Aku tiba-tiba terdiam dan tak bisa berkata-kata, kini tubuh kami saling menempel. Yoga berada di atas tubuhku, aku bisa mendengar deru nafasnya yang menggebu. Aku menyadari posisi kami yang mungkin saja bisa membangkitkan jiwa lelaki Yoga."Apa yang akan kau lakukan?". Aku berkata segera ketika merasa wajah Yoga kembali mendekati wajahku dan deru nafasnya kembali menerpa hidung."Boleh aku menciummu lagi?". Suara serak Yoga terdengar deket sekali bahkan hembusannya lembut menerpa wajahku.Aku hanya diam dan mengangguk pelan. Aku benar-benar terhipnotis oleh Yoga sekarang. Kini, kurasakan nyata bibirnya menyentuh bibir lembutku, seketika aku memejamkan mata seolah menikmati cumbuan mesra dari Yoga.-----POV Yoga"Kesepakatan kita akan deal jika pak Yoga menyetujui model yang dipakai untuk produk kami adalah Laura Chyntia". Pak Roger, salah satu mitra kerjasama dalam pemasaran produk kosmetik, memberitahu aku di detik akhir perjanjian kerjasama kami. Aku yang mendengarkan persyaratan
"Ini adalah ciuman pertamaku". Clara bicara dengan pelan.Ketika mendengar itu aku sudah memastikannya secara langsung. Aku tahu ini adalah ciuman pertamanya, itu sebabnya jiwa kelakianku kian menggelora. Ada rasa lega ketika tahu bahwa aku lah yang pertama kali melakukan semuanya kepada Clara.Kini aku bertanya lagi kepada gadis kecil yang sudah menjadi istriku ini. "Bolehkah aku melakukannya?". Seperti ragu, Clara kini sedang berpikir. Mungkin saja dia merasa ini terlalu cepat, tapi apa salahnya kami juga sudah menikah dan halal bagi kami untuk melakukannya. Aku sepertinya mendapatkan jawaban, Clara sekarang memberikan aku senyuman termanisnya. Aku mengerti arti senyuman yang diberikan oleh Clara."Aku akan melakukannya, Clara". "Tapi...". Clara masih ragu dan belum melepaskan pegangan tangannya di salah satu tanganku yang masih menempel di salah satu kancing bajunya."Aku telah jatuh cinta padamu, Clara. Aku tidak berbohong. Jadi, apakah kita bisa menyatukan cinta kita berdua?". A
"Yoga, ini aku, Laura. Apakah kau sudah memutuskan untuk menyepakati kesepakatan itu. Aku tunggu di kantormu siang ini, bye". Begitulah isi pesan yang dikirim Laura ke suamiku tadi malam. "Kesepakatan?". Apa maksud Laura?. Kini aku menerka-nerka.Suara gemericik air di kamar mandi tidak terdengar lagi, buru-buru aku meletakkan benda pipih itu di atas meja. Pak Yoga pasti telah selesai membersihkan diri. Aku tak mau ketahuan sudah mengutak-atik ponselnya.Sambil berbaring, aku kembali memikirkan kembali isi pesan Laura. Kesepakatan apa yang sedang ia tawarkan kepada Yoga?.Pintu kamar mandi pun terbuka, pak Yoga keluar dengan hanya menggunakan handuk. Mataku tak sengaja melihat dada bidang suamiku itu. Pak Yoga yang melihat aku menatap bagian itu, terkekeh pelan. Aku kembali ketangkap basah olehnya."Mau lagi?". Yoga berkata menggodaku."Tidak". jawabku singkat.Lantas aku memalingkan pandanganku seketika dan berbaring membalik arah dan menutupi tubuhku. Aku malu sekali saat ini. Kena
Ada apa, pak Dodi?". Suara khas Yoga terdengar di ujung telepon."Halo, pak Yoga. Maaf pak, bisa bapak ke rumah sakit sekarang, non Clara jatuh dari tangga"."A-apa?". Suara yoga agak keras terdengar hingga mengejutkan bi Siti.-----Dua jam yang lalu"Kau mulai lagi". Frengky menyapaku pagi ini dengan kiasan kembali."Mulai apa?". Kataku cuek.Kemudian aku berjalan pelan untuk memasuki ruangan kerjaku yang berada di lantai paling atas gedung ini. Frengky mulai ikut berjalan dan berada di belakangku. "Apa yang membuatmu senang, aku sudah mulai mendengar suara siulanmu lagi". Frengky mulai mensejajarkan langkahnya."Ah, kau bisa saja". Yoga kini tersenyum."Aku yakin kau telah jatuh cinta". Kata Frengky yakin."Tebak sajalah, kau penasaran rupanya". Yoga mempermainkan kata agar tidak ketahuan."Baiklah, aku yakin dengan pendapatku, Yoga". "Terserah kau saja.""Ada kabar buruk untukmu". "Kabar buruk apa, katakan jangan berbelit". "Ada Laura di ruanganmu". Kini Frengky serius berbicar
