam terbaik bagi Ruby. Seperti memiliki magisnya sendiri, setiap detik yang dia lewati bersama Luois memiliki sisi positifnya.Setidaknya dia bisa melupakan Arden untuk sementara waktu. Bersama Louis, dia tidak ingat jika dia baru saja gagal bertunangan!“Dan dia benar-benar sangat tampan.”Tanpa sadar, Ruby tersenyum.Tubuhnya kembali dialiri hawa panas saat mengingat betapa lihainya Louis menguasai dirinya. Mereka bahkan melakukan hubungan itu bukan hanya sekali, namun tiga kali sepanjang malam.Dan kenyataan jika Louis memeluknya saat dia bangun tadi membuat Ruby kembali tersenyum seperti remaja yang baru saja mengenal cinta.Membayangkan kembali bagaimana bentuk tubuh Louis membuat jantung Ruby berdebar. Sebenarnya Ruby tidak terlalu mementingkan penampilan dan itu terbukti dari mantan kekasihnya Arden yang hanya setinggi dia dan tidak memiliki bahu yang lebar.Namun Louis berbeda. Saat melihat tubuh Louis yang proporsional, berbentuk layaknya karya seni dan kuat, Ruby baru menyadari jika penampilan itu sangat penting.Louis memiliki segala hal yang membuatnya susah untuk menolak. Pesona magis laki-laki itu terlalu kuat untuk ditepis olehnya walau peringatan demi peringatan sudah diberikan oleh dirinya sendiri.Namun Ruby terlalu menikmati setiap kecupan yang diberikan Louis, atau sentuhan-sentuhan lembutnya yang mampu membuat setiap jengkal tubuhnya merinding.Ruby tiba-tiba duduk. Dia memeriksa ponselnya karena dia ingat tadi malam dia menonaktifkannya. Dia khawatir orang tuanya mungkin akan mencarinya, atau bahkan Liv.Tadi malam dia tidak memberitahu Liv jika dia pergi meninggalkannya di klub.“Mati aku!” Gumam Ruby. “Dia pasti akan membunuhku.”Benar saja. Ada puluhan panggilan yang semuanya berasal dari Liv. Astaga, dia benar-benar akan mengulitiku hidup-hidup, batin Ruby.Namun selain notifikasi panggilan dari Liv, dia juga mendapat notifikasi lain dari sosial medianya. Walau belum membukanya, Ruby langsung tahu hal apa yang terjadi di sana.“Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan mereka membicarakanku dan Arden setiap waktu.”Mengabaikan puluhan panggilan Liv, Ruby memilih mengerjakan hal yang menurutnya lebih penting saat ini.Dia membuka sosial medianya dan menonaktifkannya satu per satu. Tidak ada gunanya juga jika dia menggunakannya sekarang karena semua hal di sana akan mengingatkan dia pada Arden.Setelah memastikan semua media sosialnya sudah tidak aktif, barulah Ruby bisa bernafas dengan lega. Dia menghubungi Liv, mendengar bunyi tut berulang sebelum akhirnya panggilannya diangkat oleh Liv.“Aku pikir kamu sudah mati dimakan binatang buas sehingga kamu tidak bisa mengangkat panggilanku.” Liv berteriak.“Dari mana saja kamu semalam? Aku mampir ke apartemenmu tapi kamu tidak ada. Kemana kamu pergi, hah?”“Yang mana yang harus ku jawab duluan?” Ruby balik bertanya tanpa merasa bersalah.“Tidak usah menjawab yang mana pun. Baguslah kalau kamu masih hidup,” gerutunya lagi.Ruby tertawa pelan. Dia menarik nafasnya panjang. “Liv, temani aku keluar. Aku ingin jalan-jalan.”“Tidak mau. Aku sibuk. Lagipula seseorang meninggalkanku begitu saja tadi malam dan membuatku nyaris seperti orang gila karena berpikir dia mencoba bunuh diri dan...”“Siapa suruh kamu mengabaikanku?” potong Ruby cepat. “Aku sudah memberitahumu soal Arden dan kamu malah menari seperti orang gila. Kamu juga tahu aku jarang bermain ke klub tapi kamu juga meninggalkanku seorang diri. Jangan menyalahkanku,” gerutu Ruby.“Cih, aku tahu aku tidak akan bisa menang darimu. Baiklah. Setengah jam lagi aku tiba dan kamu sudah harus ada di bawah. Aku malas naik ke apartemenmu.”“Baiklah.” Ruby tertawa girang.