Paling ada ceramah, adik kakak harus saling menyayangi. Suami istri ada bekasnya, saudara tidak. Terus Winda menyampaikan kesalahan-kesalahanku padanya di depan pengadilan mama.Di rumah mama, mba Winda telah bermain drama ternyata. Matanya sampai sembap saking lama menangis mungkin.. Hebat sekali bisa keluar air mata begitu."Aku sakit hati sama Mita dan Dodi, Mah. Aku memang tak sekaya mereka, tapi gak harus juga menghina-hina!"Sebenarnya mama baik. Pada Mita pun tak memandang buruk. Tapi, karena sering digosok mba Winda, jadilah akhir-akhir ini jadi mulai benci pada istrikuYang punya penyakit hati sebenarnya mba Winda. Dia dengki pada Mita yang lebih segalanya. Baik kecantikan maupun kekayaan. Ditambah bersuamikan aku yang bersikap lembut dan romantis dalam memperlakukan Mita di depan kelurga.. Sementara, mas Agus, bicaranya kasar. Kadang suka mukul juga. Karena itulah kedengkiannya makin menjadi."Kamu sudah terpengaruh oleh Mita sejauh itu Dodi. Ikut-ikutan menghina kakakmu. Di
DODIMba Winda culas juga, ya. Demi keinginan dia bisa tebar fitnah dan buat makar. Sebenarnya aku tak mau memperlakukan Mita seperti ini. Inginnya damai seperti sebelumnya. Tapi, takut pada kemarahan mama yang sudah kena gosokan mba Winda. Aku sengaja tak menyambut Mita sebab akan meneruskan sandiwara. Kata mba Winda harus serius, jangan sampai terlihat main-main. Di benak Mita pasti akan terwujud bahwa suaminya benar-benar marah.Langsung saja aku masuk kamar tanpa menegur atau bertanya apapun. Sengaja tampangnya dibuat masam agar terlihat masih marah. Beres mandi, aku berniat ke ruang makan. Perut udah nyanyi dari tadi sebab belum diisi. Tapi urung sebab Mita ada di sana sedang makan sambil main HP. Aku tahu dia sempat melirik ke arah pintu masuk, cuma cepat-cepat dialihkan lagi pandangannya. Sok, tahan harga dia. Untuk mempertegas bahwa suaminya masih marah, aku sengaja melewati ruang makan. Setelah masuk beberapa langkah, keluar lagi sambil berdecik. Pasti sikapku itu membuatn
Tapi, bagaimana caranya agar dia mau tidur bersama di sini. Argh, kenapa jadi tak terkendali begini. Ruwet, ruwet, ruwet!Aku terjebak permainan sendiri. Namanya perempuan bisa tahan tak berhubungan fisik dalam rentang waktu lama. Kalau lelaki justru tak bisa begitu. Gara-gara menuruti omongan mba Winda, aku sendiri yang nelangsa.*Pagi hari, aku akan bangun jika makanan sudah siap di meja. Karena si kembar, dua-duanya di pondok, kami hanya berdua di rumah. Karena itu porsi masaknya tak banyak. Mita tak ambil pembantu. Masak sendiri, nyuci di laundry. Cuci piring tak banyak dan rumah jarang berantakan karena tak punya anak kecil. Kadang, aku juga suka bantu membersihkan rumah atau cuci piring. Kalau masak tak bisa, takut rasanya aneh.Sebelum makan, kami harus sudah mandi. Itu kebiasaan dari awal menikah. Mau sedang junub atau tidak, komitmennya begitu.Kami paham kebiasaan mandi di pagi hari bagus untuk kesehatan. Makanya konsisten dilakukan.Mita sudah duduk di meja makan. Ia hany
MITAOh, jadi seperti ini tingkah mas Dodi di belakangku? Ia dan mba Winda merencanakan makar menjijikkan. Demi motor, mereka rela berbuat jahat pada orang yang tak perhitungan dalam membantu.Hati mba Winda benar-benar busuk, sementara mas Dodi lemah dan mudah terhasut. Lelaki itu seperti angin, berembus ka sana-sini, tak punya pendirian tegas. Tergantung pada orang yang menguasainya. Oke, Mas! Kamu bikin makar, aku pun bisa!Aku balik lagi keluar rumah agar mas Dodi tak curiga. Biarkan dia menganggap aku baru pulang hingga tak mendengar pembicaraannya di telpon dengan mba Winda. Langkah kaki dilakukan sepelan mungkin, harus dipastikan tak bergesekan dengan lantai. Dipikir jadi kayak maling di rumah sendiri Aku harus pura-pura tak tahu soal makar itu. Jadi bersikap biasa saja di hadapannya. Jangan sampai memperlihatkan kemarahan. Bicara seperlunya, tak perlu marah atau merayu-rayu.Sebelum tahu makar ini, aku sebenarnya mau mengibarkan bendera perdamaian. Bahkan berencana akan mera
