Setelah latihan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya sampailah pada hari H nya. Kelas Safira menampilkan drama cinderrella diatas panggung. Tirai yang besar dan juga tinggi perlahan terbuka, memperlihatkan seorang saja yang sedang gundah gulana, memikirkan putranya yang masih saja sendirian, dan tak kunjung menikah. Sang raja duduk disinggasana kebesarannya, (diperankan oleh Safir Ahmad Fadhil Zikri) disampingnya berdiri seorang pengawal (diperankan oleh Adira Fairuz). “Mohon Ampun Tuanku, apa yang membuat baginda raja terlihat begitu bersedih? Apakah hamba boleh mengetahui, gerangan apa yang membuat baginda bersedih?” pengawal berkata dengan takzim menundukkan kepalanya didepan sang raja. “Saya bersedih memikirkan putra kerajaan, belum juga kunjung menikah. Jika putra mahkota tidak menikah, dan tidak memiliki keturunan, lalu siapa yang akan melanjutkan memimpin kerajaan ini?” sang raja sangat bersedih jika memikirkan kelangsungan dan kejayaan kerajaannya dimasa yang akan dat
“Mau kemana putri? Kita belum selesai berdansa.” Fikri mengucapkannya terbata-bata, antara yakin atau tidak. Apakah itu, dialog yang harus dia ucapkan atau tidak. Safira mencoba bangkit, dan high hillnya tidak copot dari kakinya, seharusnya ketika dia jatuh high hill itu terjatuh sebelah. Melihat adegan demi adegan telah berantakkan, Fikri berinisiatif untuk memberitahu gadis itu, melewati dialog tambahan. Fikri meraih tangan Safira yang sudah berdiri. “Putri, apakah kamu akan meninggalkanku?” fiks, dialognya tidak ada didalam naskah. Membuat para guru dan siswa lainnya, hanya mengelus dada dan tepuk jidat. Mata keduanya beradu, berharap Fikri mengatakan sesuatu padanya. Karena saat ini, otak Safira sudah seratus persen, blank. “Jatuhkan sebelah sepatumu, sesuai adegan didalam naskah.” Fikri mengingatnya sambil berbisik. Safira hanya menghela nafas, dan beracting berlari lagi. Itu membuat Fikri mengerutkan dahinya, namun ketika Safira berusaha melepaskan sepatunya, dengan melak
“Freya....” teriak Fikri, melihat tubuh Freya terpelanting beberapa meter dari tempat kejadian. Fikri yang masih memiliki kesadaran, sempoyongan mendekati kekasihnya itu sekaligus sahabatnya, yang dia panggil dengan panggilan, Caca. Fikri menyentuh urat nadinya dan ternyata sudah tidak berdenyut lagi. “Freya...” teriak Fikri, histeris memeluk erat Freya untuk terakhir kalinya. Fikri mengeleng-ngelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang Freya dibenaknya. “Ayo bang, kejar Aruna.” Aruna berteriak, keluar dari kamar abangnya setelah mengelitik perut sang abang. “Awas ya, kalau nanti abang tangkap, Aruna tidak akan abang lepas.” Fikri mengejar Aruna bocah yang masih berumur 5 tahun itu, yang telah mengangu tidurnya. Aruna dengan gesit mampu menghindar dari tangkapan abangnya. Hingga sesuatu terjadi, kaki Aruna Wardana Wijaya Kusuma tergelincir. “Abang....” teriak Aruna. Spontan Fikri yang sudah hampir saja mendekati adiknya itu, mencoba menarik tangan bocah itu, agar tidak
Petaka, itu adalah salah satu kata yang mampu, mengambarkan suasana hati Safira malam itu. Dia diusir dari rumah Fatma Wati, karena fitnah yang mengangapnya psk. Ditengah jalan, dia bertemu dengan Safir Ahmad Fadhil Zikri, mereka terlihat berbincang sebelum akhirnya, orang suruhan Abraham Adhitama, memaksanya dan masuk kedalam mobil. “Kau...” Safira terlihat kesal saat melihat Abraham Adhitama disampingnya. Dia hanya melongos kesal. "Darimana kau tau, aku ada di sana hah?" Safira marah. Ingin sekali rasanya, mencekik lalu memotong-motong tubuh Abraham. Namun Abraham, hanya tersenyum simpul. "Apa jangan-jangan, ini semua rencanamu ya?" sambungnya, mencurigai Abraham yang gerak-geriknya terlihat santai dan mencurigakan. "Jangan asal tuduh." jawab Abraham cuek. "Kalau tidak kau, siapa lagi hah?" Safira semakin emosi, meninju wajah Abraham. "Kau ini kecil-kecil ganas ya." Abraham mencolek, wajah Safira lembut. Safira cepat menepis tangan Abraham, dengan kasar. Terbersit di pikiran A
“Sidang perkara pidana, atas nama terdakwa Barra Rafeyfa Zayan kami nyatakan dibuka, dan terbuka untuk umum,” ucap Hakim Ketua, yang diikuti ketukan palu.Pihak pembela, kasus kematian Bagas Hidayatullah, menghela napas pendek. Akhirnya setelah belasan tahun, pihak keluarga yang menginginkan keadilan kematian Bagas, kembali dibuka dipenggadilan Rokan Hilir.Selanjutnya, Hakim Ketua membacakan dengan rinci nama, alamat, agama, umur, jenis kelamin terdakwa.“Pada tahun 2012 pada tanggal 12 April, tepat pukul tiga sore, seorang yang bernama Antoni, memakai seragam hitam, meletakkan sebuah sejata api di rerumputan taman, rumah Hartawan Wijaya Kusuma. Disore itu, Fikri Wijaya Kusuma sedang bermain kejar-kejaran, dengan pamannya Bagas Hidayatullah. Saat sedang berlari, Fikri yang masih, berumur lima tahun mendapati pistol tersebut, dan mengambilnya, lalu menembakkan nya pada sang paman Bagas Hidayatullah, hingga Bagas Hidayatullah tewas di tempat,” ucap sang pembaca dakwaan dengan lantang.“
“Sebelum kami, memanggil para saksi... Ada beberapa hal, yang harus kami jelaskan. Pada tanggal 12 April 2012, tepat pukul 08:00 wib, kami menemukan riwayat panggilan telepon, dengan nomor bernama Zayan, dan menelpon seseorang yang bernama Antoni. seorang akuntan, dan pembunuh bayaran.““Antoni ini, sudah sering keluar masuk bui, karena tindakan pembunuhan, namun dia selalu divonis bebas, karena tidak cukup bukti untuk menjerat tersangka, dan semuanya dianggap fitnah dari seseorang yang tidak menyukai Antoni. Ada lima riwayat, panggilan dihari tersebut, Pertama dijam 08:00, Kedua di jam 10:30, ketiga di jam 11:45, keempat di jam 14:00, dan kelima di jam 14:58, dengan orang yang sama, dan nomor yang sama.”“Kami juga menemukan map, yang berisikan foto orang-orang yang mungkin menjadi target pembunuhan. Kami mendapatkan foto ini, didua tempat berbeda. Diantaranya ada pak Bagas Hidayatullah.”“Baiklah, selanjutnya, kami akan memanggil saksi pertama, yaitu Antoni yang diperintahkan, Barra
Safira dan para bodyguardnya, mengawasi Antoni dari ruang kontrol, yang berada di ruang lain. Mereka sengaja, membiarkan Antoni pergi, karena dia akan dijadikan umpan untuk mengetahui lebih banyak informasi tentang Barra Rafeyfa Zayan. Setelah bisa meninggalkan rumah tempat penyekapannya, dia pun berusaha menghubungi Barra, namun panggilannya tidak diangkat oleh Barra. Sampai akhirnya Antoni mendatangi rumah Barra dan dengan memaksakan diri, berusaha masuk untuk menjumpai Barra. “Hey, saya sudah katakan padamu. Pak Barra, tidak ada dirumah, apa kau tidak bisa mendengar? Sekarang keluar dari rumah saya, atau akan aku panggilkan polisi untuk mengusirmu.” teriak Vano ponakan Barra geram, melihat Antoni tidak menghiraukannya. Pria tersebut semakin marah, malah menghajar sang pria dengan bringas, Antoni berusaha melawan, namun kekuatannya kalah telak. Di tambah lagi, tiga hari dia disekap dan juga disiksa, dan terus di introgasi. Barra akhirnya turun dari kamarnya, karena mendengar keri
“Aku tidak menuduhmu! Kita harus berhati-hati! Semua orang tidak bisa dipercaya, termasuk rekan bisnis! Aku harap, kita saling menjaga kesetiaan.” “Aku tidak mungkin mengkhianatimu, bahkan aku rela mengorbakan rekan kerja sekaligus sahabatku Bagas Hidayatullah, demi kelancaran misi kita….” “Ya walaupun kau berani membunuhanya, tak terkecuali aku juga akan menjadi targetmu kan, saat kau merasa terjebat disuatu kondisi?” Satu persatu saksi di datangkan, oleh pihak pembela kasus Bagas Hiyatullah, semua anak buah Barra menjadi saksi kejahatan Barra, hingga membuat para kuasa hukum Barra berkali-kali terdiam, tidak bisa membantah tim pembela kasus kematian Bagas. “Sekarang sudah jelas semuanya, pak Hakim Ketua. Pak Barra ini, sudah terlalu jauh berjalan menikmati segala kejahatannya. Sekarang waktunya, bapak Barra menerima konsekuensinya. Dia bukan hanya telah membunuh pak Bagas Hidayatullah, tapi juga merusak anak bangsa ini.” “Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika