Part 56Sepuluh hari sudah berlalu sejak rapat pergantian bendahara. Sela memberikan laptop inventaris bendahara pada diah melalui Asih.Diah yang memang tidak tahu menahu bagaimana cara kerja bendahara, hanya bisa memandang layar laptop dengan penuh kebingungan.“Bantuin aku bekerja, ya?” tanya Diah pada Asih. “Kudoakan semoga tahun depan bisa lolos di sekolah ini, jadi kita bisa bekerjasama membangun sekolah ini bersama,” lanjutnya lagi, merasa kasihan karena teman seperjuangannya belum sampai pada titik yang diinginkan.“Amin …,” sahut Asih. “Kamu mau minta diajari siapa?” tanyanya.“Gak tahu, Risna aku chat selalu bilang gak bisa.”“Minta diajari Mbak Lita saja,” saran Asih.“Malu, aku tidak akrab. Risna saja yang akrab sama aku kayak cuek. Entah lah, aku merasa kali ini dia beda sama aku. Padahal, waktu mau cerai sama suaminya, tiap hari curhat terus lho sama aku. Dia juga yang suka cerewet minta aku buat ikut ngumpul-ngumpul.”“Jangan berprasangka buruk dulu,” kata Asih.“Iya. M
Jika membahas tentang mertuanya, tidak akan habisnya. Banyak hal menjengkelkan yang dia terima. Namun, Rizal selalu saja mendukung mereka.Terkadang Diah merasa ingin tertawa tatkala istri dari paman Rizal bersolek. Tangan hitam, tetapi wajah putih bagai dicat. Alis melengkung dengan warna hitam pekat dan lipstik merah menyala. Gelang lima dengan model oval besar dengan jumlah yang banyak. Kalung besar dengan liontin bundar bertaburan permata. Sosok itulah yang selalu dicontohkan ibu mertua Diah agar ia menirunya. Menurut mertuanya, gaya seperti itu membuat orang tua bahagia dan percaya diri saat mengajak Diah pergi.Sementara Diah, menyukai warna lipstik yang natural. Setiap kali ke rumah mertuanya, ia harus memakai lipstik warna merah menyala di tengah jalan. Rizal selalu memaksa itu. Bahkan, ia memiliki sebuah kalung dengan bentuk yang seperti bibi ipar Rizal, yang hanya digunakan saat acara keluarga mertua.Rizal mengejar Diah. “Dek, jangan ancam kayak gitu, aku malu, nanti Ibu ma
Part 57POV Diah"Jangan mundur! Jangan mau kalah! Kita sudah melangkah sejauh ini. Jadi, harus dilanjutkan apapun yang terjadi. Atau, Mbak Diah akan seperti menyiram ari kotoran ke wajah sendiri. Ingat! Mbak Diah sudah menyanggupi, apapun yang terjadi harus dilanjutkan." Pak Nanang memberi semangat saat aku menceritakan yang terjadi di hari kemarin. Semua guru yang mendengar termenung dengan ekspresi tidak percaya, ada sosok guru seperti Ambar dan kawan-kawannya. "Aku mau mengerjakan laporan agar uang bisa segera cair. Aku cari di youtube adanya yang depag. Beda penampilannya sama yang dinas. Aku bingung, Pak. Aku bisa saja belajar. Tapi, siapa yang mau kuminta untuk mengajari?" tanyaku putus asa. Aku orang yang sangat bersemangat dalam mempelajari hal baru. Namun, untuk kali ini, akh merasa buntu. Risna benar-benar terlihat menjauh. Risna seperti ikut membenciku. Hingga aku bertanya pada diri sendiri, salahku apa? "Orang yang jadi bendahara bukan cuma satu kecamatan sini. Minta
Mas Rizal yang melihatku murung membuatkan segelas cokelat hangat. "Diminum, Dek," katanya. "Kamu kusut sekali. Kamu bingung ya?"Aku melirik sekilas. "Sudah tahu kok tanya sih, Mas," jawabku lesu. Aku iseng melihat-lihat kontak di ponsel. Lalu menemukan sebuah nama. Giyanti.Aku menjerit kegirangan."Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Rizal. "Aku nemu orang yang bisa kutanya tentang ini," jawabku senang. Akhirnya, aku berhasil mendapatkan seorang yang mau memberi pertolongan. Dia menyuruhku ke rumahnya di luar jam sekolah. Giyanti, teman beda kecamatan. Di hari Minggu aku akan pergi kesana. Suami Giyanti adalah teman dekat Sela. Namun, Giyanti yang memang sudah tahu sekali tentang hubungan Sela dengan Ambar, tidak merasa keberatan mengajariku. "Aku seperti dibuat agar tidak bisa membuat laporan, Gi. Masa iya, semua orang tidak ada yang bisa saat kutanya. Termasuk Pak Harjo.""Lhah, Pak Harjo itu mentor lho. Dia di atasnya Sela banget. Masa iya nyuruh kamu ke dinas?" tanya Giyanti hera
