"Ceraikan aku! Hiks.."
Elan menyergap tubuh Dina. Menggendong lalu merebahkan ke ranjang. Kalimat perintah yang baru saja ia dengar membuatnya geram, tapi ia tetap tak boleh emosional. Sekalipun ia benci Dina mengatakan kalimat itu.
Dina menyipitkan matanya bingung karena Elan kini menindihnya, melucuti pakaiannya kasar tapi tetap tersenyum. Bibirnya mulai dikecup, dikulum, lalu lidah suaminya bahkan mengorek hampir seluruh permukaan rongga mulutnya.
Ia menepuk-nepuk lengan Elan kala merasa nafasnya mulai terbatas. Tak dihiraukan. Ia mencoba mendorong berulang kali tapi Elan masih saja mencium seolah akan menggerogoti mulutnya.
"Haaahhh!! Hahh!!" Dina membuang nafas tersengal setelah Elan melepaskan cumbuannya. Seperti baru dientas dari dasar kolam.
Elan tersenyum sembari menggigit bibir bawahnya sendiri. Gemas sekaligus lucu melihat tingkah Dina mengendurkan nafas.
"Aku bisa mati Kak!" Protes Dina marah. "Kakak suka ya aku mati?? Teru
vote dan komentar ya say, terima kasih
Hampir seluruh siswa peserta pengarahan mulai berhamburan keluar aula saat Dina dan Bryan, yang sama-sama malas berdesakan, lebih memilih duduk diam bersabar dengan manisnya. Tidak ada yang memburu jadi kenapa harus buru-buru, pikir mereka. "Serius Bry, aku tidak menyangka dia berani menunjukkan muka di hadapanku. Kamu lihat tatapannya tadi? Berani-beraninya.. Ugh!" "Tidak." Jawab Bryan culas. "Ingat wahai calon ibu, Om Elan lagi cari uang untukmu dan bayimu." "Apaan sih Bry?!" Dina mendelik tak terima dianggap hamil. "Aku masih mau kuliah terus jalan sama kamu kesana kemari, menghabiskan duit suamiku hahaha.. Ibu-ibu?? Oh tidak!!" "Terserah deh, intinya jangan terpesona sama lelaki lain lagi. Apalagi yang sudah terang-terangan menghianati." "Ya ampun Bry, sakit hatiku saja belum hilang. Sinting kali aku kalau masih mau sama dia. Suamikubetterkemana-mana." Bryan memutar bola matanya jengah. Ya ya ya ia sud
"Eoh.." Dina melongo. Ya Tuhan, matilah aku.. Dina tersadar dari terkesiap. Matanya fokus oleh kehadiran sosok Elan, mewaspadai situasi genting darurat. Ia bahkan menampel kedua tangan Arya berulang kali. Berusaha melepaskan diri dari segala sentuhan Arya yang masih belum mengerti keadaan ini. Namun semakin Arya menyelami perubahan sikap dan ekspresi Dina semakin ia bisa menebak siapa gerangan sosok yang berjalan dengan congkak ke arah mereka. Elan berjalan mendekat. Dari kejauhan sorot matanya sudah mengunci sekaligus menghakimi Arya. Ia sempat melihat cara lelaki itu menyentuh istrinya dan berusaha melawan ego dengan mengenyahkan amarah. "Kakak.." Dina menyambut kedatangan Elan dengan melenganinya. Membawa Elan mendekati Arya untuk meluruskan kecurigaan yang ia pastikan menghuni pikiran suaminya. Dua lelaki itu akhirnya berhadapan, saling menunggu respons dan mencurigai satu sama lain. Tatapan keduanya menghasilkan kekhawatiran 
Brummm!! Elan menurunkan Dina di depan deretan gedung-gedung perkuliahan yang salah satunya menjadi lokasi tes istrinya. Sudah ada Bryan yangmesam-mesemmenyambut kedatangan sahabatnya. Ia berdiri melambaikan tangan mengkode posisinya di gazebo, yang tak lama kemudian duduk kembali kala Dina membalas lambaian tangannya. "Aku parkir motor dulu ya.. Kamu tunggu di sini.." "Ehh Kakak tidak usah!" Dina tampak keberatan, terlihat sekali ekspresinya melarang. Elan melipat keningnya. Penasaran sekaligus curiga. "Kenapa?" "Malu Kakak! Itu kan banyak anak SMA juga." "Kamu malu karena sudah punya suami atau malu karena punya suami aku?" Elan menguji jawaban Dina. "Ya pokoknya malu.." Dina melarikan bola matanya dari tatapan dingin Elan yang sedari tadi mencurigainya. Ia tahu Elan tak suka dengan sikapnya yang demikian. "Kebanyakan mereka kan belum menikah Kak. Aku?" "Sayang.." Elan mengusap le
"Kamu siap meneriakkan namaku lebih keras malam ini hmm?" Elan mengendus leher Dina lalu menjauhinya kala melihat ketegangan di otot jenjang tersebut. Ia kemudian membuang udara dari hidung karena senyum lebarnya, tak menyangka Dina berani mengutarakan kode bercinta. "Kamu inginDaisy?" "Bu.. Bukan. Aku cuma.." "Aku mampu menahannya sampai besok. Tidurlah, aku tidak mau kamu kelelahan.” Elan menutup kalimat dengan kecupan di kening istrinya. Menjadikan kecewa Dina terkubur kedamaian batin, yang justru diimpit perasaan bersalah. Aku telah bersalah karena menaruh banyak curiga padamu Kak.. Kamu tak seperti yang ku duga, kamu bahkan bisa menahan perasaan cemburumu, juga hasrat bercintamu, demi kebahagiaanku.. Aku yakin kamu tak akan kembali pada sifat kasarmu, tapi bagaimana jika aku ternyata mengandung anakmu? Maukah kamu menerimanya? Sedangkan ku lihat kamu sangat fokus pada pekerjaanmu, tak pernah sekalipun menyinggun
