Sudah hampir satu jam Giko di apartemenku. Dia masih saja asyik menonton siaran bola sendirian. Bahkan camilanku dia babat juga. Ngeselin banget itu orang. Meskipun nanti diganti sama camilan lain segambreng, tapi tetap saja nyebelin. "Lo nggak niat pulang apa gimana, gitu?" tanyaku berdiri di ambang pintu bersandar pada kusen. "Tanggung, Win. Satu babak lagi. Ini tim favorit gue nih, sayang kalau dilewatkan." Aku memutar bola mata. Kalau sudah begini ceritanya pasti bakal lama. Jika ada Danar malah bisa lebih lama lagi. Aku mengembuskan napas. Lalu beranjak masuk ke kamar, menutup pintu. Bertepatan dengan itu bunyi notif pesan dari ponselku terdengar. Aku mendekati nakas, dan duduk di tepian tempat tidur yang paling dekat nakas. Pop up percakapan dari Tama muncul.Tama : Giko udah balik? Dia seperti sedang memantau. Saat pesannya centang biru. Ponselku auto bergetar. Nama Tama muncul di sana. Aku mengangkat kaki ke atas tempat tidur, duduk bersila di sana dan menarik sebuah gu
Sampai dia pamit meninggalkan apartemenku, Tama tidak membahas satu patah kata pun soal kejadian semalam. Dia pasti juga nggak sadar saat aku mendengar pertengkarannya melalui telepon. Dan aku juga tidak berniat untuk membahasnya ketika aku rasa mood lelaki itu lagi kurang baik. Kami hanya membahas hal-hal umum yang tidak ada hubungannya dengan soal pribadi. Misal, rencana mengunjungi Tebet Eco Park di akhir pekan yang mana langsung kutolak karena mau pulang ke rumah Ibu. Dia tidak menawari berangkat berkerja bersama seperti biasanya. Jelas nggak mungkin saat ada Sintia dia ketahuan mengantarku berangkat kerja. Mungkin perdebatan mereka akan lebih besar kalau sampai ketahuan. Apalagi jika Sintia tahu semalam Tama tidur di apartemenku, ya, meskipun kami nggak melakukan apa-apa dan berada di ruang terpisah. Tapi kalau wanita cemburu buta, semua alasan nggak bisa diterima oleh akalnya. Aku sampai kantor ketika Danar sedang memberikan briefing paginya. Sedikit terlambat sehingga hanya
Aku senang karena akhirnya bukan hanya aku yang ikut makan siang atas undangan Luffy. Danar pun ikut bersama kami. Korban kekerasan anak buah Luffy itu meminta syarat dirinya ikut serta, baru dia mengizinkan Giko membawaku. Giko mendengus. Dan mencemooh, "Bilang aja mau makan enak gratis." Tapi tentu saja hanya ditanggapi dengan tawa oleh pria pemilik poni setengah itu. Jika lokasi kantor kami ada di Jakarta Selatan, maka lokasi restoran tempat Luffy mengundang kami makan siang ada di Jakarta Utara. Dari ujung ke ujung. Aku heran kenapa Giko mau repot-repot seperti ini? Kenapa nggak suruh abangnya saja yang makan siang menyesuaikan lokasi kami? Jadi, nggak akan makan waktu lebih panjang dari durasi istirahat siang. Lokasi makan siang kami ternyata ada di salah satu restoran di ujung Kota Jakarta Utara. Sebuah restoran yang menyediakan segala macam menu seafood yang artinya aku nggak bisa memakannya. Jadi, buat apa aku makan siang ke tempat sejauh ini kalau ujung-ujungnya yang aku
Aku benar-benar sangat terlambat kembali ke kantor. Luffy yang menghadap langsung Pak Johan, meminta maaf padanya. Aku tentu saja harus cuci tangan soal ini. Karena memang dia yang menyebabkan jam kerjaku berantakan. Arin menyenggol lenganku saat aku kembali ke kubikel. "Ada apa?" tanyaku meliriknya. "Lo abis ke mana aja? Pak Danar dari tadi bolak balik nanyain lo udah kembali belum," ujarnya berbisik. Aku lupa memberi tahunya saat di perjalanan ke kantor tadi. Pria bernama Luffy itu benar-benar menguji kesabaranku. Dua jam lebih aku menghabiskan waktu istirahat sia-sia. Jika gajiku dipotong gara-gara ini, akan kupastikan dia mengganti rugi semuanya. "Gue tadi ada urusan sedikit," balasku berbisik juga. "Dua jam lalu lo pergi sama Pak Danar dan Pak Giko, kenapa pulangnya nggak bareng?" "Iya, ada sedikit masalah," sahutku, nyengir. Aku nggak mau Arin membahas lebih lagi. Kerjaanku masih banyak, menumpuk dan bisa diprediksi nggak akan terselesaikan sampai jam pulang tiba. Hari in