Part 58 Saat terjatuh, kita akan tahu, siapa orang yang mendekat mengulurkan bantuan, dan siapa yang akan menjauh dan tidak peduli. Itu yang sedang kurasakan saat ini. Pusing, bingung, dijatuhkan mentalnya oleh orang-orang itu, tetapi ada sebuah pelajaran lain yang kupetik. Aku tahu seperti apa sosok Risna. Seolah kebaikan yang kutanam selama ini padanya tidak terlihat sama sekali. Aku: Makasih, Ris, sudah melupakan aku. Risna: Kamu ngomong apa sih, biasa saja lah. Aku menganggap semua teman sama. Iya betul, semua teman sama. Sama-sama dibutuhkan dia. Tergantung butuhnya pada saat apa maka dia akan mendekat. Hati, jangan pernah berharap kebaikan orang! Lupakan orang-orang toxic yang hanya memanfaatkan kita saat butuh saja. Akhirnya aku bisa masuk ke rumah Nila setelah lama menunggu. Ku jatuhkan tubuh di atas sofa dan langsung terlentang. "Suami kamu gak di rumah 'kan, Nil?" tanyaku sambil menatap langit-langit rumah Nila yang belum di plafon, karena rumah itu rumah yang ba
Allah telah berjanji dalam Al-Qur'an surah Al Insyirah yang berbunyi, di setiap kesukaran pasti ada kemudahan. Ayat itu bahkan diulang sampai dua kali. Sempat putus asa, berkali-kali menggigil saat Ambar and the gank mencoba menjatuhkan mentalku. Sampai pernah aku benar-benar jatuh sakit panas semalaman memikirkan ini, tapi sekarang Allah mengirimkan bantuan padaku melalui Nila. Berjalanlah di jalan yang benar dan tegakkan kebenaran meski kau hanya sendiri di tengah banyak orang yang berbuat zalim, dan Allah benar-benar akan memudahkan langkah kita. Semula aku hanya ingin meminta agar Nila bersedia mengajariku, tetapi dia justru menawarkan bantuan untuk mengerjakan laporan di aplikasi yang belum kupahami sama sekali. "Mungkin mereka sering masuk angin saat membuka baju lama." Aku bergumam. Nila hanya menanggapi dengan tawa yang kecil. "Kamu tahu, gak? Kalau input realisasi, harus selesai tiga hari lagi?" tanya Nila. "Enggak.""Tidak ada info di grup?""Tidak.""Berarti kamu sed
Part 59Setelah tahu jika orang itu Mas Rizal, sosok suami yang sering membuat emosi naik turun dan hati kesal, aku menangis meraung-raung. Jika ada orang yang melihat, mungkin dikiranya kami sedang bertengkar. "Diah, Di, kamu kenapa menangis?" Mas Rizal mengguncang tubuhku. Aku tidak menjawab. Hati ini lega karena yang mengejar sedari tadi bukan pembunuh. Tetapi, aku juga merasa kesal kenapa Mas Rizal membuntuti seperti tadi. Bukannya langsung menunjukkan jati dirinya. Malah memakai berbagai macam atribut yang menakutkan serta memakai motor dan helm yang berbeda. Sulit untukku mengendalikan emosi yang membuat menangis. Agak lama aku tergugu. Namun, sedikit demi sedikit mereda. "Kamu kenapa?" tanya Mas Rizal lembut."Kamu kenapa sih, Mas membuntuti aku seperti begal? Aku takut tahu? Aku kira kamu ini pembunuh bayaran Sela. Dari tadi kamu mengejar terus tanpa mau membuka helm. Aku sampai ketakutan dan mengendarai motor dengan kecepatan delapan puluh di jalan berkelok. Kenapa kamu t
Aku duduk dan menarik napas lega. Akhirnya, permasalahan pembuatan laporan sudah selesai juga."Di, tadi teman kamu telpon Pak Sela?" tanya Mbak Asih menemuiku di kelas. "Iya. Kenapa?""Gak papa sih, tapi dia jadi tahu kalau dibuatkan teman kamu.""Biarkan saja. Yang penting laporan jadi."Mbak Asih keluar kelas dan aku merapikan buku-buku di pojok baca yang berserakan. Habis Dzuhur, Ambar kembali membuat status yang benar-benar membuat emosiku naik lagi. Ya begitulah kalau orang hatinya dipenuhi iri dan dengki. Penyakit hati yang membuat takabur jadinya mabur-mabur (terbang) kemana-mana tidak. Mencari bantuan karena sama sekali tidak mampu. Memaksakan diri padahal otak dangkal. Otaknya bodoh kayak otak udang. Aku kembali menggigil dan demam. Itu yang menjadi kelemahanku saat terkena mentalnya. Mendadak badanku panas. Nila yang memaksa bicara dengan Sela ternyata beritanya sudah sampai pada Ambar. Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah. Aku hanya tinggal menghadapi Sela dan Ambar.