Ika memperat genggamannya, "Kita hanya harus bertahan, maka semuanya akan baik-baik saja," ucapnya dan Iki membalas genggaman kembarannya.
“Tapi... aku penasaran dengan wanita itu. Siapa dia? Hingga Kevin memanggil kita kembali. Padahal dia yang mengirim kita pulang,” tanya Iki.
Ika menggelengkan kepalanya, “Aku juga tidak tahu. Baik Kak Rai maupun Al tidak memberitahukannya. Mereka hanya mengatakan bahwa Kevin meminta kita kembali ke Raltz untuk menjaga seorang wanita.”
Iki menghela napasnya, “Kita memang bukan vampir yang normal. Aku mengakui kita memang memiliki kekuatan yang hebat. Tapi tetap saja, memanggil kita kembali hanya untuk menjaga seorang wanita terdengar mencurigakan.”
“Ini yang aku takutkan, Iki. Kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Kevin memang baik, tapi dia tetaplah pemimpin. Ia sama seperti kak Rai. Ia punya kewajiban dan beban yang harus dijalani. Meskipun dia pernah ber
Pine berjalan dengan cepat menuju kamarnya, sedangkan di belakangnya Kevin berusaha mengejar. Namun Pine sama sekali tidak berniat berhenti, ia bahkan tidak menjawab panggilan berkali-kali yang ditunjukkan untuknya. “PINE!” Kevin menghadangnya lalu mencekal tangannya, membuat Pine mau tidak mau berhenti dan berbalik. “Dengarkan dulu apa yang aku katakan.” “Apa yang harus aku dengarkan? Aku harus mendengarkan tentangmu yang mencoba bunuh diri? Ahh... atau aku seharusnya mengatakannya dengan menyakiti diri sendiri karena kau ini makhluk abadi yang tidak akan bisa mati?” “Pine!” seru Kevin merasa sedikit sakit hati. Pine terdiam, ia merasa ucapannya sudah keterlaluan. Namun, ia tidak bisa menghentikannya. Mendengar pria yang dia cintai berusaha untuk menyakiti dirinya sendiri sudah sangat membebani dirinya. “Aku tahu kau marah. Tapi maaf, inilah diriku,” jelas Kevin. Pine menghela napasnya, “Vin, aku tahu jika ini membuat
Diana menatap tajam para vampir ini, "Aku tidak mau membuat keributan. Biarkan aku lewat, maka semua ini tidak akan terjadi.”Si pria yang memberikan komando mempersiapkan diri untuk melawannya. “Jelas dia seorang manusia, tapi aku dapat merasakan dia bukan manusia biasa,” batinnya."Siapa kau sebenarnya?" tanya si pria kembali.Diana menarik napasnya dalam, "Maaf, tapi aku sudah kehilangan banyak waktu.”"Huh?"BHUK!Suara jatuh terdengar keras dan si pria sudah terbujur pingsan karena Diana memukulnya dengan keras tepat di daerah tengkuknya berada. Pria lain yang melihat ini kembali berdiri dan menyerang Diana. Namun, lagi, Diana berhasil menghentikan serangan yang ditunjukkan padanya. Membuat pria ini langsung tersungkur kembali. Diana mengepalkan tangannya erat-erat."Aku benar-benar sudah kehilangan banyak waktu,” ucap Diana, “Maaf jika aku melakukan ini.&rdqu
Mobil sedan hitam milik Haltz yang membawa Ika dan Iki terus melaju dan mulai memasuki daerah netral. Daerah yang merupakan daerah tanpa kekuasaan, dan siapa pun berhak melewatinya tanpa terkecuali. Namun, karena tujuan Ika dan Iki adalah Raltz, mereka perlu menunjukkan surat pengantar sebelum memasuki wilayah tersebut."Apa Anda membawa surat pengantarnya, Tuan Riki dan Nona Rika?" tanya prajurit yang duduk di samping kemudi melalui kaca yang memisahkan ruang kemudi dengan kursi penumpang."Ya," balas Iki singkat lalu merogoh saku jasnya dan memberikan surat yang dimaksud ke prajurit tersebut."Saya mohon izin untuk mengantarkan surat ini," ucap si pengawal dan mendapatkan anggukan dari Iki.Prajurit tersebut membuka moon roof, dan dalam sekejap meloncat keluar dari dalam mobil. Setelahnya, dia langsung berlari menembus gelapnya malam menuju ke wilayah perbatasan Raltz.Ika menghembuskan napasnya, ia sangat tegang namun I
Diana terus saja berlari tanpa henti ke arah utara, menembus Hutan Silver. Ia berlari menuju ke wilayah Lefko Chioni atau tepatnya tempat Raltz berada. Napasnya mulai terdengar putus-putus, ia kemudian memutuskan untuk berhenti sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam, dan memandang hutan yang seperti tidak berujung.Diana terus saja berlari dan berlari. Di perbatasan utara Hutan Silver, ia berhenti kembali. Langit yang mulai berubah terang menarik perhatiannya. Kepalanya mengarah ke atas, memandang langit yang kini tidak lagi terhalangi oleh daun-daun ataupun ranting pohon.Manusia ini menghela napasnya dalam, “Mereka pasti ketakutan," batinnya. "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang vampir bodoh itu pikirkan. Terlihat jelas dia menyayangi adik-adiknya. Tapi kenapa...? Kenapa dia terus saja mendorong mereka pergi?"Diana menurunkan pandangannya dan menatap tajam ke depan. "Ini bukan waktunya untuk memikirkan alasan yang dia p