"Gue curiga Luffy beneran naksir lo." Suara Giko berdenging, memekakkan telinga. Bukan karena kerasnya suara dia, tapi lebih karena informasi yang dia sampaikan. "Ngaco." Aku merespons singkat "Nggak tau, tapi gue yakin begitu." Aku baru sampai apartemen ketika panggilan telepon dari Giko masuk. Lalu dia menginfokan hal yang nggak masuk akal. "Lo tau? Dia sering meminta gue buat putusin lo. Dia bilang Wina terlalu sempurna buat gue. Sialan enggak?" Aku mendesah dan melempar tas ke sofa. "Itu nggak lantas bisa dijadikan alasan buat menyimpulkan kalau dia naksir gue." "Memang sih. Cuma feeling gue bilang begitu.""Feeling lo itu nggak pernah benar." "Kadang-kadang benar." Luffy juga meminta hal sama. Memintaku agar putusin Giko. Dia masih heran bagaimana bisa aku pacaran dengan playboy tengik macam adiknya. Jika dia tahu ini hanya pura-pura, aku nggak tahu apa yang akan dia katakan. "Udah, jangan ganggu gue. Gue baru pulang dan mau istirahat.""Serius lo baru pulang? Ngapain a
"Kayaknya kalian makin sweet aja."Aku baru mendaratkan bokong ke kursi saat Arin melemparkan godaan itu. Tanpa ditanya maksudnya pun, aku tahu. Dia sedang menggodaku yang tadi "ribut" di lobi. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri agar enggak asal ceplos menjelaskan kejadian yang sebenarnya. "Ya, namanya juga pacaran, Rin. Wajarlah kalau ada swit-switan dikit." Arin mesem lalu menggeser kursinya mendekatiku. "Kayaknya Pak Giko nggak bakal berulah deh kali ini. Secara yang jadi satpam dia lo." Aku menoleh ke sisi Arin dan melihat wanita itu menarik turunkan alisnya. Aku kembali menghela napas. "Ya belum tentu juga. Dia kan cepat bosan sama cewek.""Beuh! Kalau gue jadi lo dan memergoki dia selingkuh. Gue gantung lehernya di tiang bendera depan kantor." "Ide bagus. Thanks, ya, sarannya," ucapku menepuk pundaknya pelan dan berharap obrolan ini berakhir. Dan harapanku terkabul ketika Danar datang. Arin langsung menggeser kursi kembali ke mejanya dan terlihat mengambil sesua
Tama : Bisa temui aku sebentar? Aku ada di lobi.Aku mengerjap membaca pesan dari Tama. Jam makan siang sudah lama berlalu. Jadi, apa yang dia lakukan di sini? Setelah meminta izin kepada Arin, aku bergegas turun ke lobi. Ini seperti memotong waktu kerja, tapi jika hanya sebentar kurasa nggak masalah. Dia benar ada di sana. Di salah satu sofa yang ada di lobi. Aku bergegas menemuinya. "Tama, ada apa?" Pria yang duduk membelakangiku itu menoleh, dan langsung tersenyum begitu melihatku. Aku segera beringsut ke sofa yang berseberangan dengannya. "Kenapa ada di sini waktu jam kerja?" tanyaku pelan. "Aku tadi habis meeting dengan CEO kalian. Jadi, sekalian saja aku ingin melihat kamu. Aku kangen." Pertemuan terakhir kami saat dia datang ke apartemen dan tahu-tahu ada di dekatku ketika aku tidur. Setelahnya aku sibuk dan dia pun sepertinya begitu. Aku melirik kanan-kiri melihat situasi. Sebisa mungkin aku menjaga jarak dengannya. Karena seluruh kantor ini mungkin tahu aku pacar Giko
Aku melihat Giko berjalan ke arahku. Beberapa saat lalu dia mengirimi pesan agar aku menunggunya di lobi. Kami akan pulang bersama seperti biasanya. Namun, ada orang lain di sisinya yang membuatku tanpa sadar berdecak. Luffy lagi. Aku merasa sejak berkenalan dengannya jadi sering melihat lelaki itu di gedung ini. Padahal dulu dia muncul di gedung ini kalau ada rapat besar. "Yuk, Beb. Kita jadi nonton, kan?" tanya Giko seraya menggiringku untuk berjalan di sampingnya. "Nonton?" Aku bingung. Kapan kami punya rencana seperti itu? Hari ini aku pulang sore, jadi bisa pulang bersama Giko. Danar sendiri sudah pulang lebih dulu tadi. Karena tahu aku pulang bareng Giko, dia meninggalkanku. "Iya, film horor terbaru yang lagi booming. Yuk, ah! Ntar kita telat." Giko langsung menggaet tanganku dan mempercepat langkah hingga aku terseok-seok mengikutinya. Dia sama sekali nggak memberiku kesempatan untuk menyapa Luffy yang dari tadi hanya menonton adegan kami dengan bibir miring. "Kenapa buru