***“Jadi, apa yang terjadi semalam?” tanya Liv ketika mereka duduk berdua di sebuah coffe shop di dalam salah satu pusat perbelanjaan.“Jujur saja By. Saat kamu menghilang dari klub, aku langsung mencarimu. Aku menyisir seluruh sudut gedung itu dengan panik.”“Maafkan aku,” ujar Ruby pelan. “Tadi malam itu...”Tiba-tiba Ruby kembali ingat bagaimana cara Louis menciumnya. Sentuhan pria itu begitu menghipnotis dan membuatnya menyerah begitu saja.Dia tidak mampu menolak pesona Louis, walaupun itu terdengar sedikit gila karena mereka baru saja berkenalan.Melihat wajah Ruby memerah, mata Liv menyipit karena curiga. “Apa yang kamu lakukan sebenarnya? Jangan-jangan kamu bersama seseorang?”Ruby mengangguk pelan, malu-malu.“Astaga! Siapa?”“Aku tidak terlalu tahu. Maksudku...”“Tidak terlalu tahu?” Liv membelalak.“Aku tahu namanya Louis, tapi nama belakangnya aku tidak ingat sama sekali. Mungkin karena tadi malam aku juga dipengaruhi oleh alkohol sehingga membuatku tidak bisa mengingat namanya dengan jelas.”“Jadi kalian baru saja berkenalan tapi sudah...”“Mmm,” Ruby mengangguk membenarkan. “One night stand!”Liv nyaris berteriak ketika Ruby memberitahunya apa yang terjadi semalam. Ruby langsung menutup mulut Liv karena khawatir teriakannya memancing perhatian orang lain di sekitar mereka.“Ruby, kamu...” Liv menatapnya tak percaya.“Aku tahu ini sedikit gila. Selama ini aku selalu membayangkan tokoh novelku melakukan hal seperti itu, namun tidak ku sangka di dunia nyata aku akan melakukannya juga. Ini aneh, kan?”“Bukan hanya aneh, ini gila Ruby. Gila!” tegas Liv. “Lalu bagaimana selanjutnya?”“Aku tidak punya rencana apa pun selanjutnya. Anggap saja tadi malam itu sekedar pelampiasan emosiku. Aku tidak berniat mencari Louis lagi.”Liv menghela nafas, menyandarkan tubuhnya lalu bersedekap. “Bukankah tadi malam itu seharusnya awal yang baik untuk hubunganmu? Seharusnya kamu menghabiskan lebih banyak waktu dengan pria itu.”“Mungkin... Tapi aku tidak menginginkannya. Aku masih belum bisa melupakan sakit hatiku pada Arden, jadi, aku pikir aku tidak bisa berhubungan dengan siapa pun saat ini.”“Dia tampan?” tanya Liv, menyelidik.Ruby mengangguk. “Sangat tampan dan menurutku dia cukup kaya.”“Benarkah?”Ruby mengangguk lagi. “Aku melihat sedan yang terparkir di sana yang menurutku seharusnya miliknya. Kamu tahu, dia mengendarai Rools Royce Phantom.”“Dia benar-benar kaya!” Liv mencondongkan tubuhnya sembari mencengkeram sisi tepi meja. “Tapi, kalian benar-benar melakukannya?”“Berhenti menggodaku,” sungut Ruby. “Kamu tahu ini adalah pengalaman pertamaku.”“Dan kamu melakukannya dengan orang asing.” Liv kembali duduk menyandar.“Well, aku tidak merasa rugi.” Ruby tertawa. “Ini pengalaman yang tidak akan pernah ku dapatkan dari laki-laki sialan itu.”“Tapi ngomong-ngomong, seharusnya kamu tahu kan jika melakukan hal seperti itu, kalian harus memperhatikan satu hal yang sangat penting?” Liv memelankan suaranya.Dia kembali mencondongkan tubuhnya dan memberi kode supaya Ruby mendekat. “Tolong bilang kalau kalian menggunakan pengaman.”“Pengaman?”Wajah Ruby memerah saat Liv bertanya soal pengaman. Tadi malam dia tidak terlalu memperhatikan hal lain selain tubuh Luois. Matanya hanya terfokus pada pria itu seolah dia terhipnotis.Namun, dia ingat-ingat kalau tadi malam Louis menggunakan sesuatu di tengah-tengah permainan panas itu. Seharusnya, dia menggunakannya, kan?Ruby melirik sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. Kemudian dia berbisik, “Aku rasa dia menggunakannya.”“Aku rasa?" Liv berdecak. "Kamu tidak melihat dengan jelas dia menggunakannya?”Ruby salah tingkah. Dia berdehem, lalu menatap Liv lagi. “Tidak. Malah aku tidak terpikir tentang hal itu.”Liv terbelalak. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saking merasa shock dengan pengakuan polos Ruby. "Ruby, itu poin penting ketika kamu melakukannya dengan pria. Tidak lucu jika dua bulan lagi kamu mendapati dirimu tengah...” Liv melirik sekitarnya lagi. “Hamil!”Hamil?Ruby langsung bergidik mendengar kata hamil yang dilontarkan L
