Share

Anak yang Tak Jelas Asal-usulnya

Mini Cooper berwarna merah itu melaju melewati gerbang menjulang yang terbuka otomatis. Mengitari sebuah air mancur besar yang ada di pusat pelataran menuju sebuah rumah megah bergaya modern yang berdiri di atas lahan sendiri seluas 4500 M², di kelilingi benteng yang beberapa meter lebih tinggi dari bangunan rumah huni.

Seorang satpam penjaga berusia paruh baya menghampiri mobil yang baru saja berhenti di antara jejeran mobil mewah lainnya. Dia membuka pintu dan sedikit tersentak saat melihat perempuan cantik bergamis panjang dengan pashmina dan kacamata hitam turun dari dalamnya.

"No-Non Jihan," ujarnya terbata.

Jihan membuka kacamatanya lalu tersenyum hangat. "Apa kabar, Pak Dani?"

"Ba-baik, Non. Sudah lama sekali sejak Non menginjakkan kaki di rumah ini. Lima belas tahun, ya?" tanya Pak Dani memastikan.

Jihan mengangguk pelan.

"Ah, ini pasti Den Galih dan Non Rara-Riri. Saya pernah dengar beberapa kali Bapak bercerita tentang cucu-cucunya." Pak Dani beralih pada anak-anak Jihan yang baru saja turun dari kursi penumpang. Dengan sopan mereka mencium tangan satpam yang sudah lama mengabdi pada keluarga ibunya.

Pak Dani menatap takjub. Sama halnya dengan sang majikan, Jihan juga pandai mendidik anak-anaknya untuk mengedepankan adab dibanding ilmu.

"Iya, Pak. Ngomong-ngomong Ayah ada?"

"Ada di dalam, Non. Kebetulan lagi sama Den Zidan."

Sejenak mata Jihan mengerjap. "Loh, Zidan sudah pulang?" serunya yang sedikit terkejut karena kembarannya itu tiba-tiba pulang lebih cepat daripada yang dijadwalkan tahun depan.

"Iya, Non. Baru semalam beliau pulang ke Indonesia."

Jihan mangut-mangut.

"Kalau begitu saya permisi ke pos lagi," pamit Pak Dani sembari sedikit membungkukkan tubuhnya.

"Iya, Pak. Terima kasih, ya."

Sepeninggal Pak Dani Jihan mengiring ketiga anaknya untuk masuk ke dalam. Namun, sebelum sampai di anak tangga menuju teras seluas lapangan futsal tersebut, ucapan Galih menghentikan langkah Jihan begitu saja.

"Ibu kok nggak pernah bilang kalau kakek sekaya ini?" tanya remaja berusia empat belas tahun itu.

Jihan menoleh.

"Iya, Bu. Tempat ini kayaknya bahkan lebih luas daripada empat rumah di kompleks kita," sahut Rara.

"Selama ini kita ketemu Kakek kalau nggak di restoran atau kafe pasti di villa yang ada di Jaksel, kan?" timpal Riri.

"Padahal kalau Ibu kasih tahu Nenek, Om Bahar, Tante Nisya, dan Tante Nova kita nggak direndahkan. Ibu juga nggak akan selalu dituduh mengincar harta Ayah," tambah Galih.

Jihan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari ketiga anaknya. Perempuan itu mengusap kepala mereka satu per satu.

"Sayang ... kekayaan itu bukan sesuatu yang patut untuk dipamerkan. Semua nikmat dunia yang kita dapatkan hanyalah titipan dari sang pemilik kehidupan. Lagipula yang kaya, kan Kakek, bukan ibu."

Mereka bertiga mengangguk mengerti. Lalu kembali mengekori Jihan.

Pintu dibuka setelah bel dua kali ditekan. Seorang perempuan setengah baya dengan pakaian rapi muncul dari baliknya.

"Non Jihan!" serunya antara kaget dan senang.

"Bi Arum!" Jihan memeluk kepala asisten rumah tangga yang sudah lama mengabdi pada keluarganya tersebut.

"Mari Non, Bapak ada di ruang keluarga sama Den Zidan."

Jihan mengangguk, lalu merangkul Rara dan Riri menuju ruang keluarga yang ada di bagian timur lantai dasar, melewati beberapa ruang yang disekat tembok atau rak-rak menjulang.

Jihan tersenyum saat melihat lelaki tua bertubuh ringkih yang duduk di kursi roda. Wajah yang selalu meneduhkan tiap kali Jihan menatapnya.

"Ayah!"

Lelaki berusia akhir enam puluhan itu menoleh. Senyumnya melebar, sisa-sisa ketampanan masih terlihat di wajah senja yang penuh dengan garis-garis penuaan. Rambutnya yang hampir memutih semua selalu dipangkas rapi dan tak pernah Jihan lihat terjuntai menyentuh daun telinga.

"Akhirnya kamu pulang juga, Nak!" seru Pak Ridwan. Dia merentangkan tangan meminta pelukan dari sang putri tersayang yang lima belas tahun lalu memilih membangkang dengan pergi bersama lelaki pilihan tanpa restu dari Pak Ridwan.

