Seminggu sudah berlalu sejak jasad Burhan dikebumikan dan tahlilan tujuh malam selesai dilaksanakan. Jihan dan anak-anaknya memilih kembali menempati rumah peninggalan Burhan juga lokasi di mana lelaki itu meninggal.
Mereka disambut para asisten rumah tangga yang membantu menjaga rumah selama Jihan dan anak-anaknya tinggal sementara di kediaman utama Pak Ridwan.Malam merangkak semakin kelam. Sudah empat hari sejak Detektif Fahri mengatakan bahwa salah satu saksi kunci kematian Burhan--Cintya dinyatakan hilang. Dia merasa semakin tak tenang.Entah kenapa malam ini juga angin berembus sangat kencang di luar. Menusuk kulit sampai terasa ke tulang. Jendela yang sudah tertutup rapat tiba-tiba kembali terbuka saat Jihan melewati balkon lantai dua menuju kamar si kembar Rara dan Riri berada. Dia menutupnya kembali, kemudian beranjak ke kamar anak-anaknya yang ada di lorong paling ujung lantai ini.Setelah memastikan keduanya terlelap. Jihan menyempatkan diri untuk singgah sebentar ke kamarnya. Kamar di mana Burhan meregang nyawa. Kamar yang diminta polisi untuk tetap dikosongkan sebelum kasus pembunuhan suaminya terungkap.Perlahan, Jihan membuka pintu kembar kokoh yang menjulang di hadapan. Perempuan dengan gamis panjang itu terpaku. Menatap ranjang yang sebelumnya penuh dengan noda darah, sudah diganti dengan seprai putih yang baru.Bayangan tubuh Burhan yang bersimbah darah tergeletak di atas ranjang masih terbayang. Memaksa Jihan untuk terpejam dengan perasaan yang entah.Tiba-tiba hawa dingin kembali menerpa. Menusuk tulang hingga gigil bulu kuduk Jihan dibuatnya. Dia menelan ludah susah payah, lalu mengucap istigfar beberapa kali dalam hati, saat merasakan sebuah bayangan hitam melintas dengan cepat di belakangnya. Namun, saat menoleh Jihan tak bisa menemukan apa-apa."Sari!" panggil Jihan pada sang asisten rumah tangga.Hanya butuh beberapa detik sampai gadis kurus berusia dua puluh tahunan itu muncul di hadapannya."Iya, Bu?""Tadi, kan saya sudah minta kamu buat tutup jendelanya. Kenapa masih kebuka? Anginnya dingin sekali malam ini. Sampai kerasa ke kamar Rara dan Riri."Sari terlihat kebingungan. Gadis berkulit sawo matang itu menggaruk rambutnya yang tak gatal."Perasaan tadi sudah Sari tutup, kok, Bu. Kenapa bisa kebuka lagi, ya?""Kamu lupa mungkin. Tutup lagi saja sekarang! Nanti anak-anak masuk angin."Sari mengangguk patuh. Asisten rumah tangga Jihan yang sudah mengabdi lebih dari tiga tahun itu mulai melangkah memasuki kamar yang paling besar di antara lainnya."Eh, sebentar, Sar!" Panggilan Jihan menghentikan langkah Sari sebelum sempat mencapai setengah ruangan."Ya, Bu?" Gadis berumur dua puluh tiga tahun itu memutar tubuh menghadap majikannya."Bukannya sehari setelah kejadian kamar ini sudah kamu dan Bi Imas bersihkan, ya? Kok, masih ada noda darahnya?" tanya Jihan heran."Darah?" Sari terlihat kebingungan."Itu, di kolong ranjang. Kayaknya netes dari atasnya."Sari mundur dua langkah. Sementara Jihan masuk ke dalam untuk memastikan bahwa tak ada yang salah dengan penglihatannya."Waktu itu saya sama Bi Imas memang cuma bersihin atasnya aja, Bu. Darahnya, kan