“Ke mana kita sekarang?” Setelah puas, Liv membereskan barang-barangnya dan menjejalkannya ke dalam tas setelah mereka terlalu lama menghabiskan waktu di coffe shop.Tatapan para pelayan coffe shop pada mereka sudah cukup menjadi sinyal jika mereka harus segera angkat kaki. Biasanya keduanya tidak melakukan hal itu, seperti sengaja duduk berlama-lama demi menikmati layanan wifi gratis. Mereka hanya punya banyak hal yang harus dibahas dan dibicarakan, namun mereka lupa jika waktu yang mereka gunakan cukup banyak.Ruby menyandang tas dan jaketnya. “Nanti saja kita bicarakan. Kita harus segera keluar dari sini.”Liv mengikuti Ruby keluar dari coffe shop. Keduanya tertawa cekikikan saat mengingat bagaimana para staff sengaja lalu lalang lewat di samping mereka untuk sekedar mengingatkan waktu. Setelah menyadari jika mereka memang sudah duduk di sana selama hampir tiga jam, Ruby seketika merasa bersalah. Di luar sedang turun hujan dengan lebat. Orang-orang banyak memadati coffe shop h
Louis menatap lautan lepas di hadapannya, menunggu matahari menghilang di ufuk barat. Cahaya keemasannya dan suara-suara burung laut yang hendak kembali ke sarang masing-masing membuat suasana semakin hangat dan menenangkan. “Masih menunggunya di sini?” Edd menyusulnya, berdiri di samping Louis dengan kedua tangan diselipkan ke saku celana.Louis tidak menyahut. Dia menyisir seluruh pantai itu, berharap diantara puluhan orang yang memenuhi pantai, Ruby-lah salah satunya. Namun selama satu jam berada di sana, dia tidak menemukan sosok wanita yang dicarinya.“Mungkin dia turis,” Edd membuka kaca mata hitam yang menggantung di hidungnya yang tinggi. “Bukankah dia bilang dia baru saja mengetahui perselingkuhan kekasihnya? Bisa jadi sebenarnya dia berasal dari luar kota dan datang ke sini hanya untuk melihat kebenaran tentang kekasihnya. Karena dari berapa orang yang bernama Ruby yang sudah diselidiki, tidak ada satu pun mengarah ke ciri-ciri yang kamu sebutkan.”“Kamu sudah memeriksa s
Ruby hanya diam saat mendengar perintah pemecatannya dan menunggu hingga Dick keluar meninggalkan mejanya. Saat Ruby memungut pulpennya yang rusak, teman-temannya yang lain mengerumuninya.“Ruby, kamu baik-baik saja?”“Astaga By. Dick si Gempal memecatmu, kamu yakin tidak apa-apa?”“Bagaimana dengan proyek novel barumu?”Ruby hanya mendesah mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari teman-teman kerjanya. Ruby tersenyum.“Semuanya akan baik-baik saja.”Dia membereskan barang-barang miliknya. Toh dia memang tidak betah lagi bekerja di sana sejak Dick menjadi atasannya. Walau perusahaan ini memberinya banyak hal, termasuk kenangan berharga yang tidak bisa dibelinya, keberadaan Dick membuatnya tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Selama lima tahun bekerja di Quantum Media, Dick-lah satu-satunya penghalang yang berbahaya.Dengan santai Ruby meninggalkan perusahaan setelah membuat laporan resmi ke ruangan HRD. Dia sepakat akan tetap menyelesaikan naskah yang sedang dikerjakannya dan men
