Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam, Danu tiba di TK Stasiun Pelangi yang lokasinya memang dekat sekali dengan rumah sakit dan juga sanatorium baru itu. Kira-kira hanya berjarak sekitar satu kilometer saja.Sekolah itu tidak terlalu besar dan bagus, pula tidak terlihat elit seperti taman kanak-kanak yang ada di pusat Kota Jakarta. Hanya dengan melihat itu, Danu menjadi ragu untuk memastikannya. Namun, di satu sisi dia juga berpikir jika mungkin saja Risa sengaja menyekolahkan anaknya di tempat kecil yang luput dari pemeriksaannya.Sayang, siang itu sekolah sudah dibubarkan dan tidak ada siapa pun di sana selain penjaga sekolah yang pasti tidak tahu soal apa pun tentang anak-anak di sana. Akan tetapi, begitu melihat Danu berdiri di depan pagar dan terlihat kebingungan, penjaga itu datang menghampiri.“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya pria bernama Rudi tersebut“Ah, saya dari Rumah Sakit Inpra,” jawab Danu santai dan pria di depannya mengangguk-angguk. “Kemarin saa
Danu merasa kesal setengah mati pada wanita yang terduduk di depannya ini sambil memeluk anak laki-laki yang tengah menangis. Meski demikian, dia tidak bisa menunjukkan sikap arogannya di depan Nathan jika tidak ingin membuat anak itu menaruh kebencian padanya.Untuk menjaga kepercayaan bocah bernama Nathan itu, yang harus Danu lakukan adalah mengalah pada dirinya sendiri meski harus membiarkan mereka berdua tetap bersama. Akan tetapi, dia juga harus melakukan hal yang sama.“Aku tidak akan mengambilnya darimu.”Risa tersentak dan melebarkan mata setelah mendengar perkataan Danu barusan. Dia bahkan menatap pria itu dengan pandangan bergetar, terkejut dan tidak percaya jika dia benar-benar mendengar sesuatu yang rasanya tidak mungkin.“Aku tidak akan mengambilnya darimu, tapi jangan berani-beraninya kau mencoba kabur dariku!”Detik itu juga, kedua mata Risa yang terbelalak bertambah lebar. Apa yang baru saja Danu katakan adalah sebuah ancaman sekaligus kesempatan agar dia tidak bisa be
Laras benar-benar putus asa menunggu kedatangan Danu atau sekadar panggilan telepon pria itu. Bahkan ketika ini adalah hari pernikahannya dengan Alex, tak sekali pun telepon atau pesan masuk ke ponselnya.Digenggamnya ponsel lipat tersebut dengan kuat, sebagaimana rasa jengkel Laras kepada Danu yang bertingkah seolah-olah tidak terganggu dengan pernikahannya. Jika memang pria itu tidak peduli, Laras harus melakukan sesuatu karena itu membuat perasaannya tersakiti.Hari pernikahan yang seharusnya dilakukan pada pukul sepuluh nanti resmi ditunda dan akan dilaksanakan di waktu lain, entah kapan. Rencananya Laras akan mendatangi Danu di rumahnya untuk mengundang pria itu secara langsung agar bisa melihat seperti apa reaksinya.Setibanya di rumah Danu, wanita itu justru bertemu dengan Rendi, kepala perawat sanatorium, keluar dari rumah itu membawa dua satu koper besar yang diketahui milik Danu yang dibeli di Swiss bersama Laras beberapa tahun silam saat berlibur.“Itu milik Danu, apa yang
Dengan meninggalkan janji bahwa siang nanti dirinya akan menjemput Nathan, Danu bergegas ke hotel tempatnya menginap untuk bertemu dengan Laras yang tiba-tiba datang membawa kopernya. Padahal kemarin dia meminta Rendi untuk memaketkan barang tersebut dengan santai.Mobil putih itu membelah jalanan ibukota yang padat dengan kecepatan rendah karena saat ini sedang jam-jam sibuk. Setelah setengah jam lebih, Danu tiba di tempat parkir yang letaknya di lantai dasar hotel bintang lima tersebut. Dengan langkahnya yang lebar, dia berjalan ke lobi untuk menemui wanita yang sempat membuatnya jatuh cinta selama beberapa tahun itu.Laras sedang duduk di salah satu kursi yang ada di lobi hotel, menyilangkan kaki dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Bibirnya yang merah sesekali tersenyum membayangkan Danu datang dengan ekspresi terkejut dan tiba-tiba saja … pria itu berdiri di sebelahnya.“Sayang!” Laras berseru sambil beranjak berdiri, kemudian melepas kacamata hitamnya sebe
Bima berdiam diri di dalam mobil dan tatapannya terpaku pada titik tengah kemudi, sementara pikirannya melayang jauh memikirkan mengapa Risa berkata bahwa suaminya telah meninggal padahal pria itu masih sehat bugar sampai detik ini.Lebih dari itu, Nathan pun tampak begitu senang dengan keberadaan sang ayah yang Bima yakini telah terpisah selama ini. Sekarang dia sendirian, sementara Risa pergi bersama sang anak dan juga pria yang mungkin sudah bercerai dengannya.“Tapi kenapa dia berbohong? Apakah sulit mengakui bahwa dia bercerai dengan suaminya?”Bima tertawa tidak mengerti. Sekarang dia benar-benar bingung harus bagaimana lantaran Risa tidak pernah bilang pernah bercerai dan alasannya menjadi ibu tunggal adalah ditinggal mati sang suami. Dia takut jika di antara wanita itu dan ayah Nathan masih ada hubungan yang belum berakhir.Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu menghela napas, kemudian menyalakan mesin mobil dan membawanya pergi dari depan TK Stasiun Pelangi. Apa pun yang sed
Setelah Danu meneleponnya kemarin malam, Jillian tidak berhenti berpikir mengapa pria itu bertanya soal agen real estate seolah-olah akan membeli sebuah unit apartemen di ibukota. Untuk beberapa saat, dia merasa cemas jika sahabatnya itu telah bertemu dengan seseorang yang tidak seharusnya.Jika memang seperti itu, Jillian tak tahu harus bagaimana. Apakah dia harus membantu Risa pergi, atau membiarkan Danu kembali pada rencana awalnya di masa lalu, yaitu merebut anak laki-laki yang telah berusia enam tahun itu.“Ah ….”Pria itu menghela napas panjang sambil menyugar rambut ke belakang.“Seharusnya aku meminta wanita itu pergi saat itu sebelum Danu menemukan mereka.”Jillian memukul keningnya menggunakan tangan yang mengepal dengan pelan, lalu menggeleng dan menepis pikirannya yang tidak menentu.“Tidak. Bisa saja mereka belum bertemu. Jakarta itu luas, rasanya tidak mungkin mereka bisa bertemu secepat itu.”Di saat Jillian tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, seorang wanita melangk
“Sudah, jangan bicara lagi. Mama harus kembali bekerja.” Risa tidak mau meladeni omong kosong anaknya sebab hal itu hanya akan menyudutkan dirinya. Terlebih lagi, Nathan hanyalah anak-anak biasa yang jika keinginannya tidak dituruti, maka dia akan merengek tanpa henti sampai orang-orang dewasa di sekitarnya mengalah. Setelah sang ibu berbalik dan menjauh, Nathan melambaikan tangan dengan senyum lebar. Meski ibunya sering kali marah-marah dan menghukumnya tanpa ampun, satu-satunya orang yang Nathan sayangi di dunia ini adalah wanita itu. “Mama jangan jemput, ya! Papa yang akan mengantarku nanti sore!” Tanpa mendengar teriakan Nathan, wanita itu melangkah masuk ke dalam taksi yang telah menunggu selama lima menit dengan argometer tetap berjalan. Risa mungkin bersikeras membatasi Danu dan anaknya setelah ini, tetapi dia tidak tahu jika apa yang dilakukannya sekarang ini menjadi satu dari banyaknya cara mereka bisa melewati batas. Setelah tiga puluh menit berkendara, Risa tiba di kant
Orang-orang terkejut melihat kedatangan Laras yang membawa keributan. Mereka mengira jika wanita itu baru saja memergoki sang suami yang tengah berselingkuh dengan perempuan lain seperti ini.“Sedang apa kau di sini bersama kekasihku?!” Laras masih melotot lebar, sementara Risa hanya bisa terdiam karena rasa terkejutnya.Wajah ibu satu anak itu basah, juga pakaiannya yang mendadak tembus pandang karena berwarna putih. Risa lantas menatap Laras yang pasti sangat marah karena bantuannya terlihat sia-sia. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” katanya.“Kau pikir aku–”Danu beranjak, mencengkram siku Laras dan membawanya pergi dengan paksa. Tak peduli jika orang-orang menganggapnya sebagai laki-laki tidak punya malu dan lain sebagainya.“Lepaskan aku! Aku belum selesai berbicara dengannya!”Nathan yang melihat Danu pergi bersama wanita kasar itu segera turun dari kursi dan menghampiri sang ibu yang menunduk sambil mengibaskan bajunya yang basah. “Mama tidak apa-apa? Kenapa tante itu jaha