Aku menarik napas beberapa kali sebelum keluar dari mobil Giko. Saat ini kami sedang ada di depan salah satu restoran fine dining di kawasan Mega Kuningan. Kami akan makan malam bersama Luffy. Giko bilang Luffy sudah menunggunya di sana. Makan malam bersama orang kaya itu agak ribet. Harus ada dress code agar bisa bergabung bersama mereka. Siang tadi Giko mengirimi aku sebuah gift berisi satu set dress lengkap dengan clutch melalui seorang OB. Dia niat sekali mengenalkan aku dengan abangnya. "Makin cepat makin baik, Win. Jadi, gue nggak dikejar-kejar Luffy terus. Sekalian pembuktian sama dia bahwa gue juga punya hubungan serius," ujar Giko ketika aku meminta dia mengulur waktu untuk berkenalan dengan Luffy. "Setelah ini udah kan? Maksudnya nggak akan ada acara-acara lain yang bakal nglibatin gue?" Aku harus memastikan hal ini. Jujur, aku nggak mau terlibat terlalu jauh dengan keluarga Jayakusuma. "Gue nggak tau, sih. Tapi, ada rencana liburan keluarga tahun ini. Kemungkinan besar
"Sepertinya kita pernah bertemu, tapi di mananya aku lupa," ujar Luffy, menyipitkan mata memperhatikan aku makan. "Oh, mungkin karena kamu bekerja di perusahaan ayah jadi aku nggak asing. Tapi, aneh, sih. Kalau kamu udah kenal lama dari sekolah, dan menjalin hubungan selama dua tahun dengan Giko, kenapa aku nggak tau, ya?" Luffy terus saja berbicara seperti orang bermonolog karena aku tidak tertarik menanggapi ocehannya itu. "Bisa jelaskan enggak proses jadian kalian gimana?" Ya Tuhan, Giko ke mana sih? Bisa-bisanya dia membiarkan aku berdua dengan abang setannya ini? Aku menarik tisu dan mengelap bibir. Berhadapan dengan orang yang mungkin saja bisa mengintimidasi, kita nggak boleh lemah. Aku mengangkat dagu sedikit, dan menatap pria di depanku. "Seperti yang Anda tau, Pak. Saya dan Giko bekerja dalam satu naungan perusahaan yang sama. Awalnya kami memang teman biasa, tapi karena kami sering bertemu jadi rasa suka di antara kami timbul. Mungkin gitu, sih prosesnya." Luffy tampa
Pria di hadapanku mendekat. Aku tidak tahu maksud pertanyaan "Pakaian seperti ini?" Memangnya apa yang salah dari gaun yang aku pakai? Tiba-tiba Tama menarik pinggangku, hingga tubuhku terdorong ke depan mengenai dadanya. "Harusnya kamu berpakaian seperti ini saat lagi sama aku, Wina," bisiknya dengan lengan yang memeluk pinggangku erat. Sebelah tangannya menekan tombol lift, dan seketika pintu besi itu terbuka. Dengan masih memeluk erat, Tama mendorongku masuk ke dalam lift hingga punggungku mengenai dinding lift. Aku masih belum bisa berpikir apa-apa ketika bibir Tama jatuh mengenai bibirku. Terkejut? Tentu saja. Dia lalu menjauh, dan menatapku. Sebelum aku melontarkan tanya dia kembali membungkamku dengan bibirnya. Menjauh, dan melakukannya lagi. Dan bodohnya aku diam saja seraya menahan gejolak di dalam perutku yang mendadak seperti banyak kupu-kupu terbang. Kami di sini, saling berpelukan di teras balkon. Akhir dari ciuman di lift tadi, membawa kami ke sini. Menikmati malam
Aku masih sibuk menggarap konten ketika Arin menyenggol lenganku berulang. Aku hanya menanggapi seadanya dengan tatapan masih lurus ke arah layar. Aku membutuhkan konsentrasi tinggi untuk membuat konten menarik. Dan biasanya gangguan pergosipan dari Arin sering mendistraksi. Jadi, kali ini aku mau fokus dan nggak mau peduli berita apa yang dibawa wanita yang beberapa hari lalu mengembalikan poni pendeknya lagi. "Wina, dia datang lagi ke kantor kita. Mau apa coba?" tanya Arin pelan. Aku nggak tahu apa yang dia bicarakan jadi memilih abai. "Meski agak nyeremin tapi lama-lama dilihat tampan juga, ya, Win." Aku masih fokus memilih stiker yang cocok untuk aku masukan ke dalam konten. "Rahangnya tegas, dagunya juga kokoh. Cakep Win, lebih cakep dia daripada Pak Giko. Kenapa lo nggak gaet abangnya aja, sih?" Sebelah alisku berkedut. Lalu tanganku kembali menggerakkan tetikus membuang stiker yang sudah aku pasang. Aku mengembuskan napas. Arin terlalu berisik, sehingga konsetrasiku buyar
