Share

Mimpi atau Petunjuk?

Perumahan elit Pelita Harum kembali digemparkan dengan penemuan jasad wanita tanpa busana di salah satu rumah mewah untuk yang kedua kalinya.

Pagi ini pihak berwajib mulai memberi garis polisi di sekitar TKP untuk menyelidiki keterkaitan kasus pembunuhan ranjang berdarah yang juga baru seminggu lalu terjadi pada pemilik rumah, Burhan Hakim.

Dari kejauhan Jihan hanya bisa menatap rumah peninggalan suaminya yang dikerubungi warga dengan nanar, sembari memeluk si kembar. Tak habis pikir dia, bagaimana bisa kejadian yang sama terulang dalam kurun waktu sepekan?

Jihan semakin meyakini bahwa ada yang tak beres di rumahnya. Dia juga percaya bahwa semua ini ada hubungannya dengan privat party yang selalu didatangi seluruh anggota keluarga mendiang suaminya

"Jihan!"

Sentuhan lembut di pundaknya membuat Jihan yang tengah hanyut dalam lamunan terlonjak kaget. Sekuat apa pun ditutupi, rasa cemas dan was-was masih saja menyelimuti dirinya. Bagaimana tidak demikian, sudah dua kali dia mendapati jasad tergeletak di atas ranjangnya dalam keadaan bersimbah darah. Meninggalkan sebuah misteri dan asumsi akan penyebab tewasnya dua orang yang sangat dia kenal.

Walhasil sejak semalam tubuhnya gemetar. Menggigil kedinginan meski sudah terbungkus berlapis-lapis pakaian. Dia hanya bisa memeluk ketiga anaknya sembari merapalkan segala doa meminta perlindungan Tuhan, berharap apa pun yang terjadi mereka masih diberi kesempatan untuk melihat kebenaran.

"Ah, Detektif Fahri," seru Jihan sembari menyeka keringatnya yang bercucuran.

"Mau saya antar pulang sekarang?"

"Tak usah, terima kasih. Sebentar lagi sopir Ayah datang menjemput," tolak Jihan dengan halus.

Detektif Fahri tersenyum maklum. "Kalau begitu saya permisi. Nanti sore saya hubungi lagi, kita berangkat sama-sama meminta keterangan secara pribadi pada suami Cintya."

Jihan hanya menanggapinya dengan anggukan ringan.

"Assalamualaikum." Sebelum pergi, lelaki berusia empat puluh dua tahun itu membungkuk sedikit.

"Waalaikumsallam."

Jihan menatap mobil Detektif Fahri yang perlahan menghilang di ujung jalan.

"Bu, kenapa di rumah kita banyak yang mati?" celetuk Rara sepeninggal Detektif Fahri.

"Iya, Bu. Apa bener kata orang kalau rumah kita ada setannya? Riri takut," timpal Riri kemudian.

Jihan menghela napas panjang, lalu membungkuk untuk menyejajarkan tubuh dengan si kembar.

"Nggak ada, Sayang. Rumah itu udah kita tinggali lebih dari sepuluh tahun. Ibu tak pernah lihat apa-apa selama itu."

"Tapi tiap malam Riri dan Rara selalu denger ada suara orang jalan di depan pintu, cuma kita nggak berani bilang sama ibu."

"Mungkin itu cuma perasaan kalian aja." Jihan berusaha meyakinkan.

"Rara juga pernah mergokin Ayah ngobrol sama perempuan yang rambutnya panjang di platform. Awalnya Rara pikir itu ibu, tapi baru inget kalau lagi di luar ibu nggak pernah lepas kerudung."

Jihan terdiam, lalu tersenyum samar.

"Mungkin itu Tante Nisya."

"Tapi Tante Nisya nggak pernah datang malam-malam," sanggah Rara.

"Anak-anak ...." Jihan mengusap kepala Rara dan Riri. "Banyak istigfar, ya, Sayang. Semua itu cuma halusinasi kalian sa--"

"Semalam Galih juga cium bau melati yang nusuk hidung, Bu. Terus ada suara wanita nyinden Jawa," sahut Galih tiba-tiba.

Jihan memejamkan matanya. Sebenarnya dia juga melihat bayangan hitam yang melintas cepat di belakangnya semalam. Namun, hal itu jelas tak akan dia ceritakan pada ketiga anaknya dan menambah ketakutan dalam diri mereka.

"Pokoknya Riri nggak mau tinggal di rumah itu lagi."

"Rara juga."

"Ada baiknya kita memang menetap dulu di rumah kakek, Bu."

Jihan mengurut pelipisnya. Beberapa saat kemudian dia mengangguk juga. 

"Ya, kita tinggal di rumah kakek untuk sementara," putus Jihan final. Sejenak dia beralih pada Sari yang sejak tadi malam tubuhnya gemetar ketakutan. "Kamu ikut kita ke rumah orangtua saya, ya, Sar. Bantu jaga anak-anak. Bi Imas, biar dirumahkan dulu sampai keadaan benar-benar dirasa aman."

"Ba-baik, Bu."

***

Akhirnya Jihan kembali ke kediaman utama Pak Ridwan, dan mengiring anak-anak dan asisten rumah tangganya untuk istirahat di kamar, karena mereka hampir tak tidur semalaman.

Di sofa dalam ruang tamu di rumah megah itu, Jihan hanya bisa menelungkupkan wajah dengan pikiran yang amat kacau. Sementara Pak Ridwan dan saudara kembarnya Zidan hanya bisa menatap kebingungan.

"Ada apa sebenarnya, Nak? Mau sampai kapan kamu menyimpan semuanya sendirian? Katakan pada ayah! Apa yang terjadi dengan Burhan." Pak Ridwan membuka percakapan setelah lama memperhatikan Jihan yang hanyut dalam lamunan sejak dia datang.

"Are you, okay, Sister? Kurasa wajahmu terlihat lebih pucat dari biasanya."

"I am okay," elaknya sembari mengusap wajah kasar. "Aku janji akan menceritakan semuanya, tapi tidak sekarang. Sejauh ini aku bahkan belum bisa mendapatkan jawaban pasti, tentang semua peristiwa di luar nalar yang terjadi akhir-akhir ini. Untuk sementara tolong beri aku sedikit ruang, simpan dulu semua pertanyaan itu sampai kami mampu memecahkan masalah ini."

Pak Ridwan dan Zidan berpandangan. 

"Baiklah. Biarkan Jihan istirahat sebentar. Antar dia ke kamarnya, Dan!"

Zidan mengangguk. Dia beranjak dari tempatnya, lalu memapah tubuh Jihan yang sempoyongan menuju kamar yang terletak di lantai dua.

***

Jihan merebahkan diri di ranjang. Mengistirahatkan tubuh dan batinnya yang terasa begitu lelah dan gelisah. Kepergian Burhan benar-benar meninggalkan tanda tanya besar yang membuat Jihan hampir kehilangan akal memikirkan segala kemungkinan.

Sebenarnya dia ingin sekali menangis, atau berteriak merutuki nasibnya yang begitu memprihatinkan. Lima belas tahun mengarungi biduk rumah tangga dengan lelaki yang dia pikir mampu menjadi sosok pemimpin dan imam yang diharapkan, Jihan justru  terperosok ke dalam jurang yang dalam, ketika mendapati sang suami bahkan meninggal dalam keadaan tak wajar.

Dengan segala kekalutan pikiran, Jihan terlelap. Jatuh dalam buaian mimpi nan kelam. Hingga kenyataan kembali mengambil kesadarannya untuk melanjutkan kembali apa yang baru saja dimulai.

.

.

.

Jihan terlihat keheranan saat dia tiba-tiba terbangun di sebuah hutan belantara. Semak belukar dan pohon-pohon yang menjulang terpampang sejauh mata memandang. Kaki telanjangnya melangkah perlahan menyusuri tanah merah sepanjang jalan menanjak menuju sebuah rumah bambu di tengah hutan dalam sebuah pegunungan.

Terdapat Rawa berair tenang dengan rakit di atasnya. Di tepi Rawa itu Jihan juga bisa melihat sajen yang menguarkan bau khas kemenyan.

Jantungnya mulai berdegup kencang. Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Perlahan Jihan berjalan menghampiri rumah bambu yang berjarak sekitar tiga puluh meter dari Rawa. Suasana yang menyelimutinya begitu kelam, hening, dan mencekam. Suara-suara alam yang bersahutan menambah gemuruh di dadanya.

Langkah Jihan berhasil mencapai ambang pintu. Sedikit ragu dia mulai membuka akses masuk ke rumah bambu yang hanya setinggi dahi orang dewasa, lalu merunduk saat melewatinya.

"A ...."

Mata Jihan melebar, tapi mulutnya seolah terbungkam. Napasnya tiba-tiba tercekat, dengan jantung yang berdetak tak keruan.

"M ... as ... Bur ... han!" Suara Jihan putus-putus, bahkan nyaris tak terdengar.

Dia begitu terkejut saat melihat tubuh Burhan dililit seekor ular yang sangat besar bahkan desisan mampu membuat seluruh tubuh Jihan gemetar.

"Pergi!"

Ular itu tiba-tiba menjelma menjadi sosok setengah manusia dengan rambut yang menjutai panjang menutup bagian dadanya yang terekspos. Matanya hijau selaras sisik bagian tubuh bawahnya, sedangkan kulit manusianya berwarna putih pucat.

"Jangan ikut campur!"

"Pergi!"

"Kalau tak ingin mati!"

.

.

.

"Hos ... hos ... hos."

Jihan tiba-tiba tersentak dari tidurnya, setelah menyaksikan mimpi yang begitu menyeramkan. Napasnya memburu dengan keringat bercucuran. Diliriknya jam yang terpajang, lalu mengusap wajah dan beristigfar. Berusaha mengatur debaran jantungnya yang menggila.

15.20 WIB. Rupanya sudah masuk waktu Ashar. Bergegas dia beranjak dari ranjang, dan berjalan menuju kamar mandi. Mengambil wudu dan menunaikan salat agar hatinya terasa sedikit tenang.

Setelah selesai, dan merasa jantungnya berangsur normal. Jihan kembali ke kamar. Terlihat ponselnya yang tergeletak di atas meja tiba-tiba menyala. Menunjukkan satu panggilan dari Detektif Fahri.

"Sepertinya aku harus memastikan sesuatu," gumamnya sebelum menjawab panggilan tersebut.

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status