MITAMeski sudah habis-habisan membantu, tetap saja suka dibilang jangan pelit sama saudara . Boro-boro ucapan terima kasih, yang ada malah dinyinyiri. Kok, aku bisa bertahan sejauh ini hidup bersama mereka, ya? Terlalu sabar atau bodoh sebenarnya. Mau saja dijadikan sapi perah oleh orang-orang tak tahu diri. Mereka bersikap manis kalau ada maunya, tak disetujui sedikit langsung menyerang tanpa tedeng aling-aling. Akhir dari obrolan ini, mas Dodi bangkit dan menggebrak meja. Lepas itu menendang kursi yang didudukinya tadi. Ia pasti sangat marah karena kuingatkan soal tanggung jawabnya.Jantungku rasa mau copot saat tangan mas Dodi menghantam atas meja. Bertambah kencang detakannya ketika kursi yang ditendang terguling ke lantai.Takutlah kalau melihat mas Dodi marah begitu. Takut kena tinju atau tamparannya. Bisa sakit banget anggota tubuh yang kena bogemnya. Untung selama ini ia tak pernah menampar apalagi memukul. Kalau penyiksaan itu terjadi sudah kugugat cerai dari dulu. Kubiark
DODI"Maaf, Mba, sepertinya soal motor tak bisa saat ini dilepas. Kami pun sedang kesulitan dana gara-gara uang terkuras oleh mobil."Aku mencoba memberi pengertian pada mba Winda tentang motor. Untuk saat ini aku tak bisa menganggu Mita. Dia bisa makin ganas nantinya."Gimana, sih, kamu, Do? Kok, kalah gitu sama Mita? Laki-laki macam apa kamu, suami takut istri, ya?"Sebenarnya emosi akan naik kalau bicara dengan mba Winda, tapi ditahan biar tak makin panjang urusan. Perempuan itu sulit diredakan mulutnya kalau sudah nyerocos. Lebih baik tidak diladenin."Kamu gak bisa dipegang, ya, ucapannya! Gak guna!"Kutinggalkan mba Winda yang masih ngomong tanpa titik koma. Lebih baik pergi daripada terprovokasi lagi. Atau malah lepas kendali dengan kata-kata pedasnya.Pantas suaminya suka lepas kendali sampai mukul. Perkataan dan perbuatannya saja mancing orang emosi. Sudah tahu sifat mas Agus itu temperamen, dia juga cari masalah saja jadi orang.Hobi mengadukan suami ke sana-sini, tapi tetap
"Kamu memang menyebalkan, ya, Mita. Perhitungan sama saudara. Masa utang segitu ditagih-tagih! Kamu juga Dodi, sama saja dengan istrimu. Dasar suami takut istri. Awas, ya, aku bilang ke mama!""Mba jangan kayak anak kecil, dong! Kami datang pun baik-baik. Gak menghina-hina. Mita tadi udah jelaskan bahwa kami sedang butuh uang.. Jangan dikit-dikit lapor mama. Bersikappah dewasa, Mba. Gini aja sekarang mas Agus dan mba ada berapa untuk cicilan, kami terima.," kataku. Tumben aku bisa ngomong tegas sama mba Winda. Mungkin karena lagi kepepet juga. Lagian kakakku ini memang seperti anak kecil. Main laporkan saja sama mama. Dasar tukang adu domba."Gak ada, kita juga lagi banyak keperluan. Kalau kalian gak punya beras, bawa aja seliter. Entar aku ambilin!""Iya, Ta. Kami sedang banyak keperluan, jadi belum bisa bayar," timpal mas Agus.Benar kata orang. Giliran pinjem ngemis-ngemis, pas ditagih marah-marah atau banyak alasan. Jiwa kerdil, begitu emang, maunya lari dari tanggung jawab."Gel
Kami makan di rumah makan padang pinggir jalan. Mita memesan menu kesukaanku. Katanya ini bonus untuk kami setelah cape nagih utang.Baru lagi kami makan berduaan di luar. Dua tahun belakangan aku dan Mita selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Dia dengan dunia bisnisnya, aku dengan pekerjaan dan teman-teman.Pernikahan yang dulu indah, sempat membosankan. Aku jadi lebih betah bersama teman-teman daripada istri sendiri. Kami hampir jadi orang asing yang asyik dengan dunia masing-masing."Yank, jadi inget awal-awal nikah, ya. Kita makan di pinggir jalan aja indah banget. Maafin aku, ya, yang dua tahun ini cuek sama kamu."Mita menatapku lekat-lekat. Mungkin dia ingin memastikan bahwa ucapan suaminya ini sungguh-sungguh. Bukan sandiwara seperti sebelumnya."Iya, Tuh, padahal aku nungguin diajak makan di luar, loh. Kamunya malah kongkow sama teman.""Iya, iya, aku salah, entar kita makan di pinggir jalan lagi, yuk. Malem tapi biar romantis.""Janji, ya? Awas kalau boong!""Eh, pulang