Kami satu persatu bersalaman untuk pamit. Pak Herman dan Ayah berangkulan sangat erat. Masing-masing bilang terima kasih dan maaf untuk banyak halnya. Telah banyak yang mereka lalui dan telah panjang kisah lika-liku persahabatan mereka.
Melihat pemandangan itu semua terharu tak melainkan aku. Sampai disini aku semakin tidak tega jika perjodohan yang akan kugagalkan itu merusak keharmonisan hubungan diantara keduanya.
Dan yang terakhir Mpok Yanti yang belakangan ini sudah merasa nyaman dengan Maria tak kuasa menahan tangisnya. Khususnya saat berpamitan dengan Maria. Seperti yang Ayah dan Pak Herman lakukan Mpok Yanti memeluk Maria. Ia sudah dianggap adiknya sendiri selama disini. Tentu setelah ini ia akan merasa kehilangan.
Setelah itu mereka masuk mobil. Maria duduk di belakang dan sebelum mobil benar-benar meninggalkan halaman Maria fokus menatapku sendu. Melihat seperti itu dan melepas kepergiaannya membuat seisi dadaku seperti diaduk-aduk.
Kami kembali
Aku mengalihkan pembicaraan ke persoalan kemarin. Sengaja mengulur jawaban agar ada waktu untuk berpikir. Untungnya Shopia tidak lagi mendesak.“Secara umum saya sudah paham kasusnya Bu. Tadi sempat diskusi dengan Pak Komisaris. Dan akan segera ditangani secepatnya hingga lokasi selalu aman terjaga.”“Syukurlah. Kemarin saya cukup shock tiba-tiba ada sirene berbunyi. Sontak saya teringat peristiwa sama bapak kemarin saat kedatangan preman itu.”“Tenang saja Bu. Semua akan baik-baik saja. Jangan khawatir selama Bu Shopia tidak melakukan kesalahan. Dan kabar baiknya, saya sudah sembuh. Jadi di lokasi ibu akan lebih aman jika bersama saya.” Mendengar penjelasanku Shopia tersipu senang. Berterima kasih atas perhatiannya padaku hingga ia lupa tengah menunggu jawaban dariku.“Oya bu. Terkait tawaran dinner malam ini. Siapa pria bodoh yang menolak ajakan wanita cantik dan baik seperti Bu Shopia untuk di
Karena kesal bercampur panik aku bergegas meraih handphone dan menelepon ayah. Begitu handphone kubuka kulihat beberapa kali ada panggilan masuk. Aku baru ingat, tadi saat di jalan hape ku silent karena menghindari telepon dari ayah.Selain panggilan telepon ada pesan juga dari ayah dan ibu yang intinya sama. Acara pertemuan dipindah setelah Pak Herman mendadak memintanya karena ia sudah menyiapkan tempat khsusus untuk pertemuan itu yang tak begitu jauh dari rumah. Karena ini acara spesial dan akan menjadi sejarah Pak Herman mengusulkan hal itu. Ayah tak jadi soal yang akhirnya menyetujui.Aku bergegas ke lokasi yang dituju dengan perasaan lega mengetahui yang sesungguhnya terjadi. Di jalan aku menonaktifkan menu silent agar jika dihubungi aku bisa segera tanggap. Semenit kemudian dering handphone berbunyi. Itu suara pesan. Kubuka dan dari Maria.“Hai kak. Akhirnya kita bertemu lagi. Baru sehari rindu ini rasanya mem
Di saat genting seperti ini, memori dan kenangan masa lalu banyak bermunculan. Seolah meneguhkan sekaligus melemahkan keputusanku yang lagi-lagi membuatku stuck di tempat dihajar kebingungan.Aku teringat Shopia. Gadis cantik, cerdas, baik, dan selalu menentramkan hati saat kupandang ataupun mengbrol sehingga hatiku semakin berpihak padanya karena merasa ialah tipe gadis yang kuharapkan selama ini. Shopia memang beberapa level di atas Renata. Tapi di depanku Maria, gadis yang tak kalah baik dan cantiknya sekaligus telah membuktikan cintanya dalam bentuk nyata serta didukung keluarga sedang mengharap jawaban baikku atas perjodohan ini.Tapi ia bukan gadis tipeku dan hingga detik ini aku belum mencintainya. Jikapun ada cinta itupun sedikit karena luluh dengan sikap dan perbuatannya, tapi itu kalah dengan cintaku pada Shopia yang bahkan dia belum berbuat banyak kepadaku.Aku juga ingat nasihat Sheily yang beberapa waktu lalu ia sampaikan soal jodoh. Bahwa