cuma di kasur. Terus ganti seprainya. Kita nggak pernah masuk lagi ke kamar ini selama seminggu ibu pergi. Hawanya aneh aja di situ. Lewat di depannya aja saya merinding."Jihan terdiam sejenak."Kamu yakin?"Sari mengangguk. "Ya-yakin, Bu."Jihan merendahkan tubuhnya. Berjongkok di depan ranjang dengan tinggi tiga puluh sentimeter tersebut. Tangannya terulur menjangkau tetesan darah yang membasahi lantai."Basah. Ini masih baru!"Deg!Jihan kembali bangkit, lalu menunjukkan darah segar yang ada di tangannya pada Sari. Asisten rumah tangga Jihan itu berjengit jijik."Coba angkat kasurnya, deh, Sar!"Tubuh Sari kembali mundur dua langkah. "Bu ....""Oke, biar saya saja.""Tapi, Bu--"Tanpa pikir panjang Jihan langsung mengangkat kasur berukuran king itu dan menjungkirkanbalikannya hingga terongggok di lantai. Sesuatu yang dia lihat setelahnya benar-benar di luar dugaan."Argh ...!" Jeritan Sari terdengar menggelegar. Sedangkan Jihan mematung dengan mata yang melebar.Sesosok jasad perempuan baru saja mereka temukan tergeletak di atas dipan dalam keadaan sama persis dengan Burhan. Dengan luka sayatan di leher, dan dalam keadaan telanjang. Tertindih kasur busa ukuran besar."Sa-Sar ... jangan biarkan Rara dan Riri lihat! Minta Galih buat hubungi Detektif Fahri sekarang! Bilang kalau sekretaris Mas Burhan yang sudah seminggu hilang baru saja ditemukan!"...Bersambung.Perumahan elit Pelita Harum kembali digemparkan dengan penemuan jasad wanita tanpa busana di salah satu rumah mewah untuk yang kedua kalinya. Pagi ini pihak berwajib mulai memberi garis polisi di sekitar TKP untuk menyelidiki keterkaitan kasus pembunuhan ranjang berdarah yang juga baru seminggu lalu terjadi pada pemilik rumah, Burhan Hakim. Dari kejauhan Jihan hanya bisa menatap rumah peninggalan suaminya yang dikerubungi warga dengan nanar, sembari memeluk si kembar. Tak habis pikir dia, bagaimana bisa kejadian yang sama terulang dalam kurun waktu sepekan? Jihan semakin meyakini bahwa ada yang tak beres di rumahnya. Dia juga percaya bahwa semua ini ada hubungannya dengan privat party yang selalu didatangi seluruh anggota keluarga mendiang suaminya "Jihan!" Sentuhan lembut di pundaknya membuat Jihan yang tengah hanyut dalam lamunan terlonjak kaget. Sekuat apa pun ditutupi, rasa cemas dan was-was masih saja menyelimuti dirinya. Bagaimana tidak demikian, sudah dua kali dia mendapat
Sepanjang perjalanan menuju rumah Cintya bersama mobil yang dikendarai Detektif Fahri, Jihan melamun memikirkan tentang mimpi yang baru saja dia alami.Kira-kira apa arti semua ini? Apa hubungan suaminya dengan jelmaan ular yang dia lihat dalam mimpi, juga keterkaitannya dengan kematian Burhan dan Cintya?Detektif Fahri yang menyadari gelagat Jihan mulai merasa heran, dan berinisiatif untuk menanyakan."Apa ada yang mengusik pikiranmu? Siapa tahu saya bisa bantu." Ucapan Detektif Fahri menyentak lamunan Jihan. Perempuan itu mengusap tengkuk lalu tersenyum sungkan."Tidak ada. Sebenarnya saya belum bisa memastikan dugaan ini benar," ujar Jihan tak yakin."Dugaan, tentang?" pancing Detektif Fahri.Jihan yang tak mampu lagi menyimpan semua ini sendiri sedikit demi sedikit mulai menjabarkan."Begini ... saya merasa kalau kasus ini mulai berkaitan dengan privat party yang diadakan seminggu sekali, secara kebetulan suami saya dan Cintya juga meninggal dalam waktu yang berdekatan. Apa ini ad