Sayup-sayup terdengar suara panggilan ibadah pagi saat Dina membuka mata dan tak menemukan Elan di sisinya. Ia mengintip pakaiannya di balik selimut. Utuh. Semalam Elan benar-benar tak berani menyentuhnya lagi, sejak pengakuan mengejutkan itu. Ia ingat telah memilih menyingkuri Elan dan tenggelam dalam perasaan takut. Bagaimana tidak? Ia tidak mau diperlakukan kasar lagi. Nafsunya menciut kala mengingat betapa momen-momen yang disebut Elan masih terasa sangat menyakitkan. Dina meninggalkan kamar Elan dan mencari sosok yang dicintainya itu, menyapu pandang ke seluruh ruang dan menemukan suaminya sedang menduduki treadmill dengan keringat mengalir dan nafas memburu. Tampak sangat kelelahan. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan menjambak rambutnya menahan. Ia tahu Elan memilih menyalurkan kepenatannya dengan berlari hingga mencapai batas kemampuan kaki.Batinnya dilema. Ingin menolong kesakitan suaminya tapi ia tak mau menjadi korban tindakan men
Air yang keluar dari lubang shower mengguyur. Dina berharap rasa sakitnya luntur, pergi beriring lupa. Ia ingin melupakan segalanya. Rasa cintanya pada Elan sudah terlalu dalam. Ia ingin mencintai tanpa kata tapi. Fokus hatinya kini hanya pada Elan. Ia harus belajar dewasa, menerima segala kelebihan dan kekurangan suaminya. Dina menyabun dadanya dan merasakan nyeri di kedua puncaknya. Kakinya masih gemetar tak sanggup berdiri lama-lama. Ia akhirnya terduduk setelah nyaris terjatuh, cukup lama tapi rasa perih di selangkangannya belum juga sirna. Sepertinya karena lecet tergerus gerakan Elan yang membabi buta. Tidak ada kenikmatan di sana. Matanya kembali berair, berlomba dengan air. Ia tak mau begini lagi. Doanya hanya Elan berhenti saat menyadari perbuatannya telah demikian mencipta pedih. Berharap Elan berubah, ia merindukan sosok Elan gila yang penuh kejutan bahagia, bukan sosok menyeramkan yang lebih menyerupai serigala. Rasa bersalah Elan sendiri
Sempoyongan. Berdiri tegak tiba-tiba menjadi hal yang sulit Dina dilakukan. Kakinya berpijak tapi terkulai. Sendinya seolah memuai, memanjang dalam lunglai. Dalam bola mata berguncang tak tenang, ia akhirnya jatuh ke lantai. Debaran jantungnya berpacu dalam kecepatan. Kali ini kepercayaan diri dan ketangguhannya dalam menghadapi badai patut dipertanyakan. Tangan Dina gemetar saat sebuahtestpackdi genggamannya menunjukkan reaksi. Memberi hasil di luar ekspektasinya. Memacu rasa penasarannya kian melingkupi. Ia berusaha keras membuka seluruhtestpackyang tersisa, sempat kesulitan karena gugup mendera. Saking tidak sabarnya hingga ia celupkan semua bersamaan. Dalam batinnya hanya bisa berdoa, semoga semua yang menjadi firasatnya bertentangan dengan realitas. Dalam nafas tersengal dan tubuh hampir mati rasa Dina menanti. Hingga beberapa saat kemudian satu per satu alat penguji kehamilan itu ia punguti, ia cermati,
"Kakak!!" Dina berusaha menahan dada Elan. Betapa lelaki itu selalu menyudutkannya dalam bilik kenikmatan hingga ia kerap susah payah bertahan dari serangan. Seperti saat ini, ia berusaha mengelak tapi dibarengi dengan desahan. "Apa Sayang.. Hmm?" Elan lebih dari siap memasuki, menjelajah ruang istrinya yang selalu istimewa baginya. "Kakaak.." Rengekan Dina mencerminkan kerisauan. Berusaha menemukan cara mencegah Elan memasukinya. Ia baru teringat pesan dokter Diana, bodohnya setelah sekian lama terlena oleh perlakuan Elan di tubuhnya, hingga menghasilkan telaga yang siap membenam milik Elan dalam syahdunya senggama. Ah lelaki itu selalu saja membuat kewarasannya ambyar. Buyar lalu tercerai berai. Sebelumnya, Dina hanya bisa hanya bisa mengeratkan remasan di tepian meja kerja saat Elan berjongkok, lalu lidah profesionalnya bekerja prima hingga sebuah klimaks mudah ia gapai. Jika saja boleh, ia ingin merutuki diri sendiri sepuasnya saa