Meskipun begitu tak ada dendam. Dia tetap menerima keputusan Jihan, dan menghadiri pernikahan putrinya dan Burhan. Menerima bukan berarti merestui. Itulah alasan kenapa sampai lima belas tahun ini Pak Ridwan tak pernah sekalipun menghadiri undangan dari keluarga Burhan. Dia selalu mengatur pertemuan hanya bersama anak dan cucu-cucunya saja.

Jihan tak pernah mengatakan kesulitan apa pun yang dia alami selama menjadi bagian dari keluarga Hakim. Kebahagiaan palsu yang berhasil ditunjukkannya pada Pak Ridwan menahan konglomerat terpandang itu untuk menyeret putrinya pulang. Walhasil semua rasa sakit hanya bisa Jihan telan sendirian. Meskipun dia memiliki banyak kesempatan untuk lari dari kenyataan.

Pintu rumah ini memang selalu terbuka kapan pun Jihan ingin pulang. Namun, perasaan yang amat dalam pada Burhan terus menahannya untuk tinggal. Akhirnya satu-satunya alasan Jihan pulang adalah kematian Burhan.

***

"Ayah turut berduka atas meninggalnya Burhan. Maaf, kalau ayah tak bisa menghadiri pemakamannya." Pak Ridwan kembali membuka percakapan setelah Galih dan adik-adiknya diantar ke kamar.

Jihan hanya bisa tersenyum menggapinya.

"Tak apa, Yah. Jihan mengerti."

"Omong-omong tentang pemakaman. Hari ini rencananya aku mau datang ke rumah keluarga almarhum Mas Burhan untuk mengucapkan bela sungkawa," sela Zidan tiba-tiba.

Jihan menoleh pada saudara kembarnya tersebut. Lelaki tampan dengan setelan piama itu terlihat hendak beranjak.

"Tak usah, Dan." Jihan menarik tangan Zidan dan memintanya untuk kembali duduk di sampingnya.

"What happens? Are you, okay, Sister? Kamu tidak dizalimi keluarga Mas Burhan, kan?" terka Zidan tiba-tiba.

"Bukan Begitu, Dan. Aku cuma takut kamu kecapean. Baru pulang juga, kan semalam? Mending istirahat saja!"

"Oh, begitu. Ya, sudah. Lagipula aku juga cuma pencitraan sebenarnya. Agak malas juga berkunjung ke keluarga ipar. Yang kudengar sikap mereka juga kurang menyenangkan."

"Zidan ...." Pak Ridwan mengingatkan.

"Maaf, ya, Han. Aku memang tak pandai pura-pura. Sama kayak Ayah. Dari awal aku juga kurang respek sama Mas Burhan dan keluarganya. Kalau gitu aku pamit ke kamar dulu, ya. Mau lanjut tidur, masih jetlag juga efek penerbangan panjang." Zidan beranjak setelah mengusap kepala Jihan dengan lembut. Perempuan itu hanya bisa tersenyum getir menanggapinya.

"Jangan lupa sholat zuhur dulu, Zidan. Kalau tak mau ayah siram air kolam!" teriak Pak Ridwan saat melihat anak laki-lakinya berlari kecil menaiki anak tangga. Meskipun sudah dewasa, Pak Ridwan memang tak pernah lelah lelah mengingatkan Zidan tentang ibadah, alasannya jelas. Zidan lama tinggal di luar negeri. Di kota yang mayoritasnya non muslim. Suasana dan pergaulan di sana sangat jauh dengan tanah air. Apalagi mengingat sikap Zidan yang agak serampangan.

"Siap, Yah!" balasnya setelah sampai di pertengahan tangga lebar berbentuk spiral.

Sepeninggal Zidan, Jihan kembali melanjutkan percakapannya dengan Pak Ridwan. Tentang tujuannya pulang, tentang izin untuk mengadakan tahlilan sampai enam hari ke depan. Karena hari pertama dilaksanakan di rumah Bu Yuli, meskipun Jihan harus menjaga jarak setelah terang-terangan menentang ibu mertuanya dan mendapatkan hadiah tamparan.

Juga tentang permintaan yang berharap bisa ayahnya kabulkan, terkait bantuan hukum untuk menyelidiki kasus meninggalnya Burhan dalam keadaan tak wajar.

Jihan menunggu jawaban Pak Ridwan terkait permintaan terakhirnya dengan dada berdegup kencang.

"Sepertinya ayah kenal seseorang. Dia detektif yang sudah terbukti mumpuni, hampir semua kasus yang dia tangani berhasil terpecahkan. Ayah bisa saja minta atasannya untuk mengalihkan kasus Burhan pada beliau. Tapi ...."

"Tapi?" Jihan mengulangi.

"Setelah kasus selesai kamu harus benar-benar kembali ke sini. Tinggalkan rumah peninggalan Burhan, beserta semua yang pernah dia berikan. Termasuk Galih, Rara dan Riri."

Deg!

"Kembalikan mereka pada Bu Yuli. Sudah saatnya kamu berhenti membesarkan anak-anak yang tak jelas asal-usulnya seperti mereka."

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status