Waktu seolah tak mau berpihak pada Dinda, ia masih terus berjalan sangat cepat, terutama di saat Dinda berada di rumah. Pagi kembali menjelang tanpa mampu ia tahan, dan Dinda pun kembali harus menghadapi suasana kantor yang membuatnya merasa panas dingin itu."Mana nomor Gibran!" Fahri menyodorkan tangannya ke arah Dinda yang baru saja keluar dari kamar. Bahkan kali ini Fahri yang turun tangan, menyiapkan sarapan mereka pagi ini karena Dinda bangun kesiangan. "Buat apa?" Mata penuh beban itu menatap Fahri. "Uda mau nelpon, minta izin supaya Nda nggak usah masuk kerja dulu, hari ini kita ke dokter.""Nda nggak sakit," tepis Dinda. "Kuping uda yang sakit mendengar Nda tiap malam berteriak seperti orang gila!""Kalau begitu nanti malam Nda tidur di kamar tamu saja, biar tidur Uda tidak terganggu.""Ini bukan permintaan, Nda! Tapi perintah! Nggak usah nawar!" Fahri membanting piring yang berada di tangannya ke meja makan karena sudah tak tahan dengan sikap Dinda yang terlihat tak pedul
Dinda menahan jemarinya yang bergetar saat menempelkan ujung jarinya ke mesin absensi yang menempel di dinding dekat lift. Ia mengembuskan napas berkali-kali untuk meredakan sesak yang kembali mulai menekan ulu hatinya. Mesin absensi itu memberi tanda bahwa sidik jari Dinda tidak terdeteksi. Dinda kemudian menyeka jemarinya dengan ujung baju, mencoba kembali menempelkan jarinya ke mesin yang mendeteksi sidik jarinya itu, tetapi masih gagal. "Masih lama?" tanya seseorang dari belakang Dinda. Saat Dinda berbalik, ternyata sudah ada beberapa karyawan yang juga tengah mengantri hendak menggunakan mesin absensi. Merasa tidak enak hati karena harus membuat beberapa orang menunggu, Dinda akhirnya memencet panel angka, memasukkan nomor identitas karyawannya dengan jari bergetar. Setelah itu, Dinda buru-buru meninggalkan mesin absensi dan berjalan cepat menuju ruangannya. Meski di luar ekspresi Dinda terlihat masa bodoh, tetapi di dalam hati Dinda merasa gentar bertatapan langsung dengan or
Dinda berusaha kuat mengingat apa yang terjadi sebelum terbangun di rumah sakit. Ia kemudian mencubit pipinya, berharap apa yang dikatakan Fahri sebelum keluar ruangan tadi hanya mimpi. Dinda bergidik, beberapa kali pernah memikirkan untuk mengakhiri hidup karena beban yang memenuhi pikirannya seolah tak sanggup lagi ia terima, tapi tak menyangka hal itu benar-benar ia lakukan. Dinda memperhatikan balutan kain kassa pada pergelangan tangan kirinya. Sensasi nyeri yang timbul saat ujung jemarinya digerakkan, meyakinkan Dinda apa yang tengah ia alami ini nyata. Namun, peristiwa sebelum ia tak sadarkan diri juga terasa begitu nyata. Pingsan di kantor, hal itu yang masih terekam di benak Dinda. Kepala Dinda mendadak terasa pusing seperti dipukul saat berusaha keras mengingat peristiwa sebelum ia tak sadarkan diri itu. Dinda akhirnya memilih untuk memejamkan mata, tetapi kepalanya terasa penuh oleh suara-suara yang begitu memekakkan. Sekuat apapun ia menutup telinga, suara itu masih saja t
Kecerian Dinda itu tak bertahan lama, hari ini Fahri mendapati Dinda kembali terlihat murung saat berjemur di taman depan ruang rawatnya. "Nda jangan mikirin Cha Eunwoo terus, dong. Uda merasa dikacangin," canda Fahri sembari merengkuh tubuh Dinda ke dalam pelukannya. Sudah satu bulan lebih ia mendampingi Dinda di rumah sakit. Fahri menolak saat Dinda dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa. Ia tak ingin Dinda makin merasa terpuruk, kendati dokter yang menangani Dinda mengatakan bahwa rumah sakit yang khusus menangani gangguan kejiwaan itu tak seburuk stigma masyarakat selama ini. "Saya tidak ingin istri saya merasa makin rendah diri, Dok." Begitu alasan Fahri tatkala menandatangani surat penolakan rujukan dari dokter. Ia memilih Dinda di rawat di rumah sakit yang menangani penyakit umum, supaya Dinda tak merasa berbeda.Dinda mendongak, menatap wajah lelaki yang selama ia dirawat di rumah sakit itu selalu menemaninya. "Uda ... bagaimana pekerjaan Uda?" tanya Dinda mengabaikan candaan yang dil
Semua endapan emosi yang bertahun-tahun disimpan Dinda, perlahan terbongkar. Seperti ada beban yang Dinda rasakan menyusut dari dadanya. Awal menjalani terapi Dinda lebih banyak diam dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Sebagai psikiater, Bianca dengan sabar memancing dan mendengarkan Dinda untuk mengeluarkan apa yang menjadi penyebab tekanan yang ia rasakan. Dinda hanya butuh didengar, karena selama ini tak ada tempat untuknya berkeluh-kesah."Wajar merasa takut kehilangan, tapi jangan sampai ketakutan itu yang menghambat kebahagiaan yang seharusnya Dinda rasakan," tukas Bianca. Dinda mengerjap, mencoba meresapi kalimat yang diucapkan oleh konselornya itu. "Aku salut sama Dinda, bisa kuat sampai berada di titik ini. Tapi, ada satu hal yang perlu Dinda ketahui, bahwa kita sebagai manusia, tidak bisa mencegah apa yang akan terjadi nanti. Seperti bermain di pantai, jika kita fokus pada ketakutan diseret ombak, kita tidak akan pernah menikmati lembutnya sapuan ombak ke kaki kita. At
Fahri bangkit dari baring dengan panik ketika tak melihat Dinda berada di sampingnya. Jam masih menujukan pukul 04.00, dengan tergesa Fahri menuju kamar mandi, panik makin menjadi tatkala tak ia dapati Dinda di sana. Ia beralih keluar kamar, aroma masakan yang menguar samar, meredakan panik yang Fahri rasakan. Apalagi ketika ia melihat punggung Dinda yang tengah asyik mengerjakan sesuatu di meja dapur. "Nda masak apa?" Fahri mendekat sembari mengembus napas lega setelah melihat sosok istrinya. Melihat Dinda tengah sibuk di dapur, sesaat Fahri merasakan seolah dunianya kembali normal. Sudah lama sekali tempat itu tak disentuh semenjak kondisi Dinda tidak baik. Dinda menoleh dengan senyum menghias bibirnya. "Pagi, Uda!" sapanya dengan ceria. "Nda mau masak sarapan." Dinda kembali memalingkan wajah dan menekuri papan pemotong di hadapannya. Fahri menghenyakkan tubuhnya di kursi pantry. Kepalanya sedikit berdenyut karena tadi terbangun dengan panik. "Nda nggak bisa tidur lagi?" tanya F
Pagi ini setelah selesai mandi, Fahri kembali mendapati pakaian kerja yang sudah disiapkan Dinda di atas tempat tidur. Bahkan Dinda membantunya memasangkan dasi. Sudah dua minggu ini ia kembali bekerja ke kantor karena di paksa Dinda. Bibir Fahri tak henti mengulas senyum semenjak tadi ia pulang dari mesjid. Kali ini ia sudah tak mampu menahan diri untuk tak mengecup lembut bibir Dinda. Awalnya perlahan kemudian berubah cukup intens karena Dinda juga memberikan respon. "Nanti Uda terlambat kerja," tukas Dinda melepas tautan bibir mereka dengan sedikit mendorong tubuh Fahri dan menunduk malu. Wajahnya mendadak terasa terbakar. Fahri hanya mampu mengangguk dengan senyum kikuk dan menggaruk pelipisnya sebagai tanda salah tingkah. Ia belum kuasa meminta haknya sebagai suami, mengingat perjuangan Dinda untuk kembali bangkit ke titik ini. "Nanti saja kalau Uda sudah pulang kerja," bisik Dinda malu-malu, seakan mengerti keinginan suaminya. Wajah Fahri kembali berubah cerah. "Beneran?"Di
Hari ini Fahri pulang kerja dengan penuh semangat karena mengingat janji Dinda sebelum berangkat kerja tadi. Senyum tak berhenti mengulas di bibirnya. Bahkan dia membeli seikat anyelir putih untuk Dinda, di perjalanan pulang. "Anyelir putih itu melambangkan kesetiaan dan perasaan cinta yang dalam. Ini cocok buat dikasih ke istri, Mas," terang penjual bunga, ketika Fahri kebingungan mencari bunga yang tepat buat Dinda. Harapan Fahri disambut senyum manis Dinda, kandas tatkala melihat istrinya itu menyambut dengan kerudung instan yang miring, wajah penuh keringat dan bekas cakaran. "Nda habis ngapain?" Suara Fahri sedikit histeris melihat tampilan Dinda yang jauh dari bayangannya. "Maaf, Uda. Nda belum sempat mandi karena baru habis mandiin Snowy."Kening Fahri berkerut mendengar jawaban Dinda. "Snowy?"Mata Dinda mendadak berbinar saat mendengar pertanyaan suaminya. "Nda tadi nemu anak kucing di pos satpam. Kata Pak Satpam, anak kucing itu dari kemarin di sana, sepertinya dibuang o