“Kamu sungguh-sungguh dipecat?” Liv menatap Ruby yang membaca buku dengan serius.Ruby hanya menganggukkan kepalanya, menyesap kopinya lalu membuka lemaran baru buku yang dipegangnya. “Jadi sekarang apa rencanamu?” tanya Liv lagi.Ruby memilih menutup bukunya. Dia mengamati Liv yang terlihat simpati padanya. Dia bergumam pendek, terlihat menimbang-nimbang. “Aku akan menulis secara independen.”“Lalu karya-karyamu?”“Karena sebelumnya aku sudah menandatangi kontrak dengan Quantum Media, maka karya yang kubuat di sana harus tetap kubagi dengan perusahaan itu. Dan aku juga masih harus mengerjakan dua proyek lagi. Setelah menyelesaikannya, aku akan mulai menulis sendiri.”Liv menyeruput kopinya, mengangguk-angguk setuju. “Kamu masih menggunakan nama samaranmu yang lama? Perusahaanmu tidak keberatan?”“Tidak. Aku tetap bisa menggunakannya, sudah ku bicarakan dengan mereka.”“Ada buktinya?”“Tentu saja.” Ruby tersenyum, mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. “Aku tidak akan melupa
Ruby berjalan perlahan menuju garis pantai. Dia berdiri, mengamati deburan ombak sebentar lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Didera oleh berbagai tuntutan dari Quantum media –dugaan Ruby itu adalah ulah Dick si maniak seks itu, dia nyaris tidak tidur selama dua malam penuh.Kepalanya sakit, lehernya tegang dan sekujur tubuhnya lelah luar biasa. Namun walau lelah, Ruby harus segera menyelesaikan sisa proyek yang dipegangnya. Dia sudah terlanjur menandatangani kontrak dan hal itu digunakan Dick untuk membuatnya kewalahan.Dan berjalan-jalan sebentar di pantai adalah jawaban untuk merilekskan otot-otot tubuhnya yang kaku.Saat matahari sore meninggalkannya dan gelap secara cepat melingkupi, Ruby berjalan pelan diantara pasti-pasir putih yang lembut. Karena memiliki kenangan secara pribadi terhadap pantai ini, Ruby selalu merasa jika Louis berada di sekitarnya.Namun itu mustahil. Mana mungkin pria itu mencarinya?Saat itu, dia tiba-tiba mendengar suara seseorang memanggilnya.“Ruby?”Ru
Terkejut mendapat perlawanan dari Ruby, Louis mematung dan melepaskan tubuh Ruby perlahan-lahan. Dia tersenyum pahit, perlahan mengelus wajahnya. Tidak sakit. Ruby juga tidak mengerahkan tenaga untuk menamparnya.Tapi yang sakit malah berada di dadanya. Dadanya terasa ditusuk oleh ribuan jarum yang membuatnya bahkan bisa merasakan efek tusukan itu hingga ke jemarinya.Namun ini pantas. Bagaimana bisa dia mencium Ruby sesuka hati?Ketika dia menemukan jika wajah Ruby memerah dan bibirnya bengkak, perasaan bersalah menelusup di dada Louis.“Ruby, maafkan aku.”Nafas Ruby tertahan. Pundaknya naik turun menahan emosi yang bergulung-gulung didadanya karena kerinduannya pada Louis dan karena dia tahu Louis sangat jauh di luar jangkauannya.“Ruby...” Louis membelai bibir Ruby yang memerah dan bengkak karena ulahnya. “A-aku tidak berniat seperti itu. Malam itu...”“Jangan bahas apapun lagi tentang malam itu. Tuan Louis, aku harus pergi!” Ruby jelas merasa sangat bersalah. Dia buru-buru berl
“Aku sudah membelikan dua buah tiket.” Liv yang sedang memakai sheet mask duduk di sofa apartemen Ruby. Dia merapikan maskernya sambil terus mengarahkan matanya pada drama komedi yang sedang ditayangkan di televisi.Ruby yang sedang mengetik naskah dilaptopnya mengangkat alis. Dia menghentikan sementara aktivitasnya lalu menoleh. “Tiket?” Dia mengernyit.“Ya. Aku mengambil cuti selama seminggu jadi kita bisa pergi liburan,” sahut Liv santai.“Liburan?” Ruby lebih kaget lagi.“Mmm. Kenapa kamu terlihat kaget? Ini bukan pertama kalinya kamu berlibur.”“Bukan. Tapi untuk apa?” Ruby masih belum mengerti.“Untukmu,” sahut Liv pendek. “Aku tahu kamu masih sedih dan malu dengan kegagalan hubunganmu. Apalagi akhir-akhir ini Arden mengunggah banyak sekali fotonya dengan pria itu dan orang banyak masih membahas dirimu disetiap postingannya. Aku tahu kamu selalu memikirkannya.”“Tidak juga,” gumam Ruby, kembali mengetik di laptopnya. “Ini sudah beberapa bulan dan aku sudah semakin ikhlas. Aku ti