Haahhh... haahhh... haahhh...Deru napas terdengar saling bersahutan. Peluh keringat terus mengalir dari kening Diana dan menuruni wajahnya. Petang mulai beranjak ke senja. Sejak tadi, matahari sudah menurunkan dirinya, memulai pertukaran posisinya dengan rembulan. Sedangkan, Diana masih saja berlari dan terus berlari.Sshhh...!Sebuah tangan terulur ke arahnya, membuat Diana langsung menghentikan larinya. Diana terdiam, namun sosoknya yang terlihat misterius karena mantel panjang yang menutupi tubuhnya dan juga tudung yang menyembunyikan wajahnya, membuatnya dicurigai."Siapa kau?" tanya seorang pria pemilik tangan terulur ini dengan suara besarnya.Diana tidak menjawab, ia memperhatikan dirinya yang kini sudah dikelilingi oleh lima pria dewasa dengan tubuh yang cukup besar. Tentu saja jika dibandingkan dengan ukuran tubuh, ia sudah kalah telak."Aku bertanya, siapa kau!?" ulang si pria seraya memperkeras
"Vin...?" tanya Pine bingung melihat hadirnya dua anak kecil di hadapannya. "Apa maksudnya ini?" Tapi Kevin mengabaikannya, dia malah bertanya ke si kembar, "Ada apa dengan wajah tegang kalian? Apa si arogan ini mengatakan sesuatu yang tidak-tidak? Iki menjawabnya dengan menempelkan tangan ke dada dan membungkuk hormat. "Perkenalkan saya adalah Riki Harrison de Haltz, dan di belakang saya adalah adik kembar saya, Rika Harrison de Haltz. Kami berada di sini sebagai utusan Klan Haltz yang diutus langsung oleh Yang Mulia Raizel Harrison de Haltz.” Kevin menyunggingkan salah satu sudut bibirnya, "Apa-apaan ini? Kenapa formal sekali?" Kevin beralih ke Pine yang melihatnya penuh kebingungan, "Pine... Seperti yang kau dengar mereka adalah Riki dan Rika, mereka adalah anggota keluarga utama Klan Haltz dan adik-adik dari pemimpin Haltz—Raizel.” "Hmm... baik...? Lalu?" tanya Pine yang tidak mengerti. "Mereka adalah pengawalmu mu
Haahhh... haahhh... haahhh...Terdengar napas yang saling memburu, kemudian menguap menjadi asap berwarna putih transparan. Diana beberapa kali menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, ia berusaha untuk menormalkan frekuensi bernapasnya.Di sisi lain, hamparan salju luas dengan tanpa adanya pepohonan menyambut dirinya. Diana berdiri memandang ke arah kastel yang cukup besar di hadapannya. Seraya memegang tangannya yang mulai membeku kedinginan, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Apa ini Raltz...?" tanyanya dalam hati.Diana mulai melangkahkan kakinya melewati tebalnya salju, membuat jejak-jejak langkahnya tercipta dengan jelas. Selain itu, Diana juga kesulitan melewatinya karena tinggi salju ini sudah menyentuh betisnya, tapi ia terus menggerakkan kakinya. Rasa dingin yang menusuk tubuhnya sama sekali tidak ia rasakan.Sesampainya di depan gerbang yang tidak ad
Al mendengus keras lalu melihat ke arah Diana yang tadi sedang berdiri diam, "Huh...? Ke mana dia?"Rai bukannya menjawab, ia malah memberikan pertanyaan. "Bukankah dia semakin aneh, Al?""Tentu saja. Sejak awal pun dia juga sudah aneh, itu sebabnya aku menyuruhmu untuk membunuhnya," jelas Al, “Tapi ke mana dia?”"Dia mirip seseorang," ujar Rai berusaha mengingat sesuatu hingga kedua alisnya menekan ke dalam."Hah...? Maksudmu?" Namun, Rai malah membungkam mulutnya.Al akhirnya menyerah dengan pertanyaan keberadaan Diana karena dia rasa vampir di sebelah ini memang benar-benar sudah gila, dan bertanya pertanyaan normal padanya hanya membuang-buang energi."Entah, aku juga tidak yakin. Tapi kepribadiannya dan juga sikapnya. Dia seperti orang yang aku kenal," jawab Rai kemudian.Al menarik napasnya dalam-dalam, "Baiklah... wanita itu aneh, kau juga aneh. Hanya aku yang normal di sini," ujarnya tidak peduli l