"Bicara tentang persembahkan. Kenapa minggu ini Cintya dijadikan korban? Dia dieksekusi di tempat yang sama dengan Mas Burhan lagi," tanya Nisya saat ibunya tengah membakar kemenyan di ambang sebuah gudang. "Urusan persembahan, ketua yang memutuskan, Nisya. Kita sebagai anggota cukup mempersiapkan. Dan menunggu antrian kapan keluarga kita mendapat giliran untuk menjadi korban berikutnya. Kamu juga harus siap kapan pun suamimu dipersembahkan nanti. Karena keputusan ketua selalu tak terduga, beliau yang diberi wewenang oleh Nyai untuk memegang kendali atas organisasi," papar Bu Yuli begitu tenang sembari menabur semacam serbuk abu di atas pembakaran kemenyan. "Sampai saat ini aku masih belum tahu kenapa ketua menjadikan anggotanya sendiri sebagai bahan persembahan." Nisya menatap Bu Yuli dengan ekspresi yang sulit diartikan. Bu Yuli menoleh, perempuan yang terlihat jauh lebih muda dari usianya itu tersenyum sembari mengusap pipi putrinya. "Tiap anggota yang dijadikan korban, adala
Prang! Jihan terlonjak kaget saat tangannya tiba-tiba tergelincir hingga mengakibatkan gelas kaca yang digenggam pecah berserak di lantai. Sari yang kebetulan sedang membantu menyiapkan sarapan bersama seorang koki pribadi di dapur Pak Ridwan, lantas menghampirinya dan memastikan keadaan sang majikan. "Ibu nggak kenapa-napa, kan?" Jihan menggeleng pelan. "Aneh. Kepala saya tiba-tiba pusing, perasaan juga tak enak," aku Jihan sembari mengurut dadanya pelan. "Mau Sari antar ke dokter, Bu? Atau panggil Bapak?" "Tak usah, Sar. Sepertinya cuma pusing biasa. Jangan ganggu Ayah, beliau juga baru tidur selepas subuh, karena semalaman nunggu Zidan pulang," tolak Jihan dengan halus. "Tolong gantikan saya antar Rara dan Riri ke sekolah, ya! Mereka agak trauma semenjak meninggalnya Mas Burhan, jadi selalu berhalusinasi yang bukan-bukan. Takutnya bikin kegaduhan di sekolah," tambah Jihan. "Baik, Bu." "Omong-omong Galih sudah turun?" "Belum, Bu. Tadi pas saya lewat den Galih masih du
Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai, sudah terdengar . Namun, bukannya masuk kelas, Gina justru menyeret Galih berbelok menuju koridor sepi di mana perpustakaan yang sudah terbengkalai berada. Ruangan luas yang ada di lantai teratas itu memang sudah lama ditinggalkan, sebab ruang baca telah dialihkan. Terpisah dari gedung sekolah. "Na ...." Galih menarik tangan Gina yang hendak menaiki bangku dan membuka jendela. Wajah remaja berusia empat belas tahun itu terlibat resah dan gelisah. "Santai aja, Lih. Aku udah sering ke sini. Nggak akan ada guru atau penjaga yang curiga. Paling setan yang kadang usil mainin bangku atau bikin konser di dalem." Galih mengernyitkan dahi mendengar respons santai yang ditunjukkan sepupunya itu. "Kamu nggak takut emang?" cicit Galih. "Udah dari umur sepuluh tahun aku bisa lihat mereka. Sejauh ini nggak ada yang berani macam-macam, selain usil nyinyirin tentang tanda di tengkukku. Lagian aku lebih takut sama Tuhan atau dijadiin tumbal ketimbang s
"Zidan masih belum turun?" Pertanyaan Pak Ridwan membuat Jihan terlonjak tanpa alasan. Di tengah makan siang. "A ... belum, Yah. Mungkin Zidan kecapean, karena semalam hampir nyasar. Untung dia menemukan hotel di tengah perjalanan." Jihan terpaksa berbohong tentang kebenaran Zidan yang menginap di kediaman Nisya dan Bu Yuli. Kalau dia mengatakan kebenarannya bisa-bisa Pak Ridwan jantungan. "Jadi, dia belum cerita tentang keluarga calon istrinya?" tanya Pak Ridwan lagi. Jihan kembali menggeleng. Sebenarnya dia tak tahu sampai kapan harus menyembunyikan ini. Terlebih Zidan yang tiba-tiba menutup diri, lalu mendekam di kamar. "Anak-anak juga belum pulang. Mungkin itu salah satu alasan yang buat ruang makannya kelihatan sepi," cetus Jihan. Gerakan Pak Ridwan yang hendak menyendok nasi ke dalam mulut, tiba-tiba terhenti. "Kalau itu bukan masalah. Lagi pula sudah lebih dari lima belas tahun ayah terbiasa makan sendiri. Sejak ibumu pergi, sejak kamu menikah, dan sejak Zidan mem
Jihan termangu sepanjang perjalanan pulang. Tatapannya lurus menatap lalu-lalang kendaraan yang melintas di samping dan di hadapan. Sesak di dadanya kian terasa menekan, kala membayangkan suami yang selama ini begitu dia hormati ternyata sering kali menghabiskan waktu dengan wanita berbeda tiap akhir pekan. Senja mulai berpendar di langit Jakarta, tetapi tak mampu membiaskan warna kelam di hatinya. Dia menyesal karena tidak menyadarinya sejak awal. Sekarang apa yang bisa dilakukan bila yang bersangkutan sudah menghilang dari pandangan? Terkadang kenyataan bisa lebih pahit daripada campuran kopi tanpa gula. Tidak ada yang bisa dinikmati selain getir yang tersisa di rongga-rongga dada. Kebenaran sering kali menyiksa ketika terungkap saat tersangka tak ada lagi di dunia. Apa yang bisa dilakukan selain pasrah dengan keadaan? "Apa pihak kepolisian tidak bisa menginterogasi keluarga korban lebih mendalam? Bila dengan tekanan siapa tahu mereka bisa mengaku." Jihan tiba-tiba memecah ke
"Akhirnya setelah sekian lama kamu dan Nova bisa akur juga. Aku jadi makin semangat untuk mempersiapkan pinangan setelah kamu selesai melewati masa iddah nanti. Sepertinya Nova akan senang kalau di rumah ini ada teman." Deg! Nova menatap Jihan dengan pandangan yang sulit diartikan. Namun, mengingat mereka sesama perempuan Jihan cukup mengerti tatapan macam apa itu. Senyum Bahar tersungging nakal, tangannya mulai terulur hendak melecehkan Jihan. "Maaf, Mas!" Bergegas Jihan bangkit, lalu menepis tangan Bahar. "Aku tidak berniat menerima pinangan siapa pun dalam waktu dekat ini," tegas Jihan. "Jihan ... Jihan ... sejak dulu kamu memang sulit sekali ditaklukkan. Padahal aku mempunyai semua kriteria yang hampir disukai banyak wanita. Tampan, kaya, memiliki kedudukan, dan yang pasti mampu mencintaimu sepenuh hati. Apa yang kurang?" "Akhlak," cetus Jihan dengan tatapan tajam. "Kamu tidak punya itu, Mas. Rasa malu pun sudah kamu kuliti hingga yang tersisa hanya kebodohan." Sesaat Ba