Semua menunggu dengan penasaran. Semua menunggu dengan tidak sabaran. Aku yang sudah siap dengan apapun keputusannya hanya mempertahankan posisi semula. Tak tega harus menatap Maria dan orang-orang yang berhati tulus dan penuh harap atas perjodohan ini.“Maka dari itu, dengan ini saya harus jujur untuk katakan bahwa, saya, dalam beberapa bulan ke depan memutuskan untuk fokus terhadap apa yang seharusnya saya selesaikan. Yaitu kuliah saya yang tinggal skripsi dan wisuda.”Semua yang hadir sontak terkejut dengan pernyataan Maria. Pak Herman yang merasa ini tidak sejalan dengan rencana dan skenario yang diinginkan segera protes.“Bukannya kuliah dan wisuda bisa berjalan beriringan, Sayang? Kenapa harus dipisah? Bahkan Ayah sama Ibumu dulu menikah sebelum skirpsi. Dan itu tak jadi masalah.”“Benar Yah. Itu tidak masalah. Namun apakah tetap menjadi tidak masalah seandainya saat itu posisi ayah tidak sedang saling mencintai? Bagaim
Maria bergegas berlari kecil menuju mobil. Namun belum sempat ia membukanya aku sudah mencegahnya. Kuraih tangannya dan posisikan tubuhnya ke arahku agar bisa mudah kupandangi. Lalu kami bertatapan.Ia masih tergugu sembari menumpahkan air matanya yang terus keluar. Namun kali ini lebih parah. Aku sungguh tak tega melihat keadaanya yang tak henti-hentinya menangis sehingga perasaaanku terhanyut olehnya. Tanpa meminta persetujuannya aku meraih tubuhnya untuk aku peluk. Ia menurut dan terus tergugu lalu terisak-isak dalam pelukanku.“Maafkan aku Kak.. Aku sudah tidak sanggup…,” lirihnya sambil masih terisak.“Tidak…tidak kamu tidak salah Maria. Aku yang salah. Aku yang bodoh dan aku yang kurang ajar. Kamu sepenuhnya tidak salah. Akulah orang yang sepatutnya disalahkan. Dan akulah yang seharusnya minta maaf.. maka aku mohon maaf padamu Maria…”Sambil mengelus rambutnya aku mencoba menetralkan keadaannya.&l
Sontak kami saling toleh dan sekilas kulihat wajah sedih Shopia yang dipaksakan ceria agar terlihat profesional di mata Pak Komisaris. Pak Komisaris menunggu respons kira-kira siapa nama yang akan diajukan secepatnya.“Bagaimana jika saya saja Pak? Mumpung di kantor pekerjaan tidak terlalu banyak dan bisa didelegasikan.”Diluar bayanganku dan yang kuprediksikan, Shopia menawarkan diri. Mendengar nama yang diusulkan, Pak Komisaris keberatan. Maksud ucapannya tadi mengarah ke aku. Tapi Pak Komisarsi punya alasan untuk menolak.“Kalau bisa yang laki-laki ya Bu. Karena ini butuh kegesitan di lapangan.”“Kalau misalnya kami berangkat berdua saja bagaimana Pak? Bukankah posisi kami berdua sesuai dengan yang dibutuhkan di lapangan saat ini?”Karena sudah mendapatkan poin yang diinginkan Pak komisaris tanpa panjang kata akhirnya mengiyakan dan kamipun berangkat bersama ke lokasi.Memang makan siang kami resmi gaga
Sontak benturan yang membuat kaca mobil bagian depan retak itu membuat Maria bertriak. Untung hanya retak dan tidak sampai pecah sehingga akan membahayakan kami khususnya Maria yang ada di dalam. Aku memintanya untuk berpindah ke belakang dan mencari posisi yang aman.Tanpa berpikir panjang aku tancap gas dengan kecepatan hampir penuh dan sontak siapapun di depan sana tertabrak jika tidak segera minggir. Karena mereka kalah gesit dengan kecepatan mobilku yang mengamuk, beberapa di antara mereka kesempret dan terpental. Aku tidak peduli. Mereka yang cari gara-gara maka mereka yang harus menerima konsekuensinya.Mobil kulajukan dengan cepat ke lokasi proyek. Tak beberapa lama tibalah di sana dan segera kuberi kode petugas yang segera menghampiriku dengan menyalakan sirene. Seketika semua pekerja menginggalkan pekerjaannya dan tahu apa yang mereka harus lakukan. Aku minta Maria yang baru saja keluar dari mobil untuk bersembunyi di tempat yang aman karena sebentar lagi mer
Aku mengatur siasat dan membaca situasinya dengan cepat lalu memutuskan langkah yang harus dilakukan. “Oke..oke.. Kami tidak melawan. Tapi lepaskan dia yang tidak bersalah.” “Tidak semudah itu goblokkkk!!!!! Lakukan dulu apa yang kuperintahkan!” bentaknya keras. Sementara Maria hanya menangis mengharap bantuan. Membuat hatiku teriris rasanya. “Baik. Apa perintahnya? Cepat katakan!” “Sediakan satu mobil dan bawa ke sini. Jangan bertindak melawan sampai aku keluar dari sini. Jika tidak kuhabisi gadis ini.” Shopia meronta-ronta mendapati dirinya merasa terancam. “Tapi kapan gadis itu diserahkan?” “Gampang! Mobilnya bawa sini. Cepat!!!!!! Atau aku habisi dia sekarang!!” Ia mengancam dan didekatkannya pisau belati itu ke leher Shopia dengan posisi yang mengerikan. Sekali sayatan saja di posisi itu entah Shopia akan tertolong atau tidak sebelum sampai di rumah sakit terdekat sekalipun. Aku segera memerintahkan salah satu petu