Kejebak macet ketika pulang dari lembur itu sangat tidak menyenangkan. Bayangkan saja, seharian bekerja. Badan sudah lelah, lengket, tulang seolah remuk dan harus dihadapkan macet serta bisingnya ibu kota. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan? Kalau sudah seperti ini aku ingin terbang saja. Melewati ratusan manusia dan kendaraan yang berjejal di jalanan. Sudah sepuluh menit mobil Giko mandeg. Nggak jalan sama sekali barang satu senti pun. Klakson-klakson dari mobil dan motor bersahutan tak sabar. "Berisik, Bangke. Siapa sih yang nggak mau cepet jalan.Tapi di depan macet! Mata kalian semua pada buta apa gimana, sih?" omel Giko yang merasa terganggu dengan bunyi klakson di belakangnya. "Di depan ada perbaikan jalan kayaknya deh," ujarku yang merasa lelah karena mobil belum juga bergerak. "Gue bakal request bapak presiden biar dibikinin ruas jalan baru." "Pembangunan jalan baru juga bikin jalanan macet." "Hah!" Giko memukul kemudi dengan gemas. "Ya udah sih nikmati aja." "Gu
Aku dan Giko keluar dari restoran setelah berhasil menghabiskan dessert satu cup puding mangga mix dengan es krim. Aku yang menolak diajak ke restoran Padang membuat Giko harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Bodo amat. Kan dia ngeyel jadi pacarku. Meski cuma pura-pura, benefitnya harus tetap nyata. "Gue sama Danar ikut ke Bogor, ya, nanti. Udah lama banget nggak jengukin ibu. Pasti ibu kangen sama gue," ujar Giko penuh percaya diri. Sudah sangat biasa. Jadi, aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata. Lalu ketika langkah kami sampai di lantai lobi, dua orang yang baru saja masuk menarik perhatian kami. Aku sempat tertegun melihat keduanya yang melangkah terburu-buru. Mereka Tama dan Sintia. Aku harap mereka nggak melihatku. Malas kalau harus terlibat obrolan dengan mereka berdua. Tapi ...."Sintia!" Aku berdecak pelan saat pria di sampingku malah berseru memanggil Sintia. Gara-gara itu mereka menoleh ke arah kami. Sumpah, rasa-rasanya aku ingin sekali menyumpal mulut makhlu
Sudah hampir satu jam Giko di apartemenku. Dia masih saja asyik menonton siaran bola sendirian. Bahkan camilanku dia babat juga. Ngeselin banget itu orang. Meskipun nanti diganti sama camilan lain segambreng, tapi tetap saja nyebelin. "Lo nggak niat pulang apa gimana, gitu?" tanyaku berdiri di ambang pintu bersandar pada kusen. "Tanggung, Win. Satu babak lagi. Ini tim favorit gue nih, sayang kalau dilewatkan." Aku memutar bola mata. Kalau sudah begini ceritanya pasti bakal lama. Jika ada Danar malah bisa lebih lama lagi. Aku mengembuskan napas. Lalu beranjak masuk ke kamar, menutup pintu. Bertepatan dengan itu bunyi notif pesan dari ponselku terdengar. Aku mendekati nakas, dan duduk di tepian tempat tidur yang paling dekat nakas. Pop up percakapan dari Tama muncul.Tama : Giko udah balik? Dia seperti sedang memantau. Saat pesannya centang biru. Ponselku auto bergetar. Nama Tama muncul di sana. Aku mengangkat kaki ke atas tempat tidur, duduk bersila di sana dan menarik sebuah gu
Sampai dia pamit meninggalkan apartemenku, Tama tidak membahas satu patah kata pun soal kejadian semalam. Dia pasti juga nggak sadar saat aku mendengar pertengkarannya melalui telepon. Dan aku juga tidak berniat untuk membahasnya ketika aku rasa mood lelaki itu lagi kurang baik. Kami hanya membahas hal-hal umum yang tidak ada hubungannya dengan soal pribadi. Misal, rencana mengunjungi Tebet Eco Park di akhir pekan yang mana langsung kutolak karena mau pulang ke rumah Ibu. Dia tidak menawari berangkat berkerja bersama seperti biasanya. Jelas nggak mungkin saat ada Sintia dia ketahuan mengantarku berangkat kerja. Mungkin perdebatan mereka akan lebih besar kalau sampai ketahuan. Apalagi jika Sintia tahu semalam Tama tidur di apartemenku, ya, meskipun kami nggak melakukan apa-apa dan berada di ruang terpisah. Tapi kalau wanita cemburu buta, semua alasan nggak bisa diterima oleh akalnya. Aku sampai kantor ketika Danar sedang memberikan briefing paginya. Sedikit terlambat sehingga hanya