Aditya mengulurkan tangan ke depan mempersilakan paman Grove keluar. "Tunggu, Grove!" seru Aditya sebelum paman Grove benar-benar menghilang dari sana. Paman Grove yang tengah bingung itu menghentikan langkahnya, berbalik badan cepat menghadap Aditya."Katakan ke Tuan Collins aku tidak akan ke perusahaan selama Julia masih di sana. Kalau Tuan Collins tidak senang, dia bisa melemparkan ku dari semua perusahaannya.""Aditya, kamu bicara apa? Kamu tahu saat ini perusahaan sangat membutuhkanmu. Oke, aku akan mencari cara membujuk Selena kembali," ujar paman Grove melanjutkan langkahnya. Dia harus cepat-cepat ke bandara, penerbangannya tinggal satu jam lagi. Sebab pagi-pagi besok dia sudah harus bertemu dengan Tuan Collins. "Ingat ucapanku tadi, Grove!" teriak Aditya mengingatkan pria itu dengan ancamannya tadi.***Di jam delapan pagi Selena sudah harus ke perusahaan Bramasta. Biasanya Hendra menjemputnya ke rumah barunya namun karena ada kesibukan bisnis lain, ia akhirnya naik ojol
"Kenapa? Memang seharusnya aku bertanggungjawab atas dirimu sekarang, Selena," ucap Aditya berpindah tempat duduk berseberangan meja dengannya.Tangan Aditya terulur menggapai tangan Selena, sang mantan bos tersebut mulai lancang memegang pergelangan tangan Selena. Gesit Selena menepisnya, memundurkan kursinya menghindar jangkauan tangan Aditya."Tolong jaga sikapmu di sini, Aditya! Ini perusahaan Bramasta bukan perusahaan Adiguna Jaya! Jadi, jangan seenak hatimu saja!" geram Selena mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Aditya. Wajahnya memerah menahan-nahan rasa kesal. "Pergilah sekarang atau aku akan berteriak?" Selena cuma bisa mengancamnya.Aditya tertawa kecil mendengar ancaman itu. Bukannya takut dan pergi namun tetap bergeming dari duduknya. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu berjanji meluangkan waktumu bicara denganku sekarang. Sekalipun kamu menyuruh security perusahaan ini menyeretku, aku tidak akan mau sebelum kamu setuju! Bagaimana, Selena?" Aditya melipat santai kedua
Setelah beberapa detik hanya meremas telapak tangannya yang banjir keringat, Selena mengangguk cepat. "Tidak ada masalah denganku, Kak," jawab Selena bergetar.Jantungnya berdegup kencang sesaat setelah mengatakannya. Hatinya memanas mengingat beberapa menit lalu ia bertemu dengan Aditya. Ia belum bisa melupakan pria itu, ia hanya berpura-pura membohongi perasaannya kepada Aditya tadi. "Kamu serius kan?" Seolah meragukannya Hendra bertanya. Sekali lagi Selena cuma mengangguk cepat. Pikirnya, tidak ada lagi opsi menolak semua permintaan Hendra. Sampai mereka di restoran mewah, selera Selena mencicipi makanan yang terhidang pun hilang. Selena hanya mengaduk-aduk isi piringnya.Sementara Hendra terus sibuk berbicara di ponselnya. Sekilas mendengar dia tengah membahas fitting baju pengantin.Sial! Kenapa hatiku gelisah begini? Selena meneguk isi gelasnya hingga habis namun hatinya terus saja memanas dan gelisah.'Tidak! Aku tidak boleh bimbang begini, Hendra cukup baik menyelamatkan
"A-aku tidak menginginkan apapun hadiah pernikahan kita, Kak," ujar Selena tertunduk. "Kakak sudah bertanggungjawab penuh atas Baby Lea dan diriku itu sudah cukup untukku." "Tidak perlu berpikir seperti itu, Selena. Ini ungkapan dari rasa bahagiaku bisa menikahi mu nantinya." Hendra masuk ke kamar, berselang beberapa detik kembali dengan membawakan map berwarna coklat muda di tangannya. "Ini untukmu, Sayang," ujar Hendra merangkul pundak Selena, menariknya ke dalam pelukan hangat dirinya. "Berjanjilah tetap bahagia bersamaku," lanjut Hendra mengecup kening Selena. "Hotel ini aku beli untuk kamu, Sayangku." Seketika sekujur tubuh Selena seolah terbakar, terasa panas bukan karena kecupan lancang Hendra , ataupun hadiah mewah itu namun kata 'janji' tadi. Aku harus berjanji apa padanya? Maafkan aku, Kak belum bisa menjanjikan apapun padamu namun aku berusaha untuk tidak merusak rencanamu. Selena membatin dengan memaksakan senyumnya tanpa menyahuti Hendra. Selena mencengkeram map