Aku yang baru saja sampai rumah sakit langsung berlari menuju arah ruang gawat darurat. Terlihat di ujung lorong, pak Dodi dan bi Siti sedang mondar mandir. Mungkin mereka sepertiku yang merasakan gelisah dan kekhawatiran atas keadaan Clara."Bagaimana pak Dodi, bi Siti?". Aku mengajukan pertanyaan kepada dua orang paruh baya di depanku."Maafkan kami pak, kami telah lalai. Non Clara masih di dalam". Bi Siti yang menjawabku sambil menunjukkan ruangan di depanku.Aku menggusarkan rambutku kasar. Aku tak bisa menyalahkan mereka. Aku juga tidak tahu apa yang telah terjadi di rumahku saat Clara terjatuh. "Pak...". Suara bi Siti menghentikan frustasiku sejenak."Hmmm, anu pak". Bi Siti terbata-bata ingin mengatakan sesuatu seperti ragu."Ada apa bi?"."Tadi sebelum non Clara jatuh, dia menyuruh bibi untuk memanggil pak Dodi kayaknya mau pergi pak, tergesa-gesa"."Pergi?". Aku mengernyitkan dahiku."Mau pergi kemana Clara, bi?". Kataku mulai menginterogasi mereka."Tidak tahu, pak. Saat sa
"Kau siapa?".Suara pertama yang keluar dari mulut Clara seperti petir yang menyambar gendang telingaku. "A-apa, apa katamu Clara?". Suaraku tersendat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Clara barusan."Kau siapa?". Ia mengatakan itu lagi.Clara memang berkata pelan namun seolah bagaikan suara petir yang kembali menggelegar di ruangan ini."Aku suamimu, Yoga". Mulutku pun berpihak padaku seperti ingin memberikan pembenaran.Clara menggeleng pelan dan melihat sekeliling. "Aku dimana?".Pertanyaan Clara selanjutnya kembali menamparku dengan sebuah kenyataan."Apa maksudnya semua ini?". Jiwaku memberontak mencari jawaban.Seolah menyadari apa yang sedang terjadi pada Clara, dokter segera memeriksa kembali kondisi istriku, "Permisi pak, boleh saya cek kembali ibu Clara?".Aku mundur beberapa langkah memberi ruang pada dokter tanpa suara yang keluar dari mulutku. Manik mataku hanya menatap wajah Clara yang penuh dengan raut kebingungan."Kau sudah sadar, Clara?".Suara mama Clara
Setelah beberapa saat aku lepaskan pelukanku dan mencium dahinya sebentar, kutatap manik matanya yang melotot atas aksiku barusan. Aku tak perduli Clara, kita bahkan pernah melakukan yang lebih dari itu. Setidaknya, pemikiran itulah yang membuat keberanianku muncul untuk melakukannya."Dia siapa ma, kok berani sekali memeluk dan menciumku?".Aku tersenyum dalam tangis, mendengar pertanyaan Clara kepada mamanya. Tersenyum karena bahagia sudah memberikan salam perpisahan kepada Clara, dan sedih karena telah dilupakan oleh istri sendiri."Dia bukan siapa-siapa". Suara pak Dedi sedikit membuat kakiku perlahan melangkah.Aku tahu pak Dedi mengatakan itu untuk kebaikan Clara. Namun, betapa menyedihkan yang kurasakan. Aku segera meninggalkan rumah sakit membawa hati yang porak poranda.-----"Kau siapa?". Suaraku begitu pelan tapi sepertinya laki-laki didepanku seolah begitu tertampar dengan pertanyaanku."Aku suamimu, Clara?". Begitulah jawabannya. Aku merasa lucu kapan aku menikah, kenapa
Ah, Yoga menggusar rambutnya kasar. Kini ia malah merosotkan badannya dan menyandarkan tubuhnya di tiang koridor. "Apa yang harus aku lakukan sekarang, Clara. Sungguh aku tak tahu".Lama menjadi perhatian pengunjung rumah sakit ini, Yoga mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Lalu kembali melanjutkan niat setengah hatinya untuk meninggalkan Clara.Sementara itu, Clara yang baru saja minum obat telah membaringkan tubuhnya di ranjang yang baru ia tempati dua hari itu. Sambil menunggu terlelap, Clara kembali memikirkan pria itu lagi."Iya, aku sangat yakin, dokter tadi memanggilnya pak Yoga. Lantas apakah itu adalah namanya "Yoga". Gumamku pelan.Mama yang mendengarku berkomat-kamit, kemudian datang menghampiriku, "Apakah ada yang ingin kau butuhkan, Clara?"."Eh, tidak ada ma". Agak ragu aku ingin mencoba menanyakan siapa pria itu pada mama. "Ma, apakah mama mengenal pria yang tadi?"Mama yang kembali duduk di sofa, seperti tidak kaget aku akan menanyakan hal tersebut. "Kan sudah papa kamu