"Hentikan, Kak. Aku tidak sanggup menahan tubuh kamu," jerit Selena mencengkram sisi kolam renang. Hentakan tubuh kekar Hendra membuat tubuhnya maju mundur sampai-sampai bokong empuknya membentur pusaka pribadi Hendra yang makin mengeras itu.Wajah Hendra makin memanas, napasnya terus memburu, hanya tidak mengindahkan jeritan Selena. Tangannya berpegangan kuat pada kedua buah dada Selena yang menggantung bebas. Meninggalkan sensasi sentuhan nakal di sana dari jari tangannya."Kak, aku tidak tahan lagi," keluh Selena memegangi pinggangnya yang keram akibat terus-terus dipaksa membungkuk ke depan. "Hmm, sakit? Padahal milikku belum memasuki milik kamu, Sayang," sungut Hendra menunjukkan raut wajah memelas."Bukan di sana, tapi pinggangku ini terasa keram, Kak.""Maafin aku, Sayang," ujar Hendra cepat memindahkan Selena duduk di pangkuannya dengan posisi duduk berhadapan. Sementara Hendra duduk di bantalan tangga kedua kolam renang. Kedua kakinya berada di dalam kolam renang."Sayang
“Bayar 500 juta untuk semalam!"Selena mungkin sudah gila mengatakan hal tersebut. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Uang 500 juta itu harus sudah ada besok, sebagai ganti rugi karena Selena telah memecahkan guci keramik milik bosnya.Pria tua bertubuh gempal yang ditabraknya tak sengaja terlihat berasal dari kalangan orang kaya. Selena pikir, tidak ada salahnya mencoba, meski ia harus mengorbankan harga dirinya.Pria tua itu hanya tertawa kecil. Tampak, ia begitu tertarik pada tubuh molek Selena yang tertutup pakaian kerjanya."975 juta kalau kamu masih bersegel. Tapi jika terbukti tidak perawan lagi, kamu harus mengembalikan uangku tiga kali lipat!"Mulanya, Selena membelo mendengar jumlah fantastis tersebut. Tak berselang lama, barulah ia mengangguk setuju. “A-aku jamin, aku masih perawan.”Pria itu mengangguk dingin, lalu meminta Selena mengikutinya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka.Tanpa banyak kata, pria tua yang belum ia ketahui namanya itu membawanya
Pil kontrasepsi sudah didapat, meski Selena harus berkorban menahan lirikan sinis pegawai apotek. Sekarang, ia tinggal hanya harus mencapai kantor sebelum jam tujuh tepat.Dengan napas yang memburu karena berlari sedari tadi, juga menaiki tangga alih-alih lift … Selena akhirnya sampai tepat waktu di lantai lima–tempat ruangannya berada.“Akhirnya….”Selena mengelap peluh yang membanjiri dahi dan wajahnya. Kemudian dengan tergesa-gesa, ia membuka pintu ruangan. Di saat yang bersamaan, seseorang keluar dari ruangan tersebut dan membuat Selena yang juga tergesa-gesa menabraknya.BRUKKAHKK!Selena pun tersungkur ke lantai, wajahnya hampir mencium ujung sepatu pria yang masih berdiri di sana. Dengan gusar, Selena mengangkat tubuhnya untuk memberi pelajaran ke orang yang berani menghalangi jalannya. Namun ..."P-pak Aditya?" Selena ternganga melihat pria yang menghalangi jalannya adalah sang Pimpinan, dan ruangan di depannya yang adalah ruangan pimpinan, bukan ruangannya.Cepat-cepat Se
"Di mana aku menaruhnya?!"Begitu mengingat tasnya sempat jatuh di ruangan Aditya tadi, Selena langsung buru-buru ke kantor. Bisa tamat riwayatnya kalau sampai Aditya menemukan pil tersebut, apalagi jika sampai pria itu mengetahui fungsi pil itu.Sayangnya, ruangan Aditya terkunci sehingga Selena tidak bisa masuk ke sana. Satu-satunya yang bisa ia cek kemudian adalah ruangannya sendiri.Laci kerjanya jadi sasaran Selena untuk diobrak-abrik. Penjuru ruangannya pun tak kalah dari pantauannya. Namun, yang ia dapati hanya ruangannya jadi berantakan, tanpa menemukan pil yang ia cari.“Hah….” Selena mendesahkan rasa kecewa. Pil itu mungkin bisa ia beli lagi, tetapi yang menjadi pikirannya adalah … bagaimana jika ada yang menemukan dan mengetahui kalau ialah pemiliknya?Saat akan keluar dari ruangan, terdengar suara langkah kaki melangkah lalu berhenti di depan pintu ruangannya. Selena melirik ke arah jam dinding. "Jam sembilan? Siapa yang masih ada di lantai lima di jam